Kepemimpinan Supervisor dalam Meningkatkan Motivasi Guru
Rabu, 06 Mei 2009
KEPEMIMPINAN SUPERVISOR DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI GURU
Oleh: Masduki Duryat
Latar Belakang
Sudah merupakan opini umum bahwa permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Pemerintah menurut Dadang Dally melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di antaranya melalui pengadaan buku dan alat pelajaran, berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, perbaikan, pengadaan sarana/prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan perbaikan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari sini jelas posisi guru sangat urgen, karena apapun fasilitas dan sarana yang lengkap dalam pendidikan jika guru kurang motivasi dalam menjalankan tugasnya, maka mutu pendidikan yang kita harapkan hanya sebuah utopia belaka. Untuk mensemangati peran guru juga diperlukan upaya kepala sekolah, supervisor secara intens memberikan perbaikan dan peningkatan peran guru dalam menjalankan tugasnya.
Kepemimpinan Supervisor
Kepemimpinan merupakan inti manajemen, sedangkan manajemen adalah inti dari administrasi. Pada umumnya kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas dari individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Sedangkan Ordway Tead dikutip oleh Kartini Kartono, “Kepemipinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan”.
Hal senada juga dikemukakan oleh E. Mulyasa bahwa “kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan”. Dalam tulisan lain Sondang P. Siagian mendefinisikan kepemimpinan adalah “Kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasi”.
Dari beberapa definisi tersebut dapat terlihat beberapa hal , yaitu:
Pertama, Bahwa yang menjadi dasar utama dalam efektifitas kepemimpinan seseorang bukan pengangkatan atau penunjukannya selaku “kepala”, akan tetapi penerimaan orang lain terhadap kepemimpinan yang bersangkutan. Kedua,Efektifitas kepemimpinan seseorang tercermin dari kemampuan untuk bertumbuh dalam jabatannya. Ketiga,Efektifitas kepemimpinan itu menuntut adanya kemahiran untuk “membaca” situasi. Keempat, Bahwa perilaku seseorang tidak serta merta terbentuk begitu saja tetapi berproses yang dipengaruhi oleh antara lain faktor genetik, pendidikan dan
pengalaman serta lingkungan. Kelima, Kehidupan organisasional yang dinamis dan serasi hanya dapat tercipta apabila setiap anggota mau untuk menyesuaikan cara berpikir dan bertindak dengan kepentingan bersama.
Dalam bahasa lain dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan sedikitnya mencakup tiga hal yang saling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karakteristiknya; adanya pengikut; serta adanya situasi kelompok tempat pemimpin dan pengikut berintegrasi.
Sedangkan definisi supervisi adalah suatu teknik pelayanan yang tujuan utamanya mempelajari dan memperbaiki secara bersama-sama faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Supervisi adalah “suatu aktifitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para gurudan pegawai sekolah lainya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif”. Sementara itu H.M. Daryanto setelah mengutip beberapa pendapat misalnya dari P. Adams dan Frank G. Dickey yang mengatakan “Supervision is a planned program for the improvement of instruction”, kemudian Alexander dan Saylor, yang mengatakan “supervisi adalah suatu program inservice education dan usaha memperkembangkan kelompok (group) secara bersama” dan beberapa pendapat pakar lainnya, sampai pada suatu kesimpulan bahwa supervisi itu paling tidak memiliki unsur-unsur pokok, yakni tujuan, situasi belajar-mengajar dan supervisor.
Dari beberapa pendapat tentang definisi supervisi tersebut dapatlah dijelaskan bahwa situasi belajar-mengajar di sekolah akan lebih baik tergantung kepada keterampilan supervisor sebagai pemimpin. Seorang supervisor yang baik harus memiliki lima keterampilan dasar , yaitu:
(a) Keterampilan dalam hubungan-hubungan kemanusiaan
(b) Keterampilan dalam proses kelompok
(c) Keterampilan dalam kepemimpinan pendidikan
(d) Keterampilan dan mengatur personalia sekolah; dan
(e) Keterampilan dalam evaluasi.
Dari pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa supervisi tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada guru-guru, baik secara individual maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran. Kata kunci dari pemberi supervisi pada akhirnya ialah memberikan layanan dan bantuan.
Berkaitan dengan gaya-gaya kepemimpinan yang pokok, ada tiga yaitu (1) otokratis, (2) laissez faire, dan (3) demokratis.
Lebih rinci akan dijelaskan sebagai berikut
Kepemimpinan yang otokratis
Pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap angota-anggota kelompoknya. Baginya, memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokratis hanya dibatasi oleh undang-undang. Penfsirannya sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah. Kewajiban bawahan atau anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan, tidak boleh membantah ataupun mengajukan saran.
Supervisi bagi pemimpin yang otokratis hanyalah berarti mangontrol, apakah segala perintah yang telah diberikan itu ditaati atau dijalankan dengan baik oleh anggota-anggotanya. Jadi bukan supervisi, melainkan inspeksi, mencari kesalahan-kesalahan dan meneliti orang-orang yang tidak taat dan tidak percaya kepada pribadi pemimpin, kemudian orang-orang semacam itu diancam dengan hukuman, dipindahkan atau dipecat dari jabatannya.
Sebaliknya orang-orang yang berlaku taat dan patuh serta dapat menyenangkan pribadinya, akan mendapat penghargaan.
Kepemimpinan yang laissezfaire
Kepemimpinan tipe ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Tipe pemimpin ini membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya, tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan kepada anggota kelompok, tanpa petunjuk atau saran-saran dari pimpinan.
Dalam supervisi laisses faire adalah bentuk demokrasi yang salah.
Kita ketahui bahwa demokrasi tidaklah demikian, sebab jika ini terjadi justeru pengawasan yang lemah dan tanpa tanggung jawab. Tidaklah mengherankan akibat dari kepemimpinan ini mudah sekali timbul kesimpangsiuran dalam kekuasaan dan tanggung jawab di antara guru-guru dan pegawai-pegawai lainnya.
Kepemimpinan yang demokratis
Pemimpin tipe ini menafsirkan kepemimpinannya sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota-anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan saudara tua di antara teman-teman sekerjanya, atau sebagai kakak terhadap saudara-saudaranya.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Pemimpin tipe ini mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan menaruh kepercayaan pula kepada anggota-anggotanya bahwa mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
Motivasi Kerja Guru
Motivasi kerja dapat dirumuskan konstruknya adalah “Proses yang dilakukan untuk menggerakkan guru agar perilaku mereka dapat diarahkan pada upaya-upaya nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
Persoalannya, hal-hal apakah yang menjadi indikator dari variabel motivasi kerja guru sehingga variabel tersebut benar-benar berpengaruh pada kinerja guru? Secara implisit motivasi kerja guru tampak melalui (1) tanggung jawab dalam melakukan kerja, (2) prestasi yang dicapainya, (3) pengembangan diri, serta (4) kemandirian dalam bertindak. Keempat hal tersebut merupakan indikator penting untuk menelusuri motivasi kerja guru.
Meneliti guru sebagai salah seorang pelaksana kegiatan pendidikan di sekolah sangat diperlukan. Tidak jarang ditemukan guru yang kurang memiliki gairah dalam melakukan tugasnya, yang berakibat kurang berhasilnya tujuan yang ingin dicapai. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kurangnya motivasi kerja guru.
Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai tenaga penggerak yang mempengaruhi kesiapan untuk memulai melakukan rangkaian kegiatan dalam suatu perilaku.
Motivasi tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dari tingkah lakunya. Motivasi dapat dipandang sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling, dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan . Pernyataan ini mengandung tiga pengertian, yaitu bahwa (1) motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu; (2) motivasi ditandai oleh adanya rasa atau feeling, afeksi seseorang. Dalam hal ini, motivasi relevan dengan persoalan kejiwaan, afeksi, dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia; (3) motivasi dirangsang karena adanya tujuan.
Di samping itu, motivasi juga dapat dinilai sebagai suatu daya dorong (driving force) yang menyebabkan orang dapat berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, motivasi menunjuk pada gejala yang melibatkan dorongan perbuatan terhadap tujuan tertentu. Jadi, motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yaitu tujuan.
Peran Supervisor dalam Meningkatkan Motivasi Kerja Guru
Sebelum membahas tentang motivasi kerja guru. Terlebih dahulu dikemukakan pandangan kerja itu sendiri. Pandanga kerja dan bekerja dewasa ini, bukanlah seperti pandangan konservatif yang menyatakan bahwa kerja jasmaniah adalah bentuk hukuman sehingga tidak disukai orang.
Oleh karena itu visi modern melihat kerja sebagai: (1) aktivitas dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan manusia, (2) kerja memberikan status dan mengikat seseorang kepada individu lain dan masyarakat, (3) pada umumnya, wanita maupun pria menyukai pekerjaan, jadi mereka suka bekerja, (4) moal pekerja dan pegawai tidak mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisik dari pekerjaan, (5) insentif kerja banyak sekali bentuknya, di antaranya ialah uang, dalam kondisi normal merupakan insentif yang paling tidak penting.
Berbagai ciri yang dapat diamati bagi seseorang yang memiliki motivasi kerja, antara lain sebagai berikut: (1) kinerjanya tergantung pada usaha dan kemampuan yang dimilikinya dibandingkan dengan kinerja melalui kelompok, (2) memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, dan (3) seringkali terdapat umpan balik yang konkrit tentang bagaimana seharusnya ia melaksanakan tugas secara optimal, Efektif dan efisien.
Dalam kaitan peran kepemimpinan supervisor, banyak hasil-hasil studi yang menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang terdapat dalam setiap organisasi merupakan faktor yang berhubungan dengan produktifitas dan efektifitas organisasi. Sutermeister mengemukakan ada beberapa faktor determinan terhadap produktivitas kerja antara lain iklim kepemimpinan (leadership elimate), tipe kepemimpinan (type of leadership), dan pemimpin (leaders).
Dalam kaitannya dengan peranan gaya kepemimpinan supervisor dalam meningkatkan motivasi guru, perlu dipahami bahwa setiap pemimpin bertanggung jawab mengarahkan apa yang baik bagi bawahannya, dan dia sendiri harus berbuat baik. Pemimpin juga harus menjadi contoh, sabar, dan penuh pengertian. Fungsi pemimpin hendaknya diartikan seperti motto Ki Hajar Dewantoro; “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri Handayani”. Di sini seorang supervisor harus mampu menempatkan dirinya menjadi pemimpin yang demokratis dengan mengambil peran sebagaimana diungkapkan Ki Hajar Dewantoro di atas, sehingga mampu membengkitkan motivasi bawahannya.
Penutup
Dari paparan makalah ini dapat disimpulkan beberapa hal:
Pertama, Kepemimpinan supervisor secara garis besar ada tiga macam yaitu otokratis, laisses faire dan demokratis. Kedua, Dimensi motivasi kerja guru dapat dilihat dari sudut internal dan eksternal. Ketiga, Peran kepemimpinan supervisor dalam meningkatkan motivasi guru mengambil bentuk sikap sebagaimana motto Ki Hajar Dewantoro yaitu “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani”.
Lihat Dadang Dally, Revitalisasi Peran Kepala Sekolah Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan dalam Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan (Jatinangor: AlQaprint, 2005), h. 1. Upaya lain yang ditawarkan beliau adalah melalui revitalisasi peran kepala sekolah.
Ada tiga hal permasalahan bidang pendidikan yang sampai saat ini belum teratasi. Pertama, rendahnya tingkat sumber daya manusia Indonesia yang dibuktikan dengan data studi UNDP tahun 2004 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks Indonesia menempati urutan 109 dari 174 negara. Kedua, cerminan sikap dan watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud.
An Indonesian Education Reform Throught School Based Management. Http://www.e-dukasi.net. Html. Rahman, Kepemimpinan dalam Konteks Pemberdayaan Kepala Sekolah, dalam Asosiasi Kepala Sekolah Indoneisa (AKSI), Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan, (Dr. H. Rahman, Ed). (Jatinangor: Alqaprint, 2005), h.105
Ibid, h. 105, Rahman juga mengutip pendapat James M. Liphan yang mendefiisikan kepemimpinan adalah “The leadership as the behavior of an individual that anitiatives a new structure in interaction within a social system by changing the goals, objectives, configuration, procedures, or output of the system”. Bandingkan juga tulisan Wirawan, Teori Kepemimpinan Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, (Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan Uhamka Press, tt), h. 25
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), Cet. Ke-6, h. 107
Lebih jauh baca Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), Cet. Ke-14, h. 24
Ibid, h. 24-25
Definisi yang dikemukakan oleh Burton dan Bruckner, lihat Zainal Aqib dan Elham Rohmanto, Membangun Profesioalisme Guru dan Pengawas Sekolah, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2007), h. 188. Lebih luas definisi ini dikemukakan oleh Kimbali Wiles yang juga dikutip oleh Zainal Aqib dan Elham Rohmanto, bahwa supervisi adalah bantuan yang diberikan untuk memperbaiki situasi belajar-mengajar agar menjadi lebih baik.
M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Ke-10, h. 76
H.M. Daryanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 169-171
Zainal Aqib, Elham Rohmanto, Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah, Op. Cit., h. 188. Secara rinci (1). Dalam bidang kepemimpinan meliputi: Menyusun rencana dan policy bersama, mengikutsertakan anggota-anggota kelompok (guru-guru, pegawai) dalam berbagai kegiatan, memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan memecahkan persoalan, membangkitkan dan memupuk semangat kelompok, atau memupuk moral yang tinggi kepada anggota kelompok, mengikutsertakan semua anggota dalam menetapkan keputusan, membagi-bagi dan mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada anggota kelompok sesuai dengan keahliannya, mempertinggi daya kreatif pada anggota kelompok, menghilangkan rasa rendah diri dan rasa malu. (2) Dalam hubungan kemanusiaan, meliputi: memanfaatkan kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang dialaminya untuk dijadikan pelajaran, membantu mengatasi kekurangan atau kesulitan, mengarahkan sikap demokratis, memupuk sikap saling menghormati, menghilangkan rasa curiga. (3) Dalam Pembinaan Proses Kelompok, meliputi: mmengenal masing-masing pribadi anggota, memelihara sikap saling percaya, memupuk rasa tolong-menolong, memperbesar rasa tanggung jawab, bertindak bijaksana dalam menyelesaikan pertentangan, menguasai teknik-teknik memimpin rapat. (4) Dalam bidang administrasi personil, meliputi: memilih personil yang memiliki syarat dan kecakapan yang diperlukan dalam pekerjaan, menempatkan personil pada tempat dan tugas yang sesuia dengan kemampuannya, mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan. (5) Dalam bidang evaluasi, meliputi: menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan, menguasai dan memiliki norma atau kriteria penilaian, menguasai teknik pengumpulan data, menafsirkan dan menyimpulkan hasil-hasil penilaian. Lihat M. Ngalim Purwanto, dkk., Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1989), h. 63-65
M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdkarya, 2000), . 48
Bandingkan pada tulisan yang lain M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1981, h. 56, yang mengatakan inspeksi bukanlah suatu pengawasan yang berusaha menolong guru untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar.
Ibid, h. 57
M. Ngalim Purwanto, Op. Cit, h. 50
Hamzah B. Uno, Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 72
Robert C. Beck, Motivaton Theories and Principle, (New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1990), h. 21
Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar (Jakarta: Radjawali, 1986), h. 73
Harold Koontz & Heinz Weihrich, Management Ninth Edition, (New York: McGraw Hill Book Company, 1977), h. 411
Kenneth, N. Wexley, Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personal Psychology, (Illinois: Richard D. Irwin, Inc., 1977), h. 77
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 117
Ibid, h. 105, Rahman juga mengutip pendapat James M. Liphan yang mendefiisikan kepemimpinan adalah “The leadership as the behavior of an individual that anitiatives a new structure in interaction within a social system by changing the goals, objectives, configuration, procedures, or output of the system”. Bandingkan juga tulisan Wirawan, Teori Kepemimpinan Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, (Jakarta: Yayasan Bangun Indonesia dan Uhamka Press, tt), h. 25
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), Cet. Ke-6, h. 107
Lebih jauh baca Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997), Cet. Ke-14, h. 24
Ibid, h. 24-25
Definisi yang dikemukakan oleh Burton dan Bruckner, lihat Zainal Aqib dan Elham Rohmanto, Membangun Profesioalisme Guru dan Pengawas Sekolah, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2007), h. 188. Lebih luas definisi ini dikemukakan oleh Kimbali Wiles yang juga dikutip oleh Zainal Aqib dan Elham Rohmanto, bahwa supervisi adalah bantuan yang diberikan untuk memperbaiki situasi belajar-mengajar agar menjadi lebih baik.
M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Ke-10, h. 76
H.M. Daryanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 169-171
Zainal Aqib, Elham Rohmanto, Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah, Op. Cit., h. 188. Secara rinci (1). Dalam bidang kepemimpinan meliputi: Menyusun rencana dan policy bersama, mengikutsertakan anggota-anggota kelompok (guru-guru, pegawai) dalam berbagai kegiatan, memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan memecahkan persoalan, membangkitkan dan memupuk semangat kelompok, atau memupuk moral yang tinggi kepada anggota kelompok, mengikutsertakan semua anggota dalam menetapkan keputusan, membagi-bagi dan mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada anggota kelompok sesuai dengan keahliannya, mempertinggi daya kreatif pada anggota kelompok, menghilangkan rasa rendah diri dan rasa malu. (2) Dalam hubungan kemanusiaan, meliputi: memanfaatkan kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang dialaminya untuk dijadikan pelajaran, membantu mengatasi kekurangan atau kesulitan, mengarahkan sikap demokratis, memupuk sikap saling menghormati, menghilangkan rasa curiga. (3) Dalam Pembinaan Proses Kelompok, meliputi: mmengenal masing-masing pribadi anggota, memelihara sikap saling percaya, memupuk rasa tolong-menolong, memperbesar rasa tanggung jawab, bertindak bijaksana dalam menyelesaikan pertentangan, menguasai teknik-teknik memimpin rapat. (4) Dalam bidang administrasi personil, meliputi: memilih personil yang memiliki syarat dan kecakapan yang diperlukan dalam pekerjaan, menempatkan personil pada tempat dan tugas yang sesuia dengan kemampuannya, mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan. (5) Dalam bidang evaluasi, meliputi: menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan, menguasai dan memiliki norma atau kriteria penilaian, menguasai teknik pengumpulan data, menafsirkan dan menyimpulkan hasil-hasil penilaian. Lihat M. Ngalim Purwanto, dkk., Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1989), h. 63-65
M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdkarya, 2000), . 48
Bandingkan pada tulisan yang lain M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1981, h. 56, yang mengatakan inspeksi bukanlah suatu pengawasan yang berusaha menolong guru untuk mengembangkan dan memperbaiki cara dan daya kerja sebagai pendidik dan pengajar.
Ibid, h. 57
M. Ngalim Purwanto, Op. Cit, h. 50
Hamzah B. Uno, Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 72
Robert C. Beck, Motivaton Theories and Principle, (New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1990), h. 21
Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar (Jakarta: Radjawali, 1986), h. 73
Harold Koontz & Heinz Weihrich, Management Ninth Edition, (New York: McGraw Hill Book Company, 1977), h. 411
Kenneth, N. Wexley, Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personal Psychology, (Illinois: Richard D. Irwin, Inc., 1977), h. 77
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi, dan Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 117