Iedul Qurban; Blessing In Disguise-nya di Tengah Pandemi Covid-19
Ilustrasi (Inews.com) |
Iedul Qurban; Blessing In Disguise-nya di Tengah Pandemi Covid-19
Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
“Setiap kita adalah ‘Ibrahim’ dan setiap Ibrahim memiliki ‘Ismail’. Ismailmu mungkin ‘hartamu’, Ismailmu mungkin ‘jabatanmu’, Ismailmu mungkin ‘gelarmu’, Ismailmu mungkin juga ‘egomu’. Ibrahim tidak diperintahkan Allah untuk membunuh Ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk ‘membunuh’ rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail. Karena sejatinya semua adalah miliki Allah, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun.”
Covid-19 betul-betul menjadi tragedi kemanusiaan dunia, kasusnya menguras tenaga, fikiran dan finansial. Sehingga semua program terkonsentrasi untuk menanggulangi kasus tersebut. Alih-alih—setelah program vaksin—misalnya, justru kasusnya tidak semakin melandai—dalam konteks Indonesia—sehingga memunculkan perdebatan di kalangan medis dan ilmuan. Apakah Covid-19 ini benar-benar sebuah keniscayaan atau hanya konspirasi pihak tertentu dengan berbagai motifnya.
Kasus Covid-19 saat ini Indonesia menempati peringkat 14 dunia dengan penambahan kasus masuk peringkat 5 besar dunia; positif ada sejumlah 2. 950.058, yang sembuh 2.323.666, dalam perawatan 550.192 dan yang meninggal 76.200. Sedangkan kasus Covid-19 dunia berdasarkan laporan WHO setiap hari kasus kematian sudah menembus angka 4 juta. Peningkatan gelombang kematian itu terlihat di beberapa negara mulai dari Afrika, Asia hingga Amerika Latin yang mulai munculnya kekurangan oksigen dan fasilitas perawatan lainnya.
Krisis Covid-19 merupakan bencana kemanusiaan paling dahsyat abad ini dengan korban nyawa manusia yang begitu besar. Umat mansuaia di seluruh dunia terketuk hatinya menyaksikan ratusan ribu korban meninggal dunia di seluruh dunia. Begitu banyak orang cemas, takut, mengalami kesulitan hidup. Hikmahnya Covid-19 telah menciptakan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Covid-19 melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan yang melahirkan tujuan bersama (comman goal) untuk melawannya, tak heran jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di tanah air dan di seluruh dunia.
Emphatic Society; Hikmah Covid-19
Kasus Covid-19 memunculkan sikap empati dan simpati individu maupun komunitas. Sekedar menyebut contoh Sandiaga Uno membagikan 1.000 hewan qurban di hari raya Iedul Adha ini, para tokoh, politisi, aghnia, sampai aksi ‘spiderman’ dan aksi heroik seseorang yang membagikan hewan qurban serta berbagi uang di jalan.
Empati dipahami sebagai suatu kemampuan untuk memahami kebutuhan orang lain, yang artinya mengerti dengan benar perasaan dan pikiran orang lain. Berkaitan dengan memahami kebutuhan, perasaan dan pikiran orang lain, ini tidak berarti kita setuju dengan mereka, namun kita menunjukkan kemauan untuk menghargai dan memahaminya. Empati akan mampu mempromosikan perilaku prososial maupun perilaku menolong orang lain. Empati adalah saat kita menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan berbagi kesedihan bersama. Empati adalah kemampuan untuk melihat situasi dari perspektif orang lain. Ini melibatkan sudut pandang, emosi, dan kesulitan yang dialami seseorang. Anda menempatkan diri pada posisi mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan.
Menghadapi pandemik Covid-19, seyogyanya menumbuhkan sikap empati dan terus meningkatkan kepedulian satu sama lain serta saling bantu dalam mempertahankan hidup. sebagai orang timur--khususnya Indonesia—yang dikenal salah satu karakternya adalah peduli sesama dari kalangan berada. Sikap membangun kepedulian sosial harusnya dapat kita aplikasikan dalam kondisi seperti ini.
Berbagai gerakan kepedulian dan aksi solidaritas dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat secara genuine untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang terdampak. Rasa simpati yang luar biasa diberikan kepada para tenaga kesehatan yang telah berjuang menyelamatkan para korban dengan resiko nyawa. Covid-19 menciptakan masyarakat baru yang empatik, penuh cinta dan welas asih terhadap sesamanya, sesuatu yang langka sebelumnya.
Sisi lain dalam situasi panik dan khawatir menghadapi covid-19 juga memerlukan katarsis. Agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap individu untuk mengeliminasi rasa kepanikan dan kehawatiran yang berlebihan. Pun di tengan krisis Covid-19 agama menjadi tempat bersandar mencari ketenangan sekaligus harapan.
Sebagian besar masyarakat menganggap krisis ini adalah bencana yang atau hukuman yang diberikan Tuhan, bahkan dianggap sebagai tanda-tanda hari akhir akan tiba. Terlebih ketika terjadi pembatasan aktivitas ibadah di rumah-rumah ibadah seperti masjid atau gereja. Situasi ini membuat masyarakat menjadi semakin religious.
Fenomena ini juga terjadi secara global. Sebuah survey di Amerika Serikat yang dilakukan oleh McLaughlin & Associates menunjukkan bahwa jutaan orang menjadi lebih religious atau memilih kembali ke jalan Tuhan di tengah pandemic covid-19. Hasilnya survey ini menunjukkan, 44% responden beranggapan krisis covid 19 yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini adalah pertanda agar semua orang kembali kepada Tuhan dan tanda segera datangnya hari penghakiman atau hari akhir.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious, cobaan Covid-19 semakin mendekatkan mereka kepada Tuhan. Karena di tengah wabah ajal bisa setiap saat datang, maka mereka memperbanyak amal-ibadah untuk bekal ke akherat.
Ini pula yang terjadi pada peristiwa Idul Qurban; mendekatkan diri dengan Tuhan dan sekali tarikan nafas mengasah kepedulian kepada sesama.
Iedul Qurban dan Emphatic Society
Setali dengan peristiwa Covid-19, pada Iedul Quran sangat sarat ibadah yang tidak hanya berdimensi spiritual, tetapi juga sosial. Ibadah yang awalnya diadopsi dari peristiwa Nabi Ibrahim diperintahkan untuk ‘menyembelih’ Ismail AS., yang memiliki makna simbolik untuk ‘menyembelih’ rasa kepemilikan keabadian kepada apapun yang melekat pada diri kita. Karena pemilik kesejatian hanyalah Allah SWT., Tuhan semesta alam.
Qurban merupakan terma Arab yang bermakna ‘dekat’. Dalam Islam juga bisa disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti Unta, Sapi, Kerbau dan Kambing yang disembelih pada hari Raya Idul Adha dan hari-hari Tasyrik sebagai bentuk taqarrub—mendekatkan diri—kepada Tuhan.
Pada Iedul Qurban, shalat hari raya dipercepat untuk segera melakukan penyembelihan hewan quraban sebagai bentuk empati—kepedulian sosial—kepada sesama manusia, terutama bagi mereka yang membutuhkan. Dagingnya untuk segera dibagikan—lan yanala Allaha lahu lukhumuha walaa dimaauha wa laa kin yanalhu a-taqwaa minkum—sebagai manifestasi ketaqwaan kepada Allah yang berdimensi kemanusiaan.
Yang menarik ada dimensi kemanusiaan yang holistik diajarkan oleh Nabi yang Mulia, Muhammad SAW., ketika melaksanakan haji Wada’ di Arafah—yang seolah suaranya terdengar kembali saat ini—beliau menyampaikan; "Ayyuhan Naas." (Wahai manusia) Nabi SAW. berkata, dengan suara yang lembut tapi terdengar jelas. Beberapa orang sahabat di tempat-tempat yang berbeda mengulang kembali kata-katanya, bersahut-sahutan, menggemakan suara lembut itu keseluruh Arafah. “Dengarkan baik-baik pembicaraanku. Karena sungguh aku tidak tahu apakah aku bisa berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini untuk selama-lamanya”.
Kemudian Nabi berhenti sejenak—menarik nafas panjang—dengan butir-butir air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Nabi memandangi para pengikutnya, sekali lagi dengan tatapan penuh kasih.
Ayyuhan Naas, ayyu yawmin hadza? Tahukah kalian hari apakah ini? Yawmun haram. Hari yang suci (Gemuruh suara ratusan ribu manusia) Ayyu baladin hadza? Negeri apakah ini? Baladun haram! Negeri yang suci. Ayyu syahrin hadza? Bulan apakah ini? Syahrun haram. Bulan yang suci.
Fa inna dima-akum wa amwalakum wa a'radhakum 'alaikum haram kahurmati yawmikum hadza fi baladikum hadza fi syahrikum hadza. (Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian sama sucinya dengan sucinya hari ini, negeri ini dan bulan ini. Tidak boleh darah manusia ditumpahkan; tidak boleh hartanya dihancurkan; tidak boleh kehormatannya dijatuhkan).
Nabi yang Mulia tidak hanya mengajarkan untuk peduli kepada sesama dengan berbagi sebagian kecil harta yang kita miliki—apalagi dalam situasi pandemi Covid-19—seperti sekarang ini, tetapi pada saat yang sama kita tidak diperkenankan untuk menumpahkan darah (saling berbunuh)—hanya karena pandangan dan interpretasi, paham, golongan kita yang berbeda—tidak boleh menjatuhkan kehormatan sesama kita—hanya karena nafsu jabatan dan atribut kekuasaan—dengan tidak mendahulukan prestasi dan berfastabiqu al-khairat untuk meraih kesuksesan. Karena atribut kekuasaan apapun adalah amanah, pemilik sejatinya Allah, Tuhan semesta alam (walilllahi miiraatsu al-samaawaati wa al-ardh). Hakikatnya semuanya adalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawabannya.
Penutup
Tidak ada yang sia-sia pada ciptaan Tuhan, selalu saja ada pesan tersembunyi dari segala peristiwa. Hal yang harus terus kita upayakan adalah ikhtiar, selebihnya biarlah Tuhan—pemilik segala sesuatu di genggamannya—untuk memutuskan segala otoritasnya.
*)Penulis adalah dan Dosen IAIN SNJ Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu