Pendidikan Agama Islam (Kajian Awal sebagai Satu Mata Pelajaran di Sekolah)
Selasa, 03 November 2009
|
Belajar PAI (ilustrasi FELIS NESAGA) |
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Kajian Awal sebagai Satu Mata Pelajaran di Sekolah)
Pendahuluan
Pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, sebagaimana dituturkan oleh Azyumardi Azra Islam lahir pertama kali berkembang, kedatangannya dilengkapi dengan usaha-usaha pendidikan—untuk tidak menyebut sistem, merupakan transformasi besar. Sebab masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal.
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan, pada umumnya berlangsung secara informal dan inipun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah—penyebaran, dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah bisa dipahami, kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah sahabat tertentu; yang paling terkenal adalah Dar al-Arqam.
Tetapi ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di masjid. Proses pendidikan ini dilakukan dalam halaqah, lingkaran belajar.
Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Meminjam bahasa Michael Staton—sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, para pakar berbeda pendapat mengenai madrasah yang pertama didirikan. Dan sekarang pendidikan Islam berkembang pesat, baik sebagai sebuah institusi maupun sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah umum sampai perguruan tinggi, termasuk di Indonesia berdasarkan TAP MPR No. IV tahun 1973 tentang GBHN bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, setelah mengalami proses panjang dengan berbagai peraturan pemerintahnya.
Definisi Pendidikan Islam
Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang definisi pendidikan Islam, akan dijelaskan terlebih dahulu definisi tentang pendidikan, agar lebih mudah memahaminya.
Telah banyak para ahli memberikan definisi tentang pendidikan, di antaranya menurut Hasan Langgulung istilah pendidikan yang dalam bahasa Inggris disebut education, akar katanya berasal dari bahasa Latin educere bermakna memasukkan sesuatu. Barangkali yang dimaksud adalah memasukkan ilmu ke kepala seseorang. Jadi dalam hal ini ada tiga hal yang terlibat, yaitu ilmu, proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu memang masuk ke kepala.
Dalam literature Arab, sebagaimana dikatakan Zakiah Daradjat “Pendidikan berasal dari kata tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata kerja rabba sudah digunakan sejak zaman nabi, seperti terlihat dalam QS; 17:24. Istilah lain yang digunakan dalam pengertian pendidikan adalah kata ta’lim, seperti yang disebutkan dalam QS; 2:31. Dan kata lain yang relevan juga dalam makna pendidikan addaba, sebagaimana sabda rasulullah: “Addabanii Rabbii faahsana ta’diibii” (Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku)”.
Kata-kata ‘allama, rabba, addaba seperti disebutkan di atas, adalah mengandung konsekuensi yang berbeda. ‘allama mengandung pengertian kadar memberi tahu atau memberi pengetahuan. Berbeda dengan pengertian rabba dan addaba, yang mengandung makna pembinaan, pimpinan, pemeliharaan dan sebagainya. Sementara itu menurut Al-Attas sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, beternak dan lain-lain—sebagaimana digunakan di negara-negara Arab. Sedangkan pendidikan yang dalam bahasa Inggrisnya education itu hanya untuk manusia saja. Jadi ta’dib kata Al-Attas, lebih tepat sebab tidak terlalu sempit sekedar mengajar—transfer of knowledge saja, dan tidak meliputi makhluk-makhluk lain selain manusia. Jadi ta’dib sudah meliputi kata taklim dan tarbiyah.
Secara terminology, definisi pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari definisi di atas, memberikan indikasi bahwa pendidikan itu dilakukan secara sadar, tidak secara kebetulan. Wajar, kalau kemudian Ahmad D. Marimba memberikan definisi tentang pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
Dengan demikian, dalam pendidikan terdapat beberapa unsur. Pertama, usaha atau kegiatan, usaha itu berupa bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar. Kedua, pendidik, pembimbing, atau penolong. Ketiga, ada yang dididik. Keempat, bimbingan itu mempunyai tujuan. Dan kelima, dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sedangkan pendidikan Islam dapat didefinisikan “usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan dan lingkungannya melalui proses kependidikan perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami” Pendidikan Islam dapat didefinisikan dari sudut fungsionalnya, sehingga pendidikan Islam paling tidak untuk menyebut dua hal; Pertama, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa, atau kedua, keseluruhan program dan kegiatan pendidikan atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Sehingga dari definisi ini, Mochtar Bukhari memerincinya ke dalam 4 (empat) kategori institusi pendidikan. Pertama, pondok pesantren; Kedua, Pendidikan madrasah; ketiga, Pendidikan umum yang bernafaskan Islam; dan keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
Jika kita melihat definisi di atas, maka institusi pendidikan agama dan umum mempunyai konsekuensi dan relevansi yang sama, selama program dan kegiatannya selaras dengan pandangan nilai-nilai Islam.
Dalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar ummat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Usaha pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah diharapkan mampu membentuk kesalehan pribadi dan sekaligus kesalehan social, sehingga pendidikan agama diharapkan jangan sampai (1) menumbuhkan semangat fanatisme; (2) menumbuhkan sikap intoleran di kalangan peserta didik dan masyarakat; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan nasional. Ujung akhirnya tentu bagaimana pendidikan agama Islam diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yaitu ukhuwah fi al-‘ubudiyah, ukhuwah fi al-insaniyah, ukhuwah fi al-alwathaniyah wa al-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.
Dalam masyarakat plural membutuhkan ikatan keadaban (the bound of civility), yakni pergaulan antara satu sama lain yang diikat dengan suatu “civility” (keadaban). Ikatan ini pada dasarnya dapat dibangun dari nilai-nilai universal ajaran agama. Karenanya, bagaimana guru agama mampu membelajarkan pendidikan agama yang difungsikan sebagai panduan moral dalam kehidupan masyarakat yang serba plural tersebut, dan bagaimana guru agama mampu mengangkat dimensi-dimensi konseptual dan substansial dari ajaran agama, seperti kejujuran, keadilan, kebersamaan, kesadaran akan hak dan kewajiban, ketulusan dalam beramal, musyawarah dan sebagainya, untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat yang plural tersebut.
Menyangkut Pendidikan Islam ini, menarik untuk diangkat ulasan Ahmad Tafsir , menurutnya ada kerancuan istilah antara pendidikan islami dengan pendidikan Islam; yang tepat adalah pendidikan islami (Islamic Education, al-tarbiyah al-islamiyah).
Sampai sekarang istilah “pendidikan Islam’ yang sebenarnya itu masih sering disamakan dengan istilah “pendidikan agama Islam”. Pendidikan Islam (maksudnya pendidikan islami) merupakan suatu system yang memiliki komponen-komponen untuk mendukung munculnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan islami adalah pendidikan yang teori-teorinya berdasarkan nilai-nilai islami, berdasarkan Quran dan hadits. Akan lebih mudah memahaminya kalau pendidikan islami itu diparadokskan dengan “pendidikan Barat” (pendidikan sekuler, rasionalis). Sedangkan “Pendidikan Agama Islam” didefinisikan sebagai term dalam mendidikkan agama Islam, usaha-usaha untuk mendidikkan agama Islam. Sebagai mata pelajaran dinamakan “Agama Islam”. Dengan mudah dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah nama system, sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah nama kegiatan.
Kita tentu tidak ingin berpolemik pada term-term tersebut sehingga cenderung kontraproduktif—walaupun tentu, menyamakan persepsi juga penting. Tetapi jauh lebih penting adalah ketika kita mampu menangkap esensi dari pembelajaran tersebut yaitu bagaimana pendidikan Islam mampu menjadi proses pembelajaran yang oleh UNESCO harus memenuhi empat pilar, learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
1. Dasar Pendidikan Islam
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan, harus mempunyai sumber atau landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai sumber atau landasan ke mana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan.
Dasar atau landasan pendidikan Islam yang pertama adalah al-Quran, kemudian al-Hadits. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abdullah bin Umar bin ‘Auf dari ayahnya dari kakeknya yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibnu Abdil Bar, “aku tinggalkan bagi alian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat sama sekali, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku”.
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga menyampaikan: “Apapun yang ditetapkan dalam kitabullah (al-Quran), tiada alasan bagi siapapun untuk tidak mengamalkannya. Dan sekiranya tidak terdapat (perinciannya) dalam al-Quran, maka sunnah nabilah yang menjabarkannya” (HR. Muslim yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Dari dua hadits di atas, jelaslah bahwa ada dua sumber pokok yang melandasi setiap usaha dan aktifitas yang kita lakukan, yakni al-Quran dan Hadits. Begitu juga dalam aktifitas pendidikan haruslah bersumber pada nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang terkandung dalam kedua sumber pokok tersebut.
Untuk mengantisipasi agar pendidikan Islam sesuai dengan perkembangan zaman—yang jelas zaman modern sekarang jauh berbeda pada saat zaman nabi membawa risalahnya—istilah August Comte kita sedang memasuki stadia ke tiga pemikiran manusia yaitu ilmu pengetahuan, maka diperlukan ijtihad di bidang pendidikan. Apalagi kultur dan dinamika masyarakat melaju lebih cepat dibanding dengan materi yang diajarkan di bangku sekolah/kuliah. Di sini perubahan dan pengembangan kurikulum merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi—termasuk perubahan kurikulum pendidikan Islam. Dengan demikian pendidikan Islam selalu sesuai dengan perkembangan zaman, dan bukan sebaliknya pendidikan Islam ditinggalkan zamannya. Dalam hal ini patut dikedepankan nasehat Ali bin Abi Thalib “didiklah anak-anak kalian tidak seperti yang dididikkan kepada kalian sendiri, oleh karena mereka itu diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda dengan generasi zaman kalian”.
Dengan demikian jelaslah bahwa dasar pendidikan Islam adalah al-Quran, al-Hadits dan ijtihad, merupakan fondasi agama untuk keberlangsungan pendidikan Islam.
Tujuan Pendidikan Islam
Apabila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan, pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Tetapi sebelum menguraikan tujuan pendidikan, ada baiknya kita mengetahui secara definitive kata tujuan. Tujuan secara etimologi bermakna “arah, maksud, haluan”, yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan pendidikan selesai. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, “seperti terbentuknya kepribadian muslim”. Abdurrahman an-Nahlawi mendefinisikan tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya.
Dengan demikian tujuan adalah sesuatu yang akan kita capai, sehingga kita mempersiapkan secara jelas dan terpadu ke arah yang telah digariskan. Dari sini kita bisa mengetahui penentuan tujuan akan mempunyai kepentingan yang membuat tujuan itu menjadi kebutuhan mutlak bagi setiap tingkah laku yang sadar.
Athiyah al-Abrasyi, menekankan bahwa pendidikan bertujuan tidak hanya mengisi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi juga mendidik ahlaq perlu ditekankan, misalnya kesopanan, dan kejujuran. Oleh karena itu tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. Pendidikan budi pekerti menurutnya adalah ‘ruh’ dari pendidikan Islam.
Pada GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam disebutkan, bahwa tujuan pendidikan Agama Islam adalah “agar siswa memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah dan berakhlak mulia.”
Rumusan tujuan ini mengandung makna bahwa proses pendidikan agama Islam dilalui dan dialami siswa di sekolah dimulai dari tahap kognisi, selanjutnya menuju tahap afeksi yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam konteks menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait erat dengan kognisi, karena penghayatan dan keyakinan anak akan menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama Islam. Melalui tahapan efeksi tersebut diharapkan akan tumbuh motivasi dalam diri siswa dan tergerak untuk mengamalkan dan mentaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik) yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Fathiyyah Hasan Sulaiman, memaparkan tujuan pendidikan Islam adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui ilmu. Dengan keutamaan ini kebahagiaan dunia serta kedekatan dengan Allah akan menjadi keniscayaan, sehingga kebahagiaan akhirat juga dapat diraih dengan sekali tarikan nafas. Hanya saja, bila ditinjau dari warna agamis yang menampilkan corak tersendiri dari pendidikan Islam, pendapat al-Ghazali lebih cenderung kepada pendidikan ruhaniyah. Pada kesempatan lain al-Ghazali juga menuliskan, tujuan pendidikan Islam ialah mendekatkan diri kepada Allah. Kecenderungan pendapat al-ghazali tersebut tentu saja sangat dipengaruhi oleh filsafatnya yang bercorak sufistik.
Dengan demikian, secara keseluruhan pendidikan Islam bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam yang bersumber pada al-Quran dan hadits, yang kemudian hal tersebut dapat diimplementasikan serta berkorelasi pada perilaku dan perbuatan manusia.
Pendekatan dalam Pendidikan Agama Islam
Saat ini masalah yang perlu segera mendapatkan jawaban—terutama dari guru PAI adalah mampukah kegiatan pendidikan agama (Islam) berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi, dan mampukah mengatasi dampak negative dari kemajuan tersebut? Di sisi lain bangsa Indonesia juga sedang mengalami berbagai krisis, PHK dan kemiskinan, kerusuhan, brutalisme dan sebagainya.
Dalam kondisi semacam ini, masyarakat masih berharap besar sekaligus menunggu jasa dan kontribusi yang disumbangkan oleh agama—yang di dalamnya sarat dengan dimensi moralitas dan spiritualitas—baik secara koseptual maupun aktualitasnya, serta normativitas maupun historisitasnya. Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, maka pembelajaran pendidikan agama di sekolah harus menunjukkan kontribusinya.
Persoalannya, sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Bukhari yang dikutip oleh Muhaemin, PAI yang diajarkan di sekolah hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif—kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Dalam bahasa Komarudin Hidayat, PAI lebih berorientasi belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.
Oleh karena itu diperlukan strategi, cata yang efektif dalam pembelajaran pendidikan agama. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam proses pembelajaran pendidikan agama, dapat digunakan beberapa pendekatan atau cara, yaitu:
a) Pendekatan Pengalaman, yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada siswa dalam penanaman nilai-nilai keagamaan.
b) Pendekatan Pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.
c) Pendekatan Emosional, yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi siswa dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamanya.
d) Pendekatan Rasional, yaitu usaha untuk memberikan peranan kepada rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama.
e) Pendekatam Fungsional, yaitu usaha menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Pendekatan-pendekatan tersebut tentu dapat digunakan secara variatif, disesuaikan dengan materi dan perkembangan siswa serta kemampuan guru.
Dalam kesempatan ini, akan lebih bijak kalau kita memperhatikan pandangan Towaf ketika mengkritisi pendidikan agama dari sudut pandang pendekatan dan metode yang digunakan guru pendidikan agama di sekolah. Menurutnya ada beberapa yang perlu dikoreksi:
Pertama, pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Kedua, kurikulum PAI yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi, ironisnya guru PAI seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh. Ketiga, sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut, guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode dan cenderung monoton. Keempat, keterbatasan sarana dan prasarana.
Kritik ini tentu harus direspons dengan bijak—tanpa emosi, bagaimanapun harus diakui bahwa banyak keterbatasan yang dilakukan guru PAI dalam upaya internalisasi nilai-nilai Islam melalui pendidikan agama (Islam) ini. Tentu, dengan perbaikan-perbaikan untuk kesempurnaan di masa datang, sehingga PAI menjadi mata pelajaran yang ‘dirindukan’ oleh anak didik. Apalagi the ultimate goal kita dari keseluruhan proses pembelajaran adalah ‘menciptakan’ anak didik yang beriman dan bertaqwa.
Penutup
Tantangan dan problematika yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya, bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, melainkan terkait erat langsung atau tidak, dengan perkembangan iptek dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, social maupun budaya. Tantangan tersebut juga dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian integral dari proses pendidikan bangsa secara keseluruhan.
Kalau dunia pendidikan di Indonesia memerlukan berbagai inovasi agar tetap fungsional dan optimal di tengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan inovasi, agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.
Tantangan pendidikan agama sebenarnya juga dihadapi oleh semua pihak—baik keluarga, pemerintah maupun masyarakat—terutama guru PAI yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dituntut untuk melakukan perubahan, mampu menjawab dan mengantisipasi tantangan-tantangan tersebut. Yang lebih penting tentu agar PAI mampu mencapai tujuan yang diinginkan dalam perspektif al-Quran dan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nahlawi, Abdurrahman, 1989. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan Masyarakat, Alih Bahasa Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro
Arifin, Muzayyin, 1991. Kapita Selekta Pendidikan, (Islam dan Umum), Bandung: Bumi Aksara
Athiyah al-Abrasyi, M., 1987. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Azra,
Azyumardi, 2003. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-5
Bukhari, Mochtar, 1989. Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan dalam Muntaha Azhari, et al., Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M
D.
Marimba, Ahmad, 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif
Daradjat, Zakiah, 1992. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara dan Depag
----------------------, et.al., 1991. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang
Departemen Agama, 1983/1984 Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Fathiyyah, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali mengenai Pendidikan dan Ilmu, Bandung: Diponegoro
Langgulung, Hasan, 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka al-Husna
Muhaimin, et al., 2002. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-2,
Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Omar, 1979. Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1
S., ]
Yulius, 1984. Kamus Baru Bahasa Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional
Tafsir, Ahmad, 1990. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-3
--------------------, 2008. Filsafat Pendidikan Islami, Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya
Tim Redaksi Fokusmedia, 2006. Himpunan Perundang-Undangan Tentang Guru dan Dosen, Dilengkapi dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, PP. RI No. 48 Tahun 2005 dan PP. RI No. 19 Tahun 2005