Covid-19 Dalam Nalar New Jabarisme
Gambar (kkpambon.com) |
COVID-19; Dalam Nalar New Jabarisme
Oleh: DR. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
Trend kasus pasien yang positif terpapar virus Corona selalu naik. Bahkan dengan skenario terburuk pada angka 8.000 kasus, sampai ada wacana merumuskan sanksi pidana bagi yang meninggalkan Jakarta (Radar, 27 Maret 2020). Sedemikian menghawatirkan penyebaran Covid-19 ini, di tengah sikap santuy dan terkesan ‘badeg’ masyarakat Indonesia dengan himbauan pemerintah.
Pemerintahpun pada ahirnya mengambil langkah pemeriksaan beruap rapid test dan menyiapkannya sejumlah 1 juta alat rapid tes untuk memeriksa virus Corona kemudian didistribusikan ke seluruh provinsi sesuai indikasi kasus. Dari sisi kewilayahan Jakarta ada 44 orang terindikasi positif virus corona kemudian Jawa Barat dengan 14 kasus baru, Jawa Timur 11 kasus, 4 kasus dari Banten dan 2 kasus dari Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan sisanya 1 kasus di Yogyakarta.
Persoalannya sebagaimana disampaikan oleh AA Gym setelah mendengar penjelasan dari para dokter 85% tidak ada gejala klinis, jadi yang membawa virus kelihatan sehat-sehat saja. Boleh jadi pilihannya ke masjid misalnya kita tertular atau menularkan ke orang lain. Kita tidak tahu siapa yang sakit dan sehat karena 85% menunjukkan tidak ada gejala klinis. Di Indonesia, baru 2 minggu saja grafiknya menunjukkan trend naik dari 2 kasus menjadi 227 kasus, keadaan ini persis seperti terjadi di Italia dan Iran di 2 minggu pertama. Keadaan ini boleh jadi akan menjadi lebih parah karena yang terpapar tidak menyadarinya sementara kita terus berdesak-desakan dan melakukan kontak langsung dengan penderita. Baru dimulai tetapi ada beberapa dokter sudah dikarantinakan, dikerumahkan. Rumah sakit boleh jadi akan tutup, sementara peralatan semakin menipis dan terbatas.
Di sisi lain dalam konteks keagamaan, masih ada yang mengatakan, “saya tidak takut Corona”, “kematian sudah ditentukan dan Izrail tidak akan tertukar dalam mencabut nyawa”, “mangsa matia wong dawa umure (tidak akan meninggal orang yang umurnya panjang”. Atau “tidak akan mungkin Allah menurunkan wabah kepada orang-orang shalih”, kalimat-kalimat ini kelihatannya memang benar, tetapi sarat paham Jabariyah atau fatalistik. Sehingga ketika masjid ditutup—terutama di kota-kota besar di Indonesia, misalnya Jakarta dan Bandung—ada yang protes dan bersikap nyinyir.
Covid-19: Perkembangannya hingga Kini
Kasus virus Corona ini sebagaimana diketahui berawal dari kota Wuhan China. Tragedi ahir tahun 2019 ini terus berlanjut hingga penyebaran virus Corona mewabah dan menjadi pandemi ke seluruh dunia.
Covid-19 ini diduga terkait dengan pasar hewan Huanan di Wuhan yang menjual berbagai jenis daging binatang—termasuk yang tidak biasa dikonsumsi—seperti ular, kelelawar, dan berbagai jenis tikus. Infeksi pneumonia misterius ini kemudian menular kepada manusia dan menjadi penyakit radang paru. Penularannya sangat cepat sehingga WHO menetapkan pandemi virus Corona atau Covid-19 pada tanggal 11 Maret 2020.
WHO mencatat jumlah total Covid-19 kasusnya sudah lebih dari 136 ribu, sedikitnya sudah 123 negara dan wilayah yang terpapar. Dari jumlah tersebut 82 ribu kasus ada di wilayah China daratan, kemudian Italia negara Eropa yang terdampak virus Corona terparah, sudah ada sekitar lebih dari 15 ribu kasus disusul kemudian Iran dan di Indonesia sampai saat ini sudah ada 450 kasus.
Yang menarik di Wuhan—menurut penuturan mahasiswa di sana—mereka sangat cepat untuk bangkit (recovery), karena saling menyemangati dengan memberikan berita kehidupan dan kesembuhan (semangat dan olah raga dengan berjemur dengan sinar ultraviolet).
Faham Jabariyah: Fatalistik
Dalam kajian ilmu kalam memang kita mengenal beberapa sekte, salah satunya adalah faham Jabariyah. Faham ini muncul di abad ke-2 H. di Khurasan dengan tokoh utamanya adalah Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan dengan keyakinan bahwa setiap manusia terpaksa oleh takdir tanpa memiliki piliha usaha dalam perbuatannya.
Jabariyah berasal dari kata jabara, ijbar yang memiliki makna paksa, terpaksa dan memaksa, mengharuskan melakukan sesuatu. Menurut Asy-Syahrastani paham Jabariyah berati menghilangkan perbuatan seseorang dalam arti sesungguhnya dan benar-benar menyandarkannya hanya kepada Allah dalam keadaan terpaksa. Allah yang memiliki full authority terhadap perbuatan manusia, bukan manusia.
Pokok-pokok pemikirannya antara lain; Pertama, manusia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan dia tidak memiliki daya dan kehendak sendiri, tidak memiliki pilihan; Kedua, surga dan neraka tidak kekal; Ketiga, Iman adalah persoalan hati; Keempat, kalam Tuhan adalah makhluk Allah dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia.
Beberapa landasan teologis yang dijadikan dasar aliran Jabariyah ini antara lain; QS. Ash-Shafaat: 96, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. QS. Al-Anfal: 17. “… dan bukan kamu yang melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. QS. Al-Hadid: 22. “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitaab (lauhil Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. QS. Al-Insan: 30. “dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Kasus Covid-19, Haruskah Bersikap Pasrah?
Sekarang ini ada kecenderungan setiap orang memiliki otoritas keilmuan—walaupun bukan bidangnya termasuk orang awam—apalagi kita sedang memasuki era post truth. Celakanya kemudian memutlakkan pandangannya dan menafi’kan otoritas keilmuan seseorang yang harus dihargai—baik ilmu agama maupun ilmu umum—lebih celaka lagi itu kemudian dibungkus dengan ‘jubah’ agama. Padahal sebagaimana yang sering kita pahami pada justifikasi Tuhan, “Tanyakan kepada ahli ilmu (pakarnya) apabila engkau tidak mengetahui”.
Dalam kasus Covid-19 misalnya, tidak mungkin para ulama berfatwa tanpa pemahaman agama yang kuat. Mesir, Saudi Arabia, Kuwait termasuk Indonesia—pada daerah tertentu yang menjadi pandemi virus Corona—ketika mengeluarkan fatwa berkaitan dengan ibadah Jum’at selama wabah Corona berlangsung. Atau jangan berkerumun dalam jumlah masa yang banyak, menjaga jarak antar kita.
Jakarta situasinya sudah sangat mencekam, antar dokter sudah saling curiga siapa yang sudah terpapar, kita atau dia. Banyak di antara mereka yang sudah dikarantinakan dengan status ODP atau PDP bahkan mungkin juga orang kedua yang terpapar Covid-19 setelah PDP dan ODP yang harus juga diisolasi.
Pernyataan AA Gym setelah mendengar penjelasan dokter semakin menegasikan sekarang ini sulit untuk mendeteksi siapa yang sehat dan sakit karena datanya menunjukkan bahwa 85% tidak ada gejala klinis yang semakin menjadi ‘ladang subur’ penyebaran Covid-19 kalau kita tidak hati-hati dan waspada.
Tidak salah pemahaman Jabariyah ini sepanjang ada dalil yang melandasinya, tetapi tentu kita harus kondisional dalam tataran implementatifnya karena ada juga dasar teologis yang mengharuskan kita untuk melakukan ikhtiar. Apa yang harus kita lakukan sekarang adalah menyempurnakan ikhtiar itu yang juga bagian dari perintah Tuhan; “Faidza ‘azamta fatawakkal ‘ala Allah, apabila sudah bertekad bulat, sudah berusaha baru bertawakal, pasrah kepada Allah”.
Menarik ungkapan Shohib Khairi, dosen Agama dan Etika Islam ITB, ketika ada orang mengatakan, “Tapi masjid ini adalah rumah Allah, tidak mungkin Allah menurunkan wabah di rumahNya, fatwa ulama sangat keliru”. Kalimat inipun kelihatannya indah untuk didengar katanya, padahal Rasulullah pernah menyampaikan “Janganlah kalian mencampuradukkan unta yang sakit dengan unta yang sehat” (HR. Bukhari), yang bersifat umum dan berlaku di semua tempat.
Sehingga adalah tindakan yang kurang tepat untuk mengatakan, “saya tidak takut Corona, saya hanya takut kepada Allah”, karena Nabi yang mulia juga mengatakan, “Larilah engkau dari lepra sebagaimana larinya engkau dari singa”. (HR. Bukhari).
Tuhan memang sudah menentukan takdir kita, termasuk kematian tetapi kita tetap berusaha karena kematian itu juga misteri yang dalam ayat-ayat terakhir QS. Lukman termasuk salah satu dari lima hak prerogratif Tuhan yang tidak bisa diintervensi manusia. Kita bukan lari dari dari takdir Tuhan tapi berusaha menuju takdir yang lain.
Banyak yang dengan percaya dirinya juga mengatakan, “Tapi di wilayah kita kan aman-aman saja”. Kita berharap semoga faktanya juga benar, tapi pernyataan para ahli virus juga harus dipertimbangkan bahwa Corona adalah wabah dengaan sifatnya yang mudah menyebar dengan masa inkubasi yang cukup panjang, sehingga orang yang terpapar baru akan ketahuan setelah 14 hari ke depan.
Yang pasti, agama juga hadir untuk melindungi nyawa manusia. Lima hak dharuri manusia yang harus dilindungi oleh agama, salah satunya adalah memelihara nyawa manusia, itu kenapa membunuh tanpa hak dilarang oleh agama. Apalagi juga yang sering menjadi landasan para ulama, kyai antara lain kaidah fiqh “dar’u al-mafasidi muqaddamun ‘ala al-jalbi al-mashalih, menolak yang mafsadat harus didahulukan daripada mengambil manfaat”.
Wallahu a’lam bi al-Shawab
*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu