Islam Tapi Tak Islami
Masjid (Ilustrasi bola.com) |
Negara yang Islami
Oleh: Masduki Duryat*)
Pada buku Metodologi Studi Islam karya Prof. Jaih Mubarok dengan mengutip pandangan Prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam teori taskhirnya, ia mengatakan: ada korelasi antara Tauhid dengan kemajuan dan musyrik dengan kejumudan, kemunduran. Kaum yang bertauhid tidak tunduk kepada alam semesta, karena alam ditundukkan dan dikuasai, maka hukum alam juga demikian, banyak penelitian, karena banyak penelitian, banyak penemuan baru, banyak penemuan baru akan menyebabkan kemajuan. Sebaliknya kaum musyrik tunduk kepada alam, karena tunduk kepada alam maka tidak ada penemuan baru, tidak ada penemuan baru mengalami kejumudan, kamandegan bahkan kemunduran.
Tetapi realitasnya kaum yang bertauhid mengalami kemunduran, keterbelakangan, dan kaum musyrik mengalami kemajuan seperti di Negara-negara Barat, Eropa, Amerika yang nota-benenya mayoritas tidak bertauhid. Ada apa dengan kebertauhidan kita?
Muhammad Abduh dan Indikator Islami
Syaikh Muhammad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat, yang mengganggap Islam kuno dan terbelakang.
Kepada Renan, filosof Prancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam itu hebat, cinta ilmu, dan logika saya juga mengatakan; tidak ada ruang bagi ummat Islam untuk tidak berilmu indikasinya banyak, QS. Al-Alaq yang pertama kali turun itu berindikasikan semangat literasi, literasi bermakna “melek”, kita bisa melek dengan membaca, Iqra. Bahkan indicator orang yang dinaikkan derajatnya berdasarkan QS. 58: 11, adalah iman dan ilmu. Nabi yang mulia juga mengatakan: “Kun ‘aliman aw muta’alliman aw mustami’an aw muhibban wala takun khamisan fatahlaka”, mendukung kemajuan, peradaban dan lain sebagainya—bahkan dengan mimanjam bahasa Prof. Jalaluddin Rakhmat—Islam pernah menguasai sepertiga dunia ini dengan milleston yang pernah dibangunnya dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya saat itu.
Tapi dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur itu mengatakan: “Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam dalam Al-Quran, tapi tolong tunjukkan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam”.
Abduh pun terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Satu abad kemudian, beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan. Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam, seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah SAW.
Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai 'islamicity index', mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa islami negara-negara tersebut. Hasilnya?
Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islami. Indonesia? Harus puas di urutan ke 140. Nasibnya tak jauh berbeda dengan negara-negara Islam lainnya, yang kebanyakan berada di 'ranking' 100-200. Apa itu islam? Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan islami?
Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi. Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa: “Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat dari tangan dan lisannya”. “Almuslimu man saliman nasu min lisanihi wa yadihi” Itu indikator. Atau hadits lain yang berbunyi: "Keutamaan Islam seseorang, adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat”. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga, hormati tamu, bicara yang baik atau diam"—“Man kana yukminu billahi wal yaumil ahir, fal yukrim jaraho, falyukrim dhaifahu, fal yaqul khairan aw liyasmut”—Demikian dalam hadits yang lain.
Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang islam dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keislaman seseorang, yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota, bahkan negara. Dengan indikator-indikator ini, tidak heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Prancis, akhirnya dia berkomentar: “Saya tidak melihat Muslim di sini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam; sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tidak melihat Islam”.
Pengalaman serupa dirasakan Prof. Afif Muhammad, Guru Besar UIN Bandung, ketika berkesempatan ke Kanada, yang merupakan negara paling islami nomor lima. Beliau heran melihat penduduk di sana, yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya, “mengapa harus dikunci?”
Di kesempatan lain masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah.
Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim, yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat.
Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan aman. Kata Nabi; iman indikatornya adalah “man aminan nasu fi amwalihin wa anfusihim”. Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman kepada siapapun. Penduduk Kanada menemukan rasa aman, padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman, di tengah orang-orang yang (mengaku) beriman. Kita rasanya juga harus belajar banyak dari Finlandia, Negara yang paling aman dan nyaman di dunia. Bukan kecerdasan dan sumber daya alam yang menjadi andalannya. Tetapi kejujuran yang ditanamkan kepada masyarakatnya, masyarakatnya tidak mau melakukan kesalahan dan pelanggaran bukan karena takut dihukum tetapi hawatir generasi berikutnya akan melakukan kesalahan yang dilakukan para pendahulunya. Nilai kejujuran ini yang dikedepankan Islam, yang oleh Mohammad Natsir pernah bercerita pada buku Fiqhu al-da’wah tentang kata-kata ‘Fa ainallah’nya anak gembala.
Seorang teman bercerita: di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyeberang saat lampu penyeberangan masih merah. “Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru apa yang Anda lakukan”.
Sangat kontras dengan sebuah video di Youtube, yang menayangkan seorang bapak di Jakarta, maaf dengan pakaian jubah dan sorban naik motor tanpa helm. Ketika ditangkap polisi karena melanggar, si bapak tersebut justru malah marah dengan menyebut-nyebut bahwa dirinya habib. Maksudnya agar Polisi melepaskannya, karena dia adalah orang suci (?) Mengapa kontradiksi, ambigu dan sikap paradoks ini bisa terjadi?
Limaadzaa taakhara al-muslimuuna wataqaddama ghairuhum?
Syaikh Basuni, seorang ulama pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha, ulama terkemuka dari Mesir. Suratnya berisi pertanyaan: "Limaadzaa taakhara al-muslimuuna wataqaddama ghairuhum?" ("Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju?")
Surat itu dijawab panjang lebar, dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu.
Inti dari jawaban Rasyid Ridha: Islam mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya. Umat Islam terbelakang, karena meninggalkan ajaran 'iqra' (membaca) dan cinta ilmu.
Sistem pengajaran Islam menjadi dogmatis, apa kata ustad/ulama menjadi hukum yang harus di ikuti; tidak kritis dan mendebat ustad/ulama untuk mencari kebenaran, karena ustadz/ulama juga manusia yang berpotensi salah. Akibatnya, umat Islam sekarang cenderung anti kritik dan siap berperang, jika ada yang kritis mempertanyakan sesuatu. Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dalam hal tradisi membaca dan mencari ilmu. Berkali-kali saya menyampaikan, siapa yang tidak tersinggung dengan tulisan Hadi Purwanto yang dikutip pengantar redaksi “Problematika Pendidikan Islam Kontemporer”, ketika menyebut problem pendidikan (agama) kita yang masih bersifat doktrinal:
Guru bicara, murid menulis
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru mengatur, murid diatur
Guru menghukum, murid dihukum
Dosen membaca, mahasiswa mencatat
Dosen bertanya tentang bacaannya, mahasiswa menjawab dengan catatannya
Dosen diam, mahasiswa tidur
Dosen absen, mahasiswa pulang
Dosen pulang, mahasiswa berkelahi dengan aparat,
mabuk, aborsi, lalu ekstasi
Ajaran Islam hanya ditekankan pada hafalan dan mendengar semata, bukan kritis dengan argumentasi serta menjadi paham. Meninggalkan riset, yang menjadi fondasi dasar berkembangnya IPTEK dan kemajuan peradaban. Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-negara Muslim terpuruk di kategori 'low trust society', korupsi kita makin menggila—ini yang kemudian diprotes oleh mahasiswa karena ada upaya pengerdilan lembaga anti korupsi seperti KPK—masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain, alias selalu penuh curiga.
Muslim juga meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam, bagaimana kita melihat kantor, sekolah bahkan masjid dan tempat ibadah kita, rumah seorang muslim tidak bersih, toiletnya mampet, bau, dan tidak nyaman. Jangan heran pula, jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah? Mungkin yang salah yang membuat 'survey'nya kata Buyung Kaneka Waluya. Seandainya keislaman sebuah negara itu diukur dari jumlah jama’ah hajinya, pastilah Indonesia ada di ranking pertama. Andaikan hafalan Al Qur'an yang jadi ukuran, Insyaa Allah Negara-negara Arab yang akan menempati ranking pertama. Sayangnya, parameter keislaman bukan hanya itu.
Penutup
Ini otokritik, mudah-mudahan keberislaman, dan keberimanan kita tidak hanya sebatas konseptual tetapi juga diaktualisasikan sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Islam Aktualnya” atau dalam bahasa Prof. Harun Nasution, Islam kita tidak terjebak pada Islam formalistic, sebaliknya Islam yang substantive dan mengamalkan isinya dalam kehidupan social. Ajaran Islam harus ‘numusi’ pada perilaku keseharian dan ibadah social kita kata Prof. Amin Rais.
Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita sekalian
Wallahu a’lam bi al-shawab
*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu