Valentine Day Dan Generasi Rabbani

Rabu, 06 Mei 2009

VALENTINE DAY DAN GENERASI RABBANI 

Oleh: Masduki Duryat*) 

Alfin Tofler, dalam bukunya The Third Wave sebagaimana dikutip Oleh Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa kita sekarang ini berada pada gelombang peradaban ketiga. Di peradaban ini, perkembangan sains dan teknologi semakin cepat jika dibandingkan dengan perubahan kultural manusianya. 

Pada abad 21 ini, merupakan abad sainstific-tecnological, sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas kelihatannya, seperti dalam globalisasi informasi mutakhir, misalnya satelit komunikasi atau internet yang terus berkembang dan mengglobal, atau jaringan televisi dengan beragam program yang semakin teridentifikasi, yang tanpa dihalangi melintas batas geografis. 

Gelombang perubahan yang melanda kita sedemikian cepatnya, sehingga menurut Quraish Shihab memiliki implikasi tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah bagaimana pengaruh semua itu terhadap masyarakat dan khususnya generasi muda? Apakah mereka akan terbawa arus dan hanyut, ataukah mampu bertahan?. 

Jawabnya terletak pada daya tahan masing-masing, yang rapu akan hanyut, dan kehanyutan itu biasanya mengambil bentuk, pertama menarik diri dari kenyataan hidup, bersifat apatis, atau kedua, menghayati hal-hal bersifat ideal semata, tidak berpijak pada kenyataan yang manusiawi, atau ketiga, bergelimang dalam kesenangan duniawi dan berfoya-foya dengan ‘kenikmatan’. 

Sedangkan yang kuat daya tahannya akan menikmati hidup ini dengan cara lain serta menemukan identitas dan jati diri yang sebenarnya. Tidak ragu lagi, kemajuan teknologi mendorong berbagai perubahan, atau bahkan transformasi kebudayaan manusia secara keseluruhan, Azyumardi Azra menyebutkan bahwa serbuan globalisasi-informasi mendorong berkembangnya nilai-nilai, norma-norma dan gaya hidup di kalangan masyarakat banyak. 

Kemajuan teknologi transformasi misalnya, mendorong terjadinya perkembangan budaya travel dan migrasi sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai budaya dan peradaban antar manusia secara langsung. 

Pertumbuhan kebudayaan material dan konsumerisme yang hampir tidak dapat dikendalikan lagi, yang pada gilirannya menimbulkan gaya hidup hedonistik, yakni gaya hidup yang mengedepankan dan mempertuhankan benda dan kesenangan. Termasuk di dalamnya budaya valentine yang kini menyeruak dan menjadi trend di kalangan remaja kita. 

Valentine Day dan Hasil Survey Membicarakan valentine day kalau kita kaji dari sudut historis, berasal dari suatu festival bangsa Roma (Italia) kuno. Dahulu disebut Lupercalis. Mulanya perayaan ini diadakan pada 15 Pebruari untuk memuja dewa Lupercus (Dewa pelindung tanaman obat dan hasil bumi). 

Dalam pesta tersebut, mereka memohon kesehatan dan kesuburan tanaman dan ternaknya. Selama perayaan, kaum perempuan Roma menempatkan nama-nama mereka ke dalam sebuah kendi besar. Lalu para kaum laki-lakinya menarik undian nama-nama perempuan yang akan menjadi pasangan mereka, serta menempelkan nama perempuan tersebut di lengan baju mereka. 

Pasangan-pasangan tersebut akan bertukar hadiah, kaum perempuan akan menerima sarung tangan harum atau kado tertentu. Menurut keterangan lain, pada masa Kaisar Constantin (280-337 M) yang memeluk agama Kristen, memberikan tambahan acara. Tambahan acaranya adalah memberikan pesan-pesan cinta yang disampaikan oleh para gadis dan diletakkan dalam sebuah jambangan, kemudian diambil oleh para pemuda. Setelah itu mereka berpasangan dan berdansa kemudian mengakhirinya dengan tidur bersama.

Setelah bangsa Romawi memeluk agama Kristen, para rohaniawan menggeser 1 hari ke belakang dan menggunakan tanggal 14 Pebruari sebagai hari kasih sayang. Mengapa digeser ke tanggal 14 dan mengapa pula namanya menjadi valentine, bukan Lupercalis? Para rohaniawan Kristen memakai tanggal 14 dan menamakannya menjadi valentine, karena pada tanggal ini ada dua orang yang kebetulan namanya sama yakni Valentino dan keduanyapun sama-sama dihukum mati oleh Kaisar Claudisius II pada tanggal 14 Pebruari 270 M. 

Menurut Kaisar, bala tentaranya akan makin besar dan kuat jika orang-orang tidak menikah, sehingga kelaurlah peraturan bagi kaum laki-laki yang menjadi tentara untuk tidak menikah dan tidak tinggal bersama keluarga. Valentino melanggar aturan itu dengan menikahi perempuan pilihannya. Valentino kedua adalah seorang bishop dari daerah Temi. Sebagai seorang bishop, ia dilarang menikah. 

Tapi, larangan kaisar itu ditentangnya. Maka ia pun dihukum mati bersama valentino yang pertama. Dua martir (syuhada) ini, lalu diberi gelar Santo oleh masyarakat yang anti Kaisar karena pengorbanannya dan disebut sebagai Santo pelindung bagi pasangan yang sedang jatuh cinta. 

Dalam perkembangan kekinian valentine day, menjadi ritus yang dinantikan oleh para remaja tiap tanggal 14 Pebruari dengan berbagai kesibukan untuk menyambutnya. Beraneka ragam greeting card’s (kartu ucapan selamat valentine) dengan kata-kata romantis bertemakan valentine day biasanya banyak memenuhi supermarket dan bookstore. 

Berbagai tempat hiburan mulai mempromosikan sajian khusus di hari valentine ini, sebagaimana kita lihat khususnya di daerah perkotaan. Bahkan ritus ini dijadikan ajang oleh muda-mudi untuk berpacaran, berciuman, pergaulan bebas (living together), dansa, begadang semalam suntuk dan perbuatanlainnya sebagai sebuah ungkapan “cinta”. 

Sebuah survei yang relevan dilakukan di Bandung oleh Samsul Ma’arif. Hasilnya dari responden 413 pelajar SMA sebanyak 77 % mengaku senang dan pernah merayakan VD dan 23 % menjawab belum atau tidak pernah. 47,5 % merayakan VD secara kolektif bersama beberapa teman dan handai taulan. 26,4 % responden mengaku lebih senang merayakan VD bersama gebetan atau kekasih. Sementara ada 5,5 % yang merasa lebih baik merayakannya bersama keluarga dan sisanya 20,6 % merayakan sendiri-sendiri. 

Yang menarik, dan ini cukup signifikan ketika responden menjawab pertanyaan, “Bagaimana cara merayakan VD?”. Sebanyak 24,8 % menjawab jalan-jalan dan makan-makan ke tempat favorit, 52,9 % merayakannya dengan cara tukar-menukar kado, 4,9 % merayakannya dengan diskusi dan baca Al-Quran, sedangkan 18,2 % merayakan dengan cara lain. Khusus yang merayakan bersama kekasih, 52,9 % mengaku cukup sambil makan dan jalan-jalan, 15,1 % dengan cara berciuman, 2,7 % sambil nonton bioskop, sedangkan yang menjawab lain-lain 29,3 %. 31,0 % menjawab setuju VD dirayakan dengan ciuman/kecupan, 68,1 % menolak serta 0,9 % mengaku tidak tahu. Bahkan yang lebih ironis 77 % responden mengaku pernah dan senang merayakan VD. 

Dari hasil survei tersebut membuktikan betapa animo remaja terhadap budaya yang serba permisif masih cukup besar. Valentine Day dan Generasi Rabbani Dari uraian di atas sangat jelas, bahwa valentine day merupakan tradisi agama Kristen yang berakar dari budaya Romawi Kuno dan ini harus dikritisi oleh remaja Islam—generasi Rabbani. 

Generasi semacam ini merupakan pelopor yang mampu “memikul” beban berat yang harus dilaluinya—yang oleh Abdullah Azam disebut generai yang aktif dan kreatif. Seorang pelopor ummat hendaklah menjadi rabbani, baik dari segi gerakan, dakwah, ciri-ciri, sabar, ilmu dan amalnya. Artinya ia tidak akan lupa bahwa Allah itu Maha Kuasa atas segala-galanya dan Dialah sumber kemuliaan yang memenuhi kebutuhan, melindungi, menghidupkan dan yang memeliharanya. 

Dengan demikian generasi Rabbani dalam memandang sesuatu harus diselaraskan dengan pijakan dan ketentuan Rabbnya. Dalam kaitan dengan valentine day, genenrasi rabbani akan memandangnya dari sudut yang proporsional, dalam artian bahwa cinta kasih dalam konsep Islam ditempatkan pada kedudukan tersendiri dengan skala prioritas sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 165, al-Taubah: 24, al-Fath: 29, al-Maidah: 54. 

Bahkan secara cerdas mampu menangkap sabda Nabi yang diriwayatkan dari Abi Said al-Hudri: “Sungguh kamu akan mengikuti sunnah (acara-acara, tradisi, sikap, kebiasaan) orang-orang sebelum kamu selangkah demi selangkah, hingga mereka masuk lubang biawakpun kamu akan memasukiya”. Para sahabat bertanya, “Yahudi dan Nashrani?” “Lalu siapa lagi”, jawab Nabi yang mulia. (HR. Bukhari-Muslim). 

Wal akhir, diperlukan daya tahan dalam menghadapi era perubahan, dan daya tahan itu dibentuk oleh pengetahuan, pengalaman dan penghayatan agama serta nilai-nilai budaya yang luhur. Wallahu a’lam bi al-Shawab. *)Penulis adalah Guru SMA N 1 Kandnghaur dan Kepala SMA Islam At-Taqwa Kandanghaur Indramayu juga Alumni Program Pascasarjana STAIN Cirebon.