Bupati yang Memimpin dan Pemilih yang Cerdas
Oleh: H. Masduki Duryat
Kontestasi pemilihan bupati Indramayu sudah dimulai ‘genderang perangnya’, diawali dengan pendaftaran calon bupati dan wakil bupati pada tanggal 4-6 September 2020. Empat pasang calon sudah mendaftarkan diri di KPUD Kab. Indramayu, harapannya akan mampu melahirkan pemimpin yang dalam Islam sedapat mungkin mampu memerankan fungsinya sebagai khadim (pelayan)—bukan sebaliknya minta dilayani—dan muwajih (guide), pemberi arah pada kehidupan yang lebih baik dan mencerahkan.
Di tengah euforia demokrasi, kita masih mendapati keprihatinan; sikap pragmatisme masyarakat yang sangat tinggi, dan transaksional. Sehingga menjadikan pemilihan bupati yang masuk kategori high cost—pada saat yang sama menjadi beban para calon sekaligus menjadikan mereka gharimun kabir (penghutang besar)—padahal kita menghendaki lahirnya pemimpin yang diidealkan bersama untuk bisa mensejahterakan rakyat.
Sisi lain juga masih banyak di antara kita, masyarakat yang tidak dengan cerdas meminta tawaran visi, misi atau program yang menjadi ‘jualan’ para calon. Tetapi justru yang terjadi adalah black campaign, sikap nyinyir, membully, mencari kesalahan dan dosa setiap calon.
Empat Pasang Bakal Calon dan High Cost
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, kontestasi Cabup dan Cawabup Indramayu 2020 yang akan bertarung pada Pilkada 9 Desember sudah mendaftar 4 (empat) calon pasangan bupati dan wakilnya; Pertama, TOTO SUCARYOTO, SE berpasangan dengan DEIS HANDIKA dari perseorangan/independen dukungan awal 95.000 lebih KTP. Toto sudah berpengalaman 2x pilkada tahun 2010 juga jalur independen. Tahun 2015 lewat partai koalisi memperoleh dukungan 44 % dukungan warga Indramayu. Kemudian tahun 2020 ini mencoba maju kembali dengan mengangkat isu keterwakilan wilayah barat dan timur. Toto berasal dari kec. Indramayu/Timur dan Deis berasal dari Kec. Losarang/Barat.
Kedua, MUHAMMAD SHOLIHIN, S.Sos.I berpasangan dengan dr. Hj. RATNAWATI, MKKK. Diusung Partai Koalisi; PKB = 7 Kursi, DEMOKRAT = 3 Kursi, PKS = 2 Kursi, HANURA = 1 Kursi, PAN dan PPP = 0 Kursi. Total dukungan 14 Kursi. Keterwakilan wilayah M. Sholihin dari wilayah Barat yaitu Kec. Terisi/Cikedung dan memiliki modal pengalaman menjadi anggota DPRD 2 kali tahun 2014 dan 2019 sekaligus wakil ketua DPRD Indramayu juga Ketua Partai PKB Indramayu dan dr. Hj. Ratnawati merupakan seorang dokter yang juga istri dari anggota DPR RI dari partai Demokrat Dr. Ir. H. Herman Khoiron dari dapil Indramayu dan Cirebon tentu sudah dikenal luas. Mewakili dari Indramayu Timur, mengusung jargon pasangan SHOLAWAT dan Indaramayu bertasbeh.
Ketiga, H. Daniel Muttaqin Syafiuddin, ST. yang merupakan putra dari manatan bupati Dr. H. Irianto Mahfudz Siddiq Syafiuddin dan Hj. Anna Sophana SH. ini berpasangan dengan H. Taufik Hidayat, SH., M.Si. Diusung oleh Partai GOLKAR = 22 Kursi. Keterwakilan wilayah pasangan ini dari wilayah timur; Kec. Indramayu dan Kec. Lohbener. H. Daniel merupakan anggota DPR RI 2 kali dan DPRD provinsi 1 kali. H. Taufik Hidayat adalah PLT Bupati Indramayu dan sebelumnya adalah Ketua DPRD kab. Indramayu, dengan mengusung jargon MANTAP.
Keempat, Hj. Nina Agustina Da’i Bachtiar, SH., M.H., berpasangan dengan Lucky Hakim. Didukung oleh PDIP= 7 Kursi, GERINDRA = 6 Kursi, NASDEM = 2 total 15 Kursi. Nina berangkat dari ketokohan ayahnya yang mantan Kapolri dan pengurus pusat DPP PDIP yang berasal dari wilayah Barat yakni Kec. Losarang dan Lucky Hakim merupakan artis di Jakarta yang menurut sumber lain beliau orang tuanya dari Kec. Kedokan Indramayu Timur. Mengangkat jargon Indramayu butuh Pemimpin bukan Penguasa.
Suasana optimistik dan harapan Indramayu lebih maju dan lebih baik untuk menjadi Kabupaten terdepan di Jawa-Barat adalah kondisi yang diidealkan masyarakat serta amanahnya ada pada pundak para calon yang di antara mereka salah satu pasangannya akan terpilih. Tetapi cita-cita yang diidealkan itu rasanya masih jauh dari harapan—kalau menjadi bupati dengan niat mencari ‘kehidupan’ dari jabatannya—karena sebagaimana testimoni bupati Banjarnegara Budhi Sarwono ketika menerima slip gajinya hanya Rp. 5,9 juta.
Berbanding terbalik dengan cost yang harus dikeluarkan untuk menjadi bupati atau kepala daerah, biaya ‘mahar politik’—yang dalam bahasa para politisi disebutnya biaya operasional—transaksional, curnis dan lainnya. Sekedar ilustrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syafii Antonio untuk menjadi seorang kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) di pulau Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dibutuhkan biaya kampanye minimal Rp. 7-15 Milyar.
Ketika calon bupati meminjam dari beberapa pengusaha dan teman-temannya, ia akan langsung menjadi penghutang besar (gharimun kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Dari sini bupati akan memulai tugas utamanya dengan program ‘balik modal’. Program ‘balik modal’ ini jelas tidak bisa diharapkan dari gaji normatifnya karena take-home payment resmi para pejabat itu tidak lebih dari Rp. 15-20 juta per bulan. Mungkin jika ditambahkan berbagai tunjangan resmi mencapai Rp. 50-100 juta. Jika Rp. 50 juta dikalikan 60 bulan masa jabatan, maka total pendapatan resmi dan halal bupati hanya Rp. 3 Milyar.
Tetapi memelihara asa tetap menjadi kewajiban kita, sebab bukan impossible akan muncul bupati yang sekarang juga sedang viral, seperti di Kab. Nganjuk Novi Rahman Hidayat, smart, amanah, bersinar dan berkharisma kepemimpinannya. Atau Bupati Kulon Progo yang fenomenal dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG untuk mengangkat daerahnya lebih bermartabat dan mungkin juga bupati atau kepala daerah lain yang tidak terekspose media.
Bupati yang memimpin
Dengan melihat realitas di atas, agaknya sangat berat tugas seorang bupati dan wakilnya. Sehingga diperlukan seorang bupati yang memimpin, kalau hanya menjadi seorang bupati semua orang bisa melakukannya. Karena jabatan bupati tugas, pokok dan fungsinya sudah ditentukan, tetapi bagaimana di samping ia seorang bupati juga sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin bekerja tidak terjebak pada rutinitas, tetapi ia akan berimprovisasi, bekerja ‘out of the box’, sebab kelihatannya problem daerah hampir sama—rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan—maka diperlukan seorang bupati yang mampu menarasikan program-program pembangunan kepada masyarakat dengan komunikasi yang efektif. Bukan asumsinya bupati datang hanya untuk bagi-bagi duit, di sini pentingnya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain.
Dengan mengutip pandangan Imam Ghazali, masyarakat rusak karena pemimpinnya; pemimpin rusak karena pemimpin agamanya diam. Dalam kitab Injil disebutkan, “tidak boleh orang buta menuntun orang buta”, artinya pemimpin akan menjadi contoh, uswah hasanah, prototype dalam bertindak, berpikir dan berbuat, berkorban di garda paling depan. Tidak ada yang tidak mungkin, akan muncul pemimpin yang holistic, accepted, dan proven. Holistic, pemimpin yang mampu mengembangkan leadership dalam berbagai bidang; tatanan masyarakat yang harmonis, menata sistem politik yang bermartabat, sistem pendidikan yang bermoral dan mencerahkan, dan sistem hukum yang berkeadilan. Accepted, diakui kepemimpinannya dengan merangkul semua rakyatnya—baik yang memilihnya atau tidak—membangun untuk semua rakyatnya. Proven, apa yang dilakukannya relevan dan berselancar dengan kondisi kekinian dengan berpacu menjadi daerah yang berdaya saing.
Pemilih Cerdas
Sehingga untuk mendapatkan pemimpin yang diidealkan bersama sesuai harapan-harapan itu. Masyarakat juga harus cerdas. Melihat visi, misi yang akan dilakukannya dalam kampanye, serta komitmennya dalam membangun daerah. Tidak terjabak pada sikap pragmatis, transaksional dengan jargon—bahasa Indramayu baka pengen dipilih, wani pira?—tinggalkan juga caci-maki, black campaign, serta negative campaign (kampanye negatif). Memang kampanye hitam tidak dilarang dalam pemilu, kampanye negatif lebih mengemukakan sisi kelemahan faktual tentang lawan politik dan tidak bisa dihukum. Kampanye negatif bisa dilawan dengan argumen. Tetapi black campaign bisa dipidana, karena menjurus kepada fitnah, dan kebohongan tentang lawan politik. Kampanye hitam ini jelas dilarang oleh Undang-Undang.
Sehingga, agar tidak kontra produktif, sebaiknya masyarakat bersikap dan dalam materi kampanye calon lebih mengedepankan adu program ketimbang mencari kelemahan lawan politik atau dengan menyebar kabar bohong.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu