Pendidikan Nilai Dalam PAI
PENDIDIKAN NILAI DALAM PAI
Oleh: Masduki Duryat*)
A. Pendahuluan
Relevansi antara nilai dengan pendidikan sangat erat. Nilai dilibatkan dalam setiap tindakan pendidikan, baik dalam memilih mapun dalam memutuskan setiap hal untuk kebutuhan belajar. Melalui persepsi nilai, guru dapat mengevaluasi siswa. Demikian pula sebaliknya, siswa dapat mengukur kadar nilai yang disajikan guru dalam proses pembelajaran.
Masyarakat juga dapat merujuk sejumlah nilai (benar salah, baik-buruk, indah-tidak indah) ketika mereka mempertimbangkan kelayakan pendidikan yang dialami oleh anaknya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam bentuk persepsi, sikap, keyakinan dan tindakan manusia dalam pendidikan, nilai selalu disertakan. Bahkan melalui nilai itulah manusia dapat bersikap kritis terhadap dampak-damapak yang ditimbulkan pendidikan—termasuk pendidikan agama Islam. Di sisi lain, nilai juga diposisikan sebagai muatan pendidikan. Bahkan, sebagai media kritik bagi setiap orang yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholders) dalam mengevaluasi proses dan hasil pendidikan.
B. Hakikat, Ruang Lingkup dan Nilai Pembelajaran PAI
1. Hakekat Pendidikan Nilai PAI
Sebelum menjelaskan definisi pendidikan nilai, ada baiknya dijelaskan definisi pendidikan dan nilai. Karena pada pendidikan nilai dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam term pendidikan dan term nilai.
Term pendidikan secara etimologi berasal dari bahasa Inggris “education”, yang akar katanya berasal dari bahasa Latin “educere” berarti memasukkan sesuatu. Barangkali yang dimaksud adalah memasukkan ilmu ke kepala seseorang.[1] Jadi di sini ada tiga hal yang terlibat, yaitu: ilmu, proses memasukkan dan kepala orang—kalaulah ilmu itu memang masuk ke kepala.
Dalam bahasa Arab, menurut Zakiah Daradjat[2] pendidikan berasal dari kata “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata kerja “rabba” sudah digunakan sejak zaman nabi Muhammad saw., seperti terlihat dalam al-Quran:
Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
Artinya: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra: 24).
Istilah lain yang digunakan dalam pengertian pendidikan adalah kata “ta’lim”, seperti firman Allah:
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä.
Artinya: “Allah mengajarkan kepada Adam segala nama” (QS. Al-Baqara: 31).
Kata lain yang mengandung arti pendidikan juga adalah “addaba”, seperti sabda rasulullah saw:
Artinya: “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”. (al-Hadits).
Kata-kata “’allama”, “rabba”, “addaba” seperti tersebut di atas, adalah mengandung pengertian yang berbeda. “’allama”, mengandung pengertian kadar memberi tahu atau memberi pengetahuan. Berbeda dengan pengertian “rabba” dan “addaba” yang mengandung makna pembinaan, pimpinan, pemeliharaan dan sebagainya.[3] Menurut al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung[4] bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedang kata tarbiyah, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, berternak dan lain-lain, sebagaimana digunakan di negara-negara berbahasa Arab. Sedang pendidikan yang dalam bahsa Inggrisnya education itu hanya untuk manusia saja. Jadi ta’dib, kata al-Attas, lebih tepat sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta’dib sudah meliputi kata ta’lim, dan tarbiyah.
Secara terminologi, definisi pendidikan dalam Undang-Undang Pendidikan Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal I: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang”.[5]
Dari definisi di atas, memberikan indikasi bahwa pendidikan itu dilakukan secara sadar, tidak secara kebetulan. Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[6]Dengan demikian dalam pendidikan terdapat beberapa unsur. Pertama, adalah usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar. Kedua, pendidik atau penolong. Ketiga, ada yang dididik atau si terdidik. Keempat, bimbingan itu mempunyai sadar dan tujuan. Kelima, dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Tentang nilai, secara etimologi berasal dari kata value; dalam bahasa Arab al-Qiyamah; dalam bahasa Indonesia berarti; nilai.[7]Dalam bahasa Latin (berguna, mampu, akan, berdaya, berlaku dan kuat) termasuk dalam kajian filsafat.[8]Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value).[9]Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya ‘keberhargaan’ (worth) atau ‘kebaikan’ (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.[10]
Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dicapai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Nilai adalah sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau kelompok (The believed capacity of any object to statisty a human desire). Jadi pada hakekatnya, nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada obyek, bukan obyek itu sendiri. Sesuatu dikatakan mengandung nilai jika memiliki sifat atau kualitas yang melekat padanya. Dengan demikian, nilai adalah suatu keyataan ‘tersembunyi’ di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Nilai ada karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna/berharga (nilai kegunaan), benar (nilai kebenaran), baik (nilai moral, dan etika), religius (nilai agama).
Dari definisi tentang pendidikan dan nilai yang beragam, maka berimplikasi pada beragamnya definisi pendidikan nilai—jika digabungkan, yang beragam pula. Misalnya dikemukakan oleh Sastrapratedja yang dikutip oleh Kaswardi[11]yang dimaksud dengan pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertianyang sama Mardiatmadja sebagaimana dikutp oleh Rohmat Mulyana mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.[12] Dua ahli pendidikan itu memiliki pandangan yang sama bahwa pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan.
Sementara itu dalam laporan National Resource Center for Value Education, pendidikan nilai di negara India didefinisikan sebagai usaha untuk membimbing peserta didik dalam memahami, mengalami, dan mengamalkan nilai-nilai ilmiah, kewarganegaraan, dan sosial yang tidak secara khusus dipusatkan pada pandangan agama tertentu.[13]
Dari definisi di atas dapat ditarik suatu definisi pendidikan nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Jika definisi ini direlevansika dengan Pendidikan Agama Islam, tentu pengajaran atau bimbingan tentang nilai yang akan ditanamkan kepada peserta didik adalah penanaman nilai melalui PAI.
2. Ruang Lingkup Pendidikan Nilai dalam PAI
Ruang lingkup PAI meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan
manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan makhluk lain dan linkungannya.
Adapun ruang lingkup bahan pelajaran PAI, meliputi tujuh unsur pokok, yaitu 1) Keimanan, 2) Ibadah, 3) al-Quran, 4) Akhlaq, 5) Muamalah, 6) Syariah, dan 7) Tarikh.
3. Sumber/Dasar Pendidikan Nilai PAI
PAI memiliki dua sumber/dasar dalam pelaksanaan aktivitasnya, yaitu:
a. Dasar/Sumber Ideal
Dasar/sumber ideal PAI adalah: 1) al-Quran, 2) al-Hadits, 3) Kata-kata sahabat, 4) kemasyarakatan ummat (sosial), 5) Nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat dan 6) Hasil pemikiran para pemikir Islam.
Keenam dasar ideal tersebut merupakan hierarki yang tidak dapat diubah susunannya, walaupun hakekatnya keseluruhan dasar itu telah mengkristal dalam al-Quran dan Hadits.
b. Dasar/Sumber Operasional
Dasar operasional PAI adalah merupakan dasar yang terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Hasan Langgulung,[14] dasar operasional dari PAI adalah:
1) Dasar Historis, yaitu dasar yang memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pegalaman masa lalu, undang-undang dan peraturan-peraturannya, batas-batas dan kekurangan-kekurangannya.
2) Dasar Sosial, yaitu dasar yang memberikan kerangka budaya yang pendidikannya itu bertolak dan bergerak. Seperti memindah budaya, memilih dan mengembangkannya.
3) Dasar Ekonomi, yaitu dasar yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi manusia dan keuangan, materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya dan bertanggung jawab terhadap anggaran pembelajaran.
4) Dasar Politik dan Administrasi, yaitu dasar yang memberikan bingkai ideologi (aqidah) dasar, yang digunakan sebagai dasar bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.
5) Dasar Psikologi, yaitu dasar yang memberikan informasi tentang watak pelajar-pelajar, guru-guru, cara-cara terbaik dalam praktek, pencapaian dan penilaian serta pengukuran dan bimbingan.
6) Dasar Filosofis, yaitu dasar yang memberikan kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah satu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.
4. Karakter Pembelajaran Nilai PAI
Dalam buku pedoman khusus PAI dijelaskan sebagai berikut[15]:
1. PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok agama Islam.
2. PAI bertujuan membentuk peserta didik agar beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt., serta memiliki akhlaq mulia.
3. PAI mencakup tiga kerangka dasar, yaitu aqidah, syariah, dan ahlaq.
Berdasarkan karakteristik di atas, PAI jelas berbeda dari mata pelajaran yang lainnya. Muatan inti PAI adalah nilai-nilai kebenaran dan kebakan (juga keindahan) yang berasal dari wahyu. Nilai-nilai itu tercakup dalam tiga kerangka dasar PAI yang harus dikuasai oleh peserta didik.
Apabila itu dikorelasikan dengan pendidikan nilai, maka persoalan utama yang menjadi tanggung jawab guru PAI adalah agar bagaimana pengetahuan tentang tiga kerangka dasar itu menyatu dengan kesadaran yang optimal terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
5. Posisi Pembelajaran Nilai PAI
Posisi pembelajaran nilai PAI dapat dijelaskan dari fungsi PAI yang diembannya, yaitu:
a) Dalam aspek kehidupan individual adalah untu membentuk manusia Indonesia yang percaya dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan warga negara yang baik.
b) Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk: melestrikan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, melestarikan asas pembangunan nasional dan melestarikan modal dasar pembangunan.
Lebih rinci mengenai fungsi pendidikan agama itu adalah sebagai berikut:
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah Swt., yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
2) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan siswa yang memiliki bakat khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal.
3) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan siswa dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajara Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4) Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal yang negatif dari lingkungan siswa atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
5) Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik ingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
6) Sumber Nilai, yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagaiaan hidup di dunia dan akhirat.
7) Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaanyang fungsional.
6. Nilai PAI Secara Filosofis dan Tujuan Nasional Indonesia
Pendidikan agama di Indonesia menjadi tinggi perannya sesuai dasar filosofi dan tujuan nasional Indonesia. Hal ini misalnya dijelaskan oleh Rusmin Tumanggor[16], sebagai berikut:
1. Filosofi bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 pada pembukaan disebutkan negara RI yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Juga disebutkan pada Bab XI tentang agama dinyatakan lagi pada pasal 29 ayat (1) dan (2).
2. Tujuan nasional Indonesia “Menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Keutuhan dimaksud dipayungi dengan “spiritualitas keagamaan” yang dari itu ditekankan agar semua pembangunan kita dilandasi dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma agama, dan dari itu sejak GBHN 1999 yang lalu ditekankan ”Dari itu pendidikan agama perlu dimantapkan”.
C. Tujuan Pembelajaran Nilai PAI
Apabila pendidikan kita dipandang sebagai suatu proses, maka prose tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan, pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dari dalam pribadi manusia yang diinginkan.
Ahmad D. Marimba[17] misalnya menjelaskan, bahwa tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti “terbentuknya kepribadian muslim”. Pendidikan agama Islam dalam realisasi pengajarannya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan itu adalah untuk meningkatkan ketaqwaan siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, artinya menghayati dan mengamakan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan dan menjadi warga negara yang baik. Tujuan ini secara berjenjang harus tercermin secara hirarkhis pada tujuan institusional (kelembagaan), tujuan kurikuler (bidang studi tertentu—misalnya PAI, Standar kompetensi pokok bahasan tertentu sampai kepada KD dan indikatornya.
D. Peran Pengajaran Nilai PAI[18]
1. Peran Pembelajaran Nilai dalam Pendidikan Nasional
Rendahnya mutu pendidikan nasional tidak hanya disebabkan oleh kelemahan pendidikan dalam membekali kemampuan akademis kepada peserta didik. Lebih dari itu ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu kurangnya penyadaran nilai sebenarnya disebabkan oleh banyak hal, tetapi secara umum persoalan itu muncul karena pendidikan nilai selalu menghadapi sejumlah tantangan yang kian hari kian kompleks.
Beberapa penyebab itu antara lain; Pertama, masih kukuhnya pengaruh paham behaviorisme dalam sistem pendidikan kita. Kedua, kapasitas mayoritas pendidik kita dalam mengangkat struktur dasar bahan ajar masih relatif rendah. Ketiga, Tuntutan zaman yang makin pragmatis. Keempat, terdapat sikap dan pendirian yang kurang menguntungkan bagi tegaknya demokratisasi pendidikan.
Kendala-kendala itu harus menjadi dasar pertimbangan pembaharuan pendidikan kita yang cenderung sedang mengalami pergeseran makna pendidikan ke pengajaran.
2. Peran Pembelajaran Nilai dalam PAI
PAI dapat dimaknai dari dua sisi, yaitu: Pertama, ia dipandang sebagai sebuah mata pelajaran seperti dalam kurikulm sekolah umum (SD, SMP, SMA). Kedua, ia berlaku sebagai rumpun pelajaran yang terdiri atas mata pelajaran Aqidah-Ahlaq, Fiqh, Quran-Hadits, SKI, dan Bahasa Arab seperti yang diajarkan di Madrasah (MI, MTs dan MA). Pada bagian ini pendidikan nilai melalui PAI dimaksudkan pada pemaknaan yang pertama, walaupun dalam kerangka umum dapat mencakup keduanya.
Sebagai mata pelajaran PAI memiliki peranan penting dalam penyadaran nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang mengandung nilai, moral, dan etika agama menempatkan PAI pada posisi trdepan dalam pengembangan moral beragama peserta didik. Hal itu berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang kemudian dituntut lebih banyak perannya dalam penyadaran nilai-nilai keagamaan.
Muatan inti PAI adalah nilai-nilai kebenaran dan kebaikan—juga keindahan yang berasal dari wahyu.
3. Peran Pembelajaran Nilai dalam IPA dan Matematika
Pada dasarnya setiap proses pendidikan menyertakan nilai dengan beragam jenis dan intensitasnya. Pembelajaran PAI dan Matematika perlu diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang berdiversifikasi. Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan IPA dan Matematika adalah: membangkitkan peserta didik agar memiliki dorongan untuk tahu dan paham, memiliki kemampuan mengumpulkan data, menemukan makna,berpikir logis, memilih alternatif pilihan beserta akibatnya, memahami manusia pada posisi yang manusiawi dan menghargai perbedaan pendapat. Pendekatan nilai melalui IPA dan Matematika diperlukan strategi yang tepat. Nilai perlu diperluas dan diperkaya. Demikian pula aktifitas pembelajaran perlu diarahkan pada pemahaman dan pengalaman nilai-nilai yang secara langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
E. Proses Belajar Mengajar Nilai PAI
1. Prinsip Pembelajaran
Sebagai salah satu proses pembelajaran yang memiliki misi pengembangan nilai agama pada diri peserta didik, PAI perlu mengacu pada prinsip pengembangan nilai keyakinan beragama secara konstruktif. Kerangka makro pendidikan agama perlu memberikan peluang-peluang bagi pengembangan sistem nilai pada diri peserta didik, sekaligus menumbuhkan semangat belajar. Prinsip-prinsip pembelajaran yang harus ditempuh dalam pendidikan agama antara lain: pengembangan fitrah beragama, pemusatan belajar pada kebutuhan peserta didik, pembangkitan motivasi peserta didik, pembiasaan belajar sepanjang hayat, dan keutuhan kompetensi.
2. Pemanfaatan Sumber Belajar
Sumber belajar yang dimaksud meliputi sumber belajar yang sudah disediakan secara formal seperti perpustakaan, buku sumber, laboratorium, mesjid, dan sumber belajar lain yang dapat digali.
3. Penyusunan Materi Terpilih
Dalam menginternalisasikan nilai keagamaan kepada peserta didik sebenarnya banyak materi yang dapat dipilih berdasarkan kebutuhan pembelajaran. Cerita-cerita dari sejarah Islam, sejarah para nabi, sejarah cendekiawan muslim adalah materi yang efektif untuk menanamkan nilai keagamaan. Karena itu, cerita-cerita itu dapat dijadikan materi terpilih dalam menyusun silabus materi yang disesuaikan dengan kompetensi siswa yang hendak dicapai.
4. Penerapan Variasi Metode
Pada dasarnya pendidikan agama tidak akan berhasil apabila hanya menerapkan satu metode. Setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Karena itu, pada prinsipnya metode pembelajaran agama dapat dilakukan secara eklektik—yakni menggabungkan sejumlah metode secara proporsional.
5. Penerapan Evaluasi Berkelanjutan
Evaluasi berkelanjutan penting untuk dilakukan oleh para pendidik. Betapa tidak, salah satu penyebab lemahnya pendidikan agama di sekolah adalah kurang terukurnya aspek-aspek kemajuan belajar yang mewakili sikap dan nilai. Sementara ini, evaluasi melalui tes sering dijadikan tujuan pembelajaran. Padahal tes hanya merupakan salah satu tujuan antara (mean) dalam mengidentifikasi kemampuan akademis peserta didik. Dalam konteks pembelajaran nilai-nilai agama, evaluasi berkelanjutan menjadi perhatian utama. Fokus utamanya adalah internalisasi nilai pada peserta didik melalui pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia
D. Marimba, Ahmad, 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif
Daradjat, Zakiah, 1991. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang
Daradjat, Zakiah, 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara dan Depag RI
Depdiknas, 2002. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), Jakarta: Tim Broad-Based Education
Ismaun, 2001. Diktat Kuliah Filsafat Ilmu, Bandung: UPI
Kaswardi, 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: Gramedia
Langgulung, Hasan, 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Bandung: al-Husna
Priatna, Tedi, 2004. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Rusmin Tumanggor, Peningkatan Spiritualitas Keagamaan pada Sekolah Implementasi Falsafah dan Regulasi NKRI, Makalah Seminar di Indramayu, Ahad, 27 Juli 2008
Sudijono, Anas, 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Semarang: Aneka Ilmu
[1] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Bandung: al-Husna, 1988), h. 4
[2]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 26
[3] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara dan Depag RI, 1992), h. 25-27
[4] Hasan Langgulung, Op.cit., h. 5
[5] Undang-Undang RI, No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 2
[6] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), h. 19
[7] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 1
[9] Aksiologi (Axios=value, worthy + logos = account, reason, theory) adalah bidang filsafat yang menyelidiki pengertian, jenis, tingkat, sumber dan hakekat nilai secara kemestaan. Lihat H. Ismaun, Diktat Kuliah Filsafat Ilmu, (Bandung: UPI, 2001), h. 11
[10] Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam, Ikhtiar Mewujudkan Pendidikan Bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 16
[11] Kaswardi, Pendidikan Nilai Memasuki tahun 2000, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993), h. 78
[13] Ibid, h. 119. Hal ini juga diamini oleh David Aspin, walau definisinya lebih operasional. Ia misalnya mengatakan bahwa pendidikan nilai sebagai bantuan untuk mengembangkan dan mengartikulasikan kemampuan pertimbangan nilai atau keputusan moral yang dapat melembagakan kerangka tindakan manusia.
[14] Hasan Langgulung, Op.Cit., h. 6
[15] Depdiknas, Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), (Jakarta: Tim Broad-Based Education, 2002), h. 15
[16] Lebih jelas dan terperinci baca Rusmin Tumanggor, Peningkatan Spiritualitas Keagamaan pada Sekolah Implementasi Falsafah dan Regulasi NKRI, Makalah disampaikan pada workshop guru agama dan umum, menmbuhkan proses belajar yang baik dan bernuansa agama terhadap siswa. Ahad, 27 Juli 2008 di SMP Negeri 1 Indramayu Jawa Barat.
[17] Ahmad D. Marimba, Op.Cit., h 46