Dienul Islam Dalam Perspektif Sosiologi
Minggu, 31 Mei 2009
DIENUL ISLAM DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Oleh: Masduki Duryat
Islam Sosiologis; Sebuah keragaman
Dr. Ali Shariati dalam "The Visage of Muhammed” dan diterjemahkan oleh Ir. Ibnu Muhammad dengan judul "Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama", mengatakan bahwa proses dialektikal kecenderungan budaya atau keagamaan masyarakat dunia dari zaman ke zaman yang secara berturutan melahirkan "nabi-nabi" yang mengajarkan "agama-agama" sesuai dengan tuntutan zamannya yang selalu menghendaki adanya keseimbangan.
Menurut Shariati, suatu masyarakat sebagaimana suatu obyek, akibat berbagai faktor dan kondisi bisa menyimpang dari posisi keseimbangannya menuju, misalnya spritualisme dan kesalehan ekstrim dan kecenderungan kepada keakhiratan, atau menuju kepada kebalikannya yaitu materialisme atau korupsi ekstrim dan kecenderungan kepada keduniawian. Selalu pada tahap ini suatu agama besar tampil, dan arah tendensi masyarakat umum tampak sangat jelas dan arahnya selalu secara alami tanpa rekayasa.
Saat situasi ekstrim terjadi, maka muncullah seorang nabi dan dengan kekuatan agamanya menerapkan suatu gaya yang berlawanan dengan ekstrim tersebut, sehingga perluasan agama ini dan penyebarannya dalam masyarakat menyebabkan terjadinya equilibrium terhadap arah penyimpangannya, dan pada tahap ini misi keagamaan secara logis telah berakhir, tetapi kita tidak pernah mendapati adanya para pengikut agama tersebut mengumumkan akhir dari misi keagamaannya.
Akibat dari agama yang terus menerus melancarkan kekuatannya ke dalam masyarakat dengan arah yang sama, dan mencapai pada tahapan di mana agama secara paksa menjadi kekuatan negatif dan menyimpangkan sehingga menjadi ketersebaban penyimpangan ke arah yang lain (ekstrim), sehingga masyarakat menjadi teralienasi atas semuanya dan mendekati kematiannya, tiba-tiba saja terbangkitkan seorang nabi yang lain melawan kekuatan agama yang lama.
Kekuatan ini dilancarkan begitu hebat dan memaksa penyimpangan/ekstrim yang terdahulu untuk mencapai suatu equilibrium yang baru, hal ini berlaku secara terus-menerus di dalam masyarakat dan ini bisa terlihat pada agama-agama masa lalu.
Dalam tesisnya, Shariati ingin membuktikan bahwa logis bila Islam ditetapkan sebagai agama wahyu yang terakhir dari Allah, dan tidak ada lagi agama wahyu baru lagi setelahnya sampai pada akhir zaman.
Sangat menarik tulisan Azyumardi Azra dalam “Islam dan Muslim; Perspektif Sosiologis”, ia mengatakan dalam realitas sosiologis, para sarjana Muslim yang memakai kacamata normatif cenderung mudah menyimpulkan bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan masyarakat yang berdiri kokoh di atas kesatuan ideologi agama.
Keragaman praktik politik dan kehidupan sosial dipandang sebagai fenomena sekunder yang diyakini tetap berakar pada sistem nilai yang sama. Dengan kata lain, kesadaran simbolik selaku penganut agama dianggap lebih penting dalam menentukan identitas Muslim dibanding manifestasi tindakan sosial mereka dalam tataran empirik.
Secara kebetulan pula pandangan ini dipegang kalangan esensialis dalam tradisi kesarjanaan Barat. Karena bertujuan mencari kekhususan Islam, mereka lebih mengarahkan perhatiannya pada aspek doktrin dan nilai umum masyarakat Muslim. Pada tataran ini tidak banyak dijumpai variasi maupun kontradiksi sehingga upaya menciptakan generalisasi dan esensialisasi karakteristik umat Islam mudah dirumuskan. Bisa dipastikan komunitas Muslim di mana pun percaya pada al-Quran atau Nabi Muhammad, dan menganggap shalat, puasa, dan zakat sebagai wajib bagi mereka yang mampu.
Secara umum pula kaum Muslimin beranggapan bahwa agama mereka tidak sekadar mengurusi soal rohani dan para ulama tidak hanya bertanggung jawab dalam masalah ritual peribadatan.
Lepas dari kenyataan tersebut, melihat Islam hanya dari aspek doktrin dan nilai-nilai umum akan cenderung mengecilkan arti perbedaan yang mengemuka di dalam masyarakat Muslim. Terlalu banyak perbedaan mendasar yang tidak lagi bisa dipahami sebagai sekadar keragaman. Kita bisa temukan pola kehidupan umum Muslim yang begitu beraneka mulai dari sistem kekerabatan, hubungan antarjenis, kepemimpinan sosial-politik, praktik ekonomi sampai kesenian, dan pendidikan.
Dalam banyak kasus institusi masyarakat Muslim tersebut lebih dipengaruhi sistem nilai lain daripada nilai universal. Meskipun tetap berpengaruh, keyakinan agama tampaknya tidak begitu saja mampu menafikan sistem nilai lain, baik yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional.
Praktis karena persoalan ini beberapa sarjana sosial merasa skeptis dengan esensialisasi dan homogenisasi fenomena Islam.
Mereka ragu terhadap konsep “umat”, tidak saja karena keragaman internal yang begitu tinggi, tetapi dalam banyak hal komunitas Muslim lebih dekat dengan budaya non-Muslim yang mengelilinginya dibanding dengan sesama Muslim di wilayah lain. Konsep “Islam” sendiri tidak luput dari sasaran keraguan karena begitu banyak pemaknaan terhadap agama ini sampai-sampai mengakibatkan perpecahan yang akut.
Konflik antarmuslim seringkali tidak bisa diremehkan, atau dipandang sebagai fenomena semu, karena biaya yang harus dibayar sedemikian tinggi. Harus diakui bahwa sejak tahun-tahun awal sepeninggal Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah sepi dari konflik internal. Adakalanya hanya mengemuka dalam bentuk perdebatan agama atau friksi kelompok, tetapi adakalanya pula berdarah-darah bahkan sampai perang dalam skala besar.
Menjadi anakronistik jika konflik seperti ini tidak dipandang sebagai fakta penting hanya karena para aktor yang terlibat di dalamnya memeluk agama yang sama. Ujung-ujungnya banyak peristiwa pertentangan sosial dipandang sebagai sesuatu di luar Islam atau direduksi menjadi kesalahfahaman sebagaimana yang diyakini kaum esensialis dan apologetik.
Dengan melihat intensitas konflik dan dalamnya perbedaan tersebut, adilkah kita mengecilkan arti keragaman umat Islam? Pertanyaan ini bukan untuk meniadakan pengaruh imajinasi tentang “Islam” atau “umat”, karena betapa pun simbolik dan abstrak doktrin-doktrin tersebut, sebagian perilaku Muslim ditentukan olehnya. Namun kita perlu ingat bahwa perbedaan di antara umat Islam sangatlah nyata dan mendasar, bukan semu atau akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama.
Rasanya tidak mudah mengurai berbagai fenomena kontradiktif yang bertalian dengan keseragaman dan keragaman Islam. Kita tidak saja dihadapkan pada pertanyaan apakah “Islam” dan “Muslim” itu merupakan mitos atau realitas, tetapi juga pada persoalan bagaimana dinamika keislaman berproses.
Karena itu kita tidak hanya perlu memetakan aspek mana yang sama dan yang berbeda, tetapi juga dituntut menjelaskan mengapa terjadi kesamaan dan perbedaan. Tidaklah cukup bagi kita memilah Islam ke dalam wilayah normatif, doktriner, dan ideologis di satu sisi, dan membedakannya dari Islam historik, empirik dan praktis di sisi lain.
Ada bermacam-macam variabel perantara yang perlu dijelaskan untuk menghubungkan yang normatif dan empirik atau yang seragam dan beragam sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang fenomena tertentu dalam Islam.
Dalam Faithlines: Muslim Conception of Islam and Society, yang kemudian diterjemahkan menjadi Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim (2006), karangan Profesor Riaz Hassan, Azra menyampaikan sebuah penelitian di empat negara.
Pilihan empat negara —Indonesia, Pakistan, Kazakhstan, dan Mesir— cukup merepresentasikan keragaman masyarakat Muslim. Secara berurutan, Negara-negara tersebut mewakili Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah yang masing-masing memiliki sejarah, budaya dan politik distingtif.
Karena sistematis menggunakan instrumen penelitian yang sama, kita bisa mengukur secara lebih pasti kesamaan dan keragaman yang ada di negara-negara tersebut dalam berbagai sisi kehidupan sosial-keagamaan.
Dalam buku ini, katanya, aspek kehidupan agama yang dijadikan objek kajian adalah kepercayaan sehari-hari (everyday belief). Cakupannya cukup luas, mulai dari sikap Muslim terhadap doktrin-doktrin agama, praktik ritual keagamaan mereka, sampai pada pandangan mereka mengenai isu-isu kontemporer seperti hubungan entarjenis kelamin (gender relations), negara Islam, toleransi dan pluralisme.
Melalui pendekatan ini kita bisa melihat fenomena Islam yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jika kajian normatif memberi kita informasi tentang universalitas islam, kali ini kita akan temukan bagaimana nilai-nilai tersebut disikapi, dipahami, dan ditransformasikan dalam praktik sosial sehari-hari. Sebaliknya, jika kajian empririk senantiasa menyajikan fakta-fakta keras (hard facts) yang beragam tentang Islam, buku ini mencoba menggali imajinasi dan kepercayaan subjektif Muslim melalui wawancara testruktur.
Hasilnya sangat menarik, tidak ada kesimpulan sederhana yang dapat mewakili gambaran Muslim secara universal.
Sebaliknya, meskipun Indonesia kerap kali disebut sementara kalangan sebagai Negara “sekular”, kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan agama sangat tinggi, jauh lebih tinggi ketimbang kepercayaan pada media massa apalagi pada lembaga Pemerintah umumnya. Kenapa demikian? Salah satu temuannya menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap lembaga agama berasosiasi dengan kepercayaan terhadap institusi-institusi kunci Negara.
Dengan kata lain, semakin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap institusi public, semakin tinggi pula kepercayaan mereka terhadap lembaga agama. Dengan demikian, kita bisa melihat betapa dinamika sosial dan politik jauh lebih berpengaruh terhadap hubungan antara ulama dan umatnya dibandingkan dengan dinamika cultural atau agama.
Temuan penting lain yang memaksa kita berpikir ulang adalah peran perempuan dalam wilayah publik. Selama ini kita sering beranggapan bahwa semakin Islamis sebuah masyarakat semakin rendah pula dukungannya terhadap perempuan untuk berkiprah di luar rumah. Ternyata asumsi ini sulit dipertahankan, karena dukungan terhadap peran perempuan tidak ditentukan kesalehan agama maupun tingkat modernisasi (sekularisasi) masyarakat.
Indonesia menduduki peringkat teratas, disusul kemudian oleh Kazakhstan, Pakistan, dan Mesir. Jika masalahnya sekularisasi, Kazakhstan seharusnya paling tinggi tingkat dukungannya, dan jika faktor ideology yang terpenting, Pakistan seharusnya berada pada peringkat terbawah.
Analisis lanjutan menemukan faktor lingkungan sosial setempat memainkan peran sangat besar.
Baik Pakistan maupun Mesir sama-sama tumbuh sebagai masyarakat tradisional yang kuat mengadopsi sistem patriarchal Timur Tengah. Meskipun Kazakhstan pernah menjadi bagian dari geokultural ini, revolusi komunis telah mentransformasikan Negara tersebut menjadi bagian dari masyarakat modern seperti negara-negara bekas Uni Soviet lain.
Indonesia tidak pernah mengalami Arabisasi total dan proses modernisasi di Negara ini cukup berjalan pesat. Ditambah kuatnya peran organisasi keagamaan lokal, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah, dalam mensinergikan budaya asing dan lokal, dukungan terhadap peran perempuan menjadi demikian tinggi.
Kajian terhadap beberapa kasus di atas hanyalah sedikit contoh yang menyadarkan kita untuk tidak terburu-buru membuat kesimpulan tentang Islam dan masyarakat Muslim. Tidak ada garis linear yang langsung menghubungkan antara doktrin Islam dengan seluruh perilaku Muslim.
Tidak juga tepat mereduksi praktik sosial Muslim semata-mata dalam kotak-kotak politik, ekonomi, pendidikan maupun budaya. Masing-masing variabel tersebut memiliki dinamika tersendiri yang jika bersentuhan dengan variabel lain akan memproduksi pola-pola tertentu.
Hal ini bukan berarti semuanya relatif atau keragaman masyarakat Muslim sama sekali tidak berkaitan satu sama lain.
Islam sebagai Agama
Agama adalah sistem keyakinan atau kepercayaan manusia terhadap sesuatu zat yang dianggap Tuhan. Keyakinan itu diperoleh manusia berdasarkan pengetahuan yang bersumber dari kemampuan diri (otodidak) seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim.
Secara etimologi, term agama seakar dengan religion (Inggris), religie (Belanda), religio (Yunani), ad-dien, syariat, hisab (Arab-Islam) atau Dharma (Hindu). Menurut Louis Ma’luf dalam al-Munawar (231) term agama dalam Islam secara spesifik berasal dari kata al-dien (jama’ dari kata al-Adyan) yang mengandung arti al-Jazaa wa al-Mukaafah, al-Qdla, al-Malik-al-Mulk, al-Sulthan, al-Tadbiir, al-Hisab. Monawar Chalil (1970: 13) menafasirkan kata al-dien sebagai bentuk mashdar dari kata kerja “daana-yadiinu” yang mengandung arti antara lain: “cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat dan patuh, meng-Esa-kan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama”.
Dari pengertian yang khas itu, makna al-dien dalam Islam sesungguhnya tidak cukup diartikan hanya sekedar kepercayaan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Zat Maha Pencipta. Lebih dari itu, Dien al-Islam juga merupakan seperangkat norma dan nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesama, bahkan dengan lingkungan alam sekitar beserta penghuninya.
Secara sosiologis, agama yang mengandung kepercayaan dengan berbagai praktek pengamalan ibadahnya dalam kehidupan masyarakat, adalah merupakan masalah sosial. Karena agama adalah bagian dari masyarakat, tidak ada agama tanpa masyarakat, begitu pula sebaliknya secara antropologis tidak ada masyarakat yang tidak beragama.
Dalam konteks inilah, Emile Durkheim seorang pelopor sosiologi agama dari Prancis menggambarkan bahwa “agama merupakan sumber aspirasi manusia yang paling dalam, sumber semua kebudayaan yang sangat tinggi …”. Jelasnya agama menunjukkan seperangkat aktivitas manusia dan sejumlah bentuk sosial yang mempunyai arti penting.
Berdasarkan sejarahnya, masalah agama adalah masalah sosial, karena menyangkut kehidupan masyarakat yang tidak bisa terlepas dari kajian ilmu-ilmu sosial. Sebab itu ilmu-ilmu agama hakikatnya adalah merupakan rumpun bagian dari ilmu sosial, yang pada awalnya berinduk pada ilmu sosiologi.
Islam Agama Universal; Perspektif Sosiologi
Sebagai agama yang universal, ajaran Islam bersifat komprehensip dan global dalam memberikan tuntunan kepada ummat manusia. Universalitas Islam menunjukkan bahwa ajaran Islam berlaku universal, untuk seluruh umat manusia di segala penjuru dunia sepanjang zaman. Universalitas Islam memberikan peluang terbuka kepada umat Islam untuk beradaptasi di segala bidang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang terus berkembang, sehingga ajaran Islam tidak pernah usang di makan zaman, tetap aktual ditawarkan kepada segenap umat manusia di manapun dan kapanpun waktunya.
Hampir sebagian besar ayat-ayat al-Quran mengandung makna global, sehingga ajaran Islam selalu aktual menghadapi arus globalisasi sekalipun—yang sekarang ini banyak dibanggakan orang.
Indikasi globalnya ajaran al-Quran yang membuktikan bahwa Islam tetap up to date, aktual sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia di dunia, dapat dipelajari dari beberapa pernyataan dalam al-Quran sendiri.
Pertama, panggilan Allah kepada seluruh ummat manusia (yaa ayyuhan naasu) adalah bukti autentik dalam kitab suci Islam bahwa ajaran Islam berlaku universal untuk semua manusia. Meskipun al-Quran diturunkan di tanah Arab, nabi Muhammad juga berbangsa Arab, tetapi tidak ada satupun panggilan Allah dalam ayat al-Quran yang ditujukan khusus untuk orang Arab (tidak ada ayat yang diawali dengan kalimat yaa ayyuha al-“arabiyyu).
Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa al-Quran sebagai sumber pedoman utama ajaran Islam, diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia hudan li al-naasi). Berbeda dengan pernyataan al-Kitab atau Bibel bagi kaum Nasrani yang panggilannya khusus ditujukan hanya untuk “domba-domba Israil”.
Kedua, perintah Allah dalam al-Quran menyangkut ibadah shalat, cara wudhu dan cara berpakaian, sama sekali tidak rinci—melainkan global dan universal. (Aqimi al-shalata li duluki al-syamsi ilaa ghasaqi al-laili wa qura’aana al-fajri= tegakkan shalat pada saat mulai menampakkan matahari sampai pertengahan malam dan menjelang terbit fajar). (Inna al-shalaata li al-mu’miniina kitaaban mauquuta= sesungguhnya shalat itu bagi orang yang beriman merupakan ketentuan yang sudah diatur waktunya).
Begitu pula ajaran berwudhu hanya ditentukan secara global (Yaa ayyuha a-lladziina aamanuu idzaa qumtum ila al-shallaati faghsiluu wujuhakum wa aydiyakum ila al- maraafiqi wamsahuu biru’uusikum wa arjulakum ila al-ka’baini=hai orang-orang yang beriman jika kamu hendak menegakkan shalat, basuhlah mukamu dan kedua tangan sampai siku, kemudian usaplah sebagian kepalamu dan kakimu sampai mata kaki). Cara berpakaian tidak ditentukan jenis, bahan, warna, model dan lain-lain, yang penting sopan bersih dan menutup aurat.
Hal ini memberi kesempatan kepada umat Islam untuk berpakaian sesuai dengan budaya pakaian masyarakat sekitar, asa tetap menutup aurat. Tidak ada keharusan bagi ummat Islam untuk berpakaian ala Arab—karena belum tentu sesuai dengan sosio kultural masyarakat lingkungannya, itu sebabnya masyarakat Islam di Jawa mengenakan sarung, peci hitam, bangkon, di Barat pakai celana, berjas dan dasi, di kota-kota besar di Indonesia mengenakan pakaian adat daerah dan sebagainya. Ketiga, Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad di tanah Arab itu, juga merupakan rahmat bagi penghuni alam semesta, bukan hanya manusia, bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan haruslah menerima imbas rahmat dari luasnya ajaran Islam.
Islam mengajarkan agar umat menyayangi sesama, termasuk binatang sekalipun. Karena itu orang yang menyiksa binatang peliharaan akan mendapat siksa, dan umat Islam diajarkan supaya menyembelih hewan dengan cara yang baik, memelihara tumbuhan serta lingkungan agar tidak rusak. Begitu luas dan mulianya ajaran Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al’alamin).
Ajaran fundamental Islam yang terangkum dalam rukun Islam dan rukun Iman banyak berimplikasi sosial.
Syahadat misalnya, dalam konteks sosial, pernyataan pengakuan sangat diperlukan: saksikanlah bahwa saya seorang muslim, minimal untuk menunjukkan kepada kelompok masyarakat yang bermaksud mengajak berbuat dosa, melakukan perbuatan maksiat atau menyimpang dari ajaran Islam, agar tidak memaksakan kehendaknya mendukung perbuatan dosanya. Inilah prinsip hidup bermasyarakat secara islami, saling membantu dan menolong dalam hal kebaikan dan taqwa, bukan dalam maksiat dan dosa.
Sahalat berjamaah secara sosiologis merupakan manifestasi dari kebersamaan, solidaritas dan integritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Zakat manifestasi dari solidaritas sosial, rasa kemanusiaan yang adil dan bertanggung jawab, kepedulian—sense of crisis, dan berempati terhadap penderitaan atau kesusahan orang lain.
Berpuasa merupakan upaya pengendalian diri dari tindakan yang melampaui batas dan demikian pula pada aspek ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Pada rukun iman, misalnya iman kepada Allah akan memberikan kontrol terhadap seorang muslim dalam kehidupan sosial masyarakat, karena Allah Maha Menyaksikan segala gerak kehidupan manusia—sehingga adakah peluang kita untuk melakukan kemaksiatan, korupsi misalnya? Karena keyakinan kita yang terungkap secara jelas dalam kalimat “fainallah?”.
Sayang, Islam kita cenderung formalistik dengan mengesampingkan esensinya. Sehingga—dalam konteks Indonesia, kita kaget ketika disinyalir sebagai bangsa yang terkorup, padahal mayoritas penduduknya beragama Islam—sebagaimana pernah diungkapkan Harun Nasution. Kang Jalal sering bicara, ada anggapan di kita, kalau kesalahan dilakukan bersama-sama dianggap sebuah kebenaran, walaupun yang dilakukan adalah pekerjaan ‘maling’. Akankah wajah ‘Chimera monstery’ bangsa ini akan menjadi sebuah keniscayaan, separuh berbentuk manusia dan separuhnya berbentuk binatang—sebagaimana diungkapkan kang Jalal. Semoga kita bisa menangkap ‘isi’ Islam ketimbang kulitnya.
Wallahu a’lam bi al-shawab