Remaja Bercinta; Pahala Vs Dosa
REMAJA BERCINTA; PAHALA VS DOSA
Oleh: Masduki Duryat*)
Iif Wijayanto dalam Pemerkosaan Atas Nama Cinta (PANCI) Potret Muram Interaksi Sosial Kaum Muda dengan elegan menuturkan “Sadarkah anda, bahwa saat ini kita berhadapan dengan kampanye-kampanye sesat, Seks sedang dibumikan dengan jargon-jargon safe seks atau seks aman, seks is your choise (seks adalah pilihan anda). Atau juga anak muda berhak untuk menikmati seks, asalkan aman dan dilakukan dengan orang yang dicintainya”. Fenomena ini sangat menghawatirkan karena sedemikian gencarnya dipropagandakan, sehingga pacaran dan seks bebas menjadi bagian dari dunia remaja dan terjadi tidak hanya di dunia maya tetapi menjadi sebuah keniscayaan. Kampanye “Say No Seks Before Marriage”, juga menjadi semacam ‘anjing menggonggong kafilah tetap berlalu’ atau kalau kita tetap konsisten, akan ditinggal sendirian, dianggap ‘orang asing’ di tengah komunitas mereka yang menamakan dirinya ‘modern’. Tetapi yakinlah “We always support you eventhough the world is not friendly again, keep istiqamah don’t give up, good luck”, sebagaimana SMS yang disampaikan kepada Iif Wijayanto.
Remaja dan Ciri-Cirinya
Sebelun kita membahas remaja dan segala implikasinya, akan kita bicarakan persoalan remaja dengan ciri-cirinya yang tidak dapat dipisahkan dengan pacaran. Hasil penelitian di kota Kandanghaur membuktikan dari 630 responden yang nota benenya adalah remaja membuktikan sebanyak 9,31 % menjawab selalu, 55,06 % kadang-kadang dan 36,50 % tidak pernah.
Menurut Sorjono Soekanto, golongan remaja muda (early adolescence) adalah para gadis berusia 13 sampai 17 tahun. Bagi laki-laki, yang disebut remaja muda, berusia 14 sampai 17 tahun. Mereka inilah yang disebut remaja muda yang secara umum disebut sebagai “teenagers”.
Apabila remaja muda sudah menginjak usia 17 tahun sampai dengan 18 tahun, remaja lazim disebut golongan muda atau pemuda dan pemudi (youth). Walaupun kita sadari bahwa remaja tergolong transisional. Hal demikian dipertegas oleh Yaumil Agoes Achir, bahwa seorang diktakan remaja pada saat terjadi perubahan badaniyah yang dibarengi dengan perubahan struktur dan fungsi. Dikatakannnya lebih lanjut, karena pengaruh kelenjar “pituitary” yang terletak di dasar otak hingga tubuh mmendapatkan ciri-cirinya sebagai wanita dewasa atau pria dewasa. Kelenjar inipun berpengaruh terhadap kematangan fungsi seksual. Remaja putri akan memperoleh “menarche” yaitu haid yang pertama yang akan disusul dengan haid selanjutnya. Remaja putra akan mengalami perubahan pada “testicle”. Yang sekarang sudah mampu memproduksi sel sperma. Hal demikian berkonsekuensi pada rasa ketertarikan pada lawan jenis, dan ini alamiah. Persoalannya bagaimana dorongan-dorongan seksual tadi mampu disesuaikan dengan aturan dan norma-norma sosial, agama dan kultur yang berlaku. Di sini kemudian pentingnya seks education, sehingga remaja mampu menangkap perubahan-perubahan badaniyah itu yang pada gilirannya dapat mengarahkan dirinya secara ‘cerdas’ dan bertanggung jawab. Tidak sebaliknya remaja ingin menunjukkan rasa keingintahuannya pada tubuhnya dengan tindakan pembuktian dan uji coba yang salah.
Sementara itu Anshar Sunyono Munandar menambahkan, bahwa pada masa ini kemampuan intelektual mulai mencapai perkembangan optimal. Dengan pertumbuhan biologik dan perkembangan kemampuannya timbul suatu kesadaran “aku” pada remaja. Ia sadar aka “aku”nya, sehingga mulai secara intens memperhatikan dirinya. Ia sadar akan kekuatan fisik dan psikhisnya, dan mencoba-coba kekuatannya. Dan bahkan menurut bahasa Kartini Kartono pada masa ini remaja ingin membuang jauh-jauh tradisi dan “kekuasaan orang dewasa”.
Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan secara umum, bahwa dari sudut kepribadian remaja memiliki ciri-ciri, Pertama perkembangan fisik yang pesat, sehingga ciri-ciri sebagai laki-laki atau perempuan tampak semakin jelas. Kedua, keinginan yang kuat untuk mengadakan interaksi sosial dengan orang yang lebih dewasa, yang kadang ia ingin dianggap dewasa oleh masyarakat. Ketiga, keinginan kuat untuk mendapat kepercayaan dari orang dewasa, walaupun tanggung jawab relatif belum matang. Keempat, mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, dengan mengutamakan kebebasan dari pengawasan yang terlalu ketat oleh orang tua atau sekolah. Kelima, adanya perkembangan intelektualitas untuk mendapatkan identitas diri. Keenam, menginginkan sistem kaidah dan nilai yang serasi dengan kebutuhan atau keinginannya, yang kadang tidak selalu sama dengan sistem yang dianut oleh orang dewasa.
Bercinta Pada Remaja
Sebagai makhluk sosial yang hidup di peradaban modern, remaja yang sudah dewasa kwhidupan seksualnya dianggap belum waktunya untuk menikah. Pertimbangannya macam-macam, misalnya pertimbangan pendidikan, sosial maupun ekonomi. Di samping itu kita meyakini bahwa pernikahan bukan hanya untuk kepentingan konsumtif belaka, untuk mendapat kesenangan, tetapi pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, lembaga pernikahan menurut Makmurah Sri Rahayu merupakan tempat manusia mmendapat ketenteraman, kebutuhan berteman, berhubungan dengan orang lain lebih akrab, intim secara fisik maupun psikologis. Karena itu seringkali kesulitan remaja bersumber dari konflik yang timbul antara dorongan seksual yang perlu penyaluran dengan berbagai pertimbangan rasional.
Namun remaja tidak dapat dihalangi untuk bercinta, dan pacaran. Bagi remaja bercinta adalah bagian dari kehidupannya. Sebenarnya ada berbagai segi positif dari bercinta di samping kesulitan yang mewarnai percintaan pada remaja. Bercinta dapat memperkaya khazanah alam perasaan dengan berbagai penghayatannya. Mereka yang bercinta nampak lebih hidup, ceria dan berbahagia. Bercinta dapat mengasah kepekaan orang lain tentang perasaan, kebutuhan, pandangan maupun kemauan orang lain. Seseorang yang bercinta, belajar menilai, menghargai sikap, dan keinginan orang yang dicintainya. Bercinta mengajarkan pada orang untuk “take and give”, mengurangi egoisme, menambah pengertian dan kesabaran. Sehingga meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmat, cinta adalah “sharing” saling berbagi bukan saling menuntut, kita tidak akan menuai kasih sayang, kalau yang kita tanam adalah kebencian.
Berpacaran dari sudut psikologis adalah gejala normal. Namun sebagai makhluk Fi ahsani taqwim, kita menyadari bahwa instinktif itu harus memiliki makna dan jangkauan sosial-moral dan budaya. Sehingga kita tidak terjebak pada budaya permisifisme—kehidupan serba boleh dan serba bebas yang memunculkan pola kehidupan samen leven, heteroseksual dan sebagainya.
Kesulitan yang timbul adalah menyangkut nilai dan perilaku yang mana yang baik dan cocok untuk remaja kita di sini? Nilai tradisionalkah atau yang lebih maju? Selama patokan yang lebih mantap belum ada, maka sebaiknya kita tidak mengambil sikap sama rata. Artinya, ada nilai-nilai tradisional yang kita anggap luhur yang perlu dipertahankan. Sebaliknya ada pula nilai-nilai modern yang karena berkualitas tinggi perlu dipelajari dan diambil alih. Nilai lama seperti nilai yang menyangkut keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing perlu menjaga harga diri—self resfect dan harga diri orang lain—-resfect of other, nampak perlu dipertimbangkan bahkan dilestarikan.
Berpacaran hendaknya mendatangkan semmangat, kebahagiaan, perasaan utuh dan sempurna. Berpacaran secara menggebu-gebu tanpa perhitungan seringkali berakibat pada penyesalan. Hindarkan sikap nekad, sebab orang yang nekad adalah orang yang tidak mau berfikir panjang untuk memperhitungkan konsekuensi dari perbuatannya. Sebaliknya, jika hubungan asmara putus jangan mengalami patah hati, sebab dunia tidaklah selebar daun kelor.
Yang perlu dicatat di sini adalah hindarkan remaja dari perbuatan-perbuatan kehamilan di luar nikah, prostitusi, seks bebas dan semacamnya.
Pacaran Jalan Hidup atau No Way
Ada dua istilah spesifik yang dibangun di kalangan remaja/teenager atau adolescent yang belum terikat oleh pernikahan. Pertama, Cinta. Yang kedua, sayang. Dua kata inilah yang mempertautkan seseorang dalam ikatan pacaran.
Terlepas dari makna kamus, cinta dan sayang derivasi aplikasi sikap yang sangat berbeda. Sayang biasanya lebih steril dari pengaruh nafsu syahwat. Semeentara cinta (kepada lawan kenis) selalu identik dengan syahwat tadi. Puncak dari definisi cinta adalah rasa (feel). Kita yang pernah jatuh cinta pasti tahu benar betapa nikmatnya getar-getar yang dipetik oleh dawai-dawai hati ketika jatuh cinta. Ada rasa rindu, selalu ingin berjumpa, takut kehilangan sekaligus pula malu-malu jika terjadi pertemuan, gemetar jika disebut nama orang yang dicintai dan masih banyak lagi. Jadi jatuh cinta sama dengan pengendapan rasa. Adapun penjelasan dari kata sayang—mengikuti pembahasan sebelumnya, dapat dipicu oleh cinta (ketertarikan secara fisik) ataupun karena rasa itu benar-benar lahir karena paresiasi sikap. Rasa sayang ini cenderung lebih murni, karena menyayangi tidak harus selalu “mencintai”. Namun “mencintai” pasti pula harus menyayangi. Mungkinkah cinta yang anda rasakan sekarang benar-benar lahir dari deep inside my heart—kedalaman hati?
Menarik untuk disimak pernyataan Hasbullah Bakri dalam buku Pedoman Islam di Indonesia ketika memberikan interpretasi terhadap hadits “Lihatlah perempuan yang akan anda lamar itu, karena demikian itu lebih patut, bahwa ada persesuaian dan kesepakatan di antara anda berdua”. Hadits ini menurut beliau diartikan bukan calon suami saja melihat calon istri, tetapi calon istri perlu juga melihat calon suaminya (yang akan melamarnnya) itu. Dalam hal inilah istilah pacaran itu dapat ‘dibenarkan’ yakni dalam arti sudah saling kenal antara satu dengan lainnya. Tetapi pacaran yang diartikan bergaul lebih bebas dalam arti mendekati zina atau berzina adalah diharamkan bagi kedua calon suami-istri itu, walaupun lamaran calon suami itu telah diterima.
Sisi lain ada yang mengatakan dengan tegas bahwa pacaran haram hukumnya dengan dalih apapun, walau laki-lakinya memakai baju koko putih bersih, bersorban dan memakai minyak ja’faran kemudian yang perempuan memakai jilbab, dan sekali-kali melafadzkan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari. Tapi aktivitas sayang-sayangan dan berdua-duaan di terus dilakukan. Rasulullah SAW., melarang dua sejoli yang bukan mahramnya berdua-duaan di tempat tertentu (khalwat). Sebab yang ketiga dari mereka adalah syaithan dan syaithan selalu mendorongnya agar berbuat maksiat. Karena kata KH. Wijayanto, MA., dalam pacaran selalu diikuti dengan variabel ‘ngapa-ngapain’, variabel ikutan itu seperti ciuman, pegangan tangan, boncengan yang sangat dekat dan mesra, sulit sekali dihindari. Apalagi betapa saat ini, kita sudah tidak lagi memiliki ‘hijab budaya’. Semua orang sudah begitu minim rasa malu, karena fungsi hijab budaya sebagai fungsi kontrol perilaku menyimpang masyarakat tidak lagi digunakan, dan masyarakat kita sudah terjebak pada budaya permisifisme. Dalam QS.. 6:116, Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka mereka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. Juga hadits Nabi yang lain, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk ke dalamnya”. Sedangkan pacaran adalah bagian dari ideologi kapitalis yang menganjurkan kebebasan berperilaku pengikutnya. Demikian alasan mereka yang meng’haramkan’ pacaran.
Refleksi
Ada remaja yang bertanya: “Mas bukankah tanpa pacaran kita tidak bisa mengenali watak pasangan kita?” Pertanyaan ini harus kita kembalikan, mengenali siapa dan seperti apa yang ingin kita kenali. Yang terpenting adalah kejujuran dalam bersikap. Sebab, sama saja pacaran yang dilakoni sepuluh tahun dengan yang sepuluh hari langsung menikah. Kualitas yang tertinggi berada pada kerangka kejujuran tadi.
Adakah orang yang berpacaran tadi jujur pada pasangannya? Kita berani menjamin, “jarang” sekali. Kecenderungan kita, pasti tidak mau diketahui kelemahan-kelemahannya di depan pasangan kita. Akhirnya pribadi tadi selalu “memakai topeng”, “buka dulu topengmu” kata Peterpen, atau “jujurlah padaku” kata Radja. Begitu menikah dan topeng ditanggalkan, berjalan satu, dua bulan, kontrol melemah, akhirnya terlihat semuanya dan yang didapat hanya tinggal kekecewaan dan penyesalan. Terlalu banyak penipuan di dalam ikatan yang bernama pacaran sebelum menikah. Apalagi jika kemudian gaya pacarannya tadi selalu nyerempet-nyerempet kepada sesuatu yang berbau seks.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
*)Penulis adalah praktisi pendidikan dan juga alumni
Program Pascasarjana STAIN Cirebon, tinggal di Kandanghaur, Indramayu