Gratis Biaya Pendidikan (Kebijakan Diskriminatif Gubernur Jawa Barat)
Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memastikan bahwa biaya sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP digratiskan untuk peserta didik tingkat SLTA Negeri di provinsi Jawa Barat dan akan berlaku secara efektif dimulai tahun ajaran baru Juli 2020.
Terlepas dari apakah kebijakan ini politis dan pencitraan, yang pasti sangat bermuatan diskriminatif. Karena digratiskannya biaya sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP hanya berlaku bagi SLTA Negeri yang alokasi anggarannya akan diganti oleh APBD.
Pendidikan Bermutu untuk Semua
Sejatinya semangat untuk digratiskannya biaya sumbangan pembinaan pendidikan tingkat SLTA di Jawa Barat adalah kewajiban belajar dua belas tahun.dan sekali tarikan nafas dapat meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) di bidang pendidikan. Angka Partisipasi Kasar (APK) Provinsi Jawa Barat sampai saat ini masih rendah berada di angka 76,6%, masih jauh di bawah APK Nasional. Untuk itu, diperlukan terobosan dari Dinas Pendidikan Jabar selaku stakeholder bidang pendidikan dengan membuat langkah-langkah konstruktif dan program inovatif agar dapat mendongkrak APK dengan tetap menjunjung mutu dalam implementasi pendidikannya.
Jika ini yang menjadi the ultimate goalnya, maka kebijakan gratis SPP tingkat SLTA di Jawa Barat harus secara menyeluruh, tidak melulu SLTA Negeri (SMA/SMK N) tetapi juga SLTA swasta (SMA/SMK/MA S) dengan tetap mengedepankan kualitas. Karena pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap warga Negara, itu kenapa dulu kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional dihapuskan karena dampak ikutannya memunculkan diskriminasi dan kastanisasi—sekolah berkualitas hanya milik masyarakat yang mampu—di tengah-tengah masyarakat dan bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam konteks demikian, tanggung jawabnya sama, tidak melihat status sekolah—negeri atau swasta—mengusung semangat mencerdaskan kehidupan bangsa. Regulasinya sangat refresentatif untuk menjadi dasar pijak. Paling tidak; Pertama. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Bab III Pasal 4 (6): Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Bab IV Pasal 6 (2) Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Pasal 8: Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9: Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Bab XV Pasal 55 (3) dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Hasil Keputusan MK untuk mengubah Pasal 55 (4) Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan. Dalam UU tersebut pemerintah dalam mengucurkan bantuan pendidikan tidak boleh ada dikotomi antara keduanya (Negeri dan swasta). Ketiga, Peran serta masyarakat swasta dalam membantu mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (yayasan).
SPP Gratis; Diskriminatif?
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil memastikan bahwa biaya sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP digratiskan untuk SLTA Negeri di Jawa Barat dan efektif diberlakukan tahun ajaran baru Juli 2020—yang menurut ketua Pergunu Jawa Barat, Dr. H. Syaefullah mencapai anggaran Rp. 717 milyar dengan tetap menyalurkan BPMU sebesar Rp. 550 ribu/siswa/tahun—akan digantikan dari APBD Provinsi Jawa Barat. Sementara SLTA swasta siswanya akan disiapkan dana bantuan terutama untuk siswa dari keluarga tidak mampu.
Dalam teori perencanaan pendidikan memang ada beberapa pendekatan misalnya; Pertama, pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); Kedua, pendekatan perencanaan ketenagakerjaan (manpower planning approach); Ketiga, pendekatan untung-rugi dalam perencanaan pendidikan (rate of return approach); dan keempat, pendekatan analisis keefektifan biaya (cost effectiveness analysis approach). Digratiskannya biaya pendidikan bagi peserta didik dalam konteks pendekatan perencanaan pendidikan ini menduplikasi pada point pertama yakni social demand approach, bahwa pendidikan itu untuk semua dan memastikan anak usia sekolah tidak ada yang drop out.
Persoalannya, kenapa SLTA Negeri dana pengganti SPP ditanggung oleh APBD dengan tanpa ada instrumen siswa dari kalangan tidak mampu? Sementara SLTA swasta SPP-nya akan dibantu dengan catatan terutama bagi siswa dari kalangan tidak mampu. Bantuan pun tidak disebut secara eksplisit ditanggung oleh APBD dan sumbernya dari mana. Diskriminatifkah? Dari sini kemudian yang memunculkan riak, riuh rendah dari stakeholders pendidikan—terutama dari kalangan masyarakat/yayasan/swasta—memprotes kebijakan gubernur yang sejatinya adi luhung ini. Kalau kebijakan ini diniati untuk mewajibkan pendidikan dua belas tahun, kenapa tidak semua SLTA di Jawa Barat ditanggung biaya SPP-nya oleh APBD—seperti halnya BOS Pemerintah Pusat—dengan tidak mendichotomikan status Negeri atau swasta.
Pilihan Sikap
Dedi Mulyasana memprediksi fenomena yang akan terjadi ke depan dalam wilayah pendidikan yang memaksa terjadinya pergeseran dalam paradigma pendidikan. Hal ini menurutnya, dapat terlihat dari fenomena berikut; Pertama, kekuatan simbol (ijazah) akan bergeser ke kuatan kemampuan performa; Kedua, kekuatan individu akan bergeser ke kuatan jaringan; Ketiga kekuatan formal akan bergeser ke daya pengaruh; Keempat, persaingan akan bergeser dari harga ke layanan dan kualitas; Kelima, persaingan akan bergeser dari darat ke dunia maya. Oleh karena itu jangan jual tenaga, keterampilan, dan ilmu semata, tapi juallah kepercayaan.
Keenam, sistem evaluasi belajar yang hanya mengukur hafalan dan daya ingat akan bergeser ke evaluasi kemampuan total; Ketujuh, sumber dan sarana belajar konvensional akan bergeser ke sumber dan sarana belajar berteknologi tinggi; Kedelapan, sistem respons bergeser dari reward and punishment ke positive thinking; Kesembilan, kebutuhan kelas akan bergeser dari kebutuhan mencari guru yang pintar ke guru yang mampu memintarkan anak; Kesepuluh, sekolah bukan sekedar mendidik anak yang pintar tapi justru memintarkan anak yang berkebutuhan khusus;
Kesebelas, Pendekatan keseragaman yang bersifat statis akan bergeser ke pendekatan ke ragaman fungsional. Berpakaian seragam rapih, duduk yang tertib, dan datang serta pulang tepat waktu belum cukup menggambarkan keberhasilan proses pendidikan; dan Kedua belas, pembelajaran formalistik akan bergeser ke pembelajaran fungsional dengan menekankan pada penguatan logika, hati dan iman.
Fenomena pergeseran tersebut akan memaksa pendidikan dikelola secara terencana dengan tujuan yang jelas dan terukur hasilnya. Proses pembelajaran lebih menekankan pada kualitas proses daripada kuantitas hasil.
Fenomena tersebut tentu harus disikapi oleh SLTA Negeri ataupun swasta di Jawa Barat termasuk intervensi dari leader—Gubernur—melalui kebijakan-kebijakannya di bidang pendidikan.
Oleh karena itu adalah sebuah pilihan bijak, jika kemudian ada catatan-catatan pinggir untuk gubernur Jawa Barat; Pertama, setiap warga Negara berhak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan tidak ada diskriminasi; Kedua, Pemerintah Daerah Prov. Jawa Barat dalam hal ini Gubernur harus bersikap adil dalam memperhatikan sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah (negeri dan swasta) dalam berselancar di era digital; Ketiga, bantuan terhadap sekolah negeri dan swasta tidak ada dikotomi, sekolah gratis dibiayai oleh APBD sebagai pengganti iuran bulanan sekolah; dan Keempat, sekolah swasta sangat membutuhkan kehadiran pemerintah—termasuk pemerintah daerah provinsi Jawa Barat—dalam meningkatkan mutu dalam konteks Total Quality Management.
*)Penulis adalah dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu