Korupsi dan Perilaku Pemimpin Islam; Menepis Absurditas Syahwat Kekuasaan
Ilustrasi Korupsi (Gambar Beritasatu.com) |
Oleh: DR. H. Masduki Duryat*)
Masyarakat internasional sepakat memperingati Hari Antikorupsi sedunia tanggal 9 Desember. Dalam konteks Indonesia yang oleh Gunnar Myrdall dari sisi Etik disebutnya sebagai Negara yang masuk kategori soft state. Soft state dibentuk oleh adanya soft-ethics, dan soft-ethics sendiri dibentuk oleh jenis pemahaman keagamaan yang parsial. Misalnya yang hanya mementingkan ritus-ritus belaka, menampilkan wajah keberagamaan legalistic-formalistik. Pada pandangan Political and Economic Risk Consultancy Hongkong, Indonesia menjadi Negara terkorup di Asia, Indeks persepsi korupsi Indonesia juga berada pada peringkat 145 dari 180 negara dengan nilai indeks 2,3. Pada tahun 2009 survei mencakup 178 negara. Indonesia berada pada peringkat 110 dengan indeks 2,8 dan pada tahun 2010 naik menjadi peringkat 100 dari 182 negara dengan nilai indeks 3,0. 2018 indeks persepsi korupsi Indonesia versi Transfaransi Internasional Indonesia (TII) menduduki peringkat ke-89 dari seluruh Negara di dunia.
Faktor dominan yang menjadi pemicu tindak korupsi di Indonesia—jika dilihat dari sudut pandang organisasi—adalah; ketiadaan teladan dari pemimpin, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan akuntabilitas di instansi pemerintah yang kurang memadai.
Pemimpin Islam; Sebuah Cermin
Keteladanan seorang pemimpin sangat urgent dalam sebuah organisasi. Sehingga sangat diperlukan dalam tataran realitas perilaku pemimpin yang tidak hanya dalam kata tetapi ‘membumi’ dalam bentuk perbuatan. Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas Islam, maka perilaku kepemimpinannya harus bercermin pada pendahulu para pemimpin Islam.
Kepemimpinan Islam dalam konteks antikorupsi ini melekat pada kepemimpinan nabi Muhammad—yang oleh Syafii Antonio disebutnya sebagai pemimpin yang holistic, accepted dan proven—dalam satu kesempatan dengan tegas mengatakan: “law anna fathimata binti Muhammadin syaraqat, laqata’tuha”, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya. Sebuah sikap yang tanpa pandang bulu dengan menempatkan siapapun sama di mata hukum.
Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khathab, amirul mu’minin didikan nabi Muhammad, ketika menjadi pemimpin sungguh-sungguh meletakkan amanat—walaupun berat—sebagai sesuatu yang harus disampaikan di atas segalanya.
Abu Bakar selesai dibaiat menjadi pengganti nabi sebagai pemimpin ummat Islam, langsung berpidato;
“Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian, sesungguhnya kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan haknya kepadanya, insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di antara kalian, maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan timpakan kepada mereka suatu kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian terbesar di tengah suatu kaum kecuali adzab Allah akan ditimpakan kepada seluruh kaum tersebut. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.”
Demikian pula Umar bin Kaththab ketika menjadi khalifah—yang sebelumnya pernah didoakan oleh rasulullah; “Ya Allah kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling Engkau cintai, dengan ‘Umar bin Khaththab atau dengan Abu Jahal bin Hisyam.” (HR Tirmidziy, dari Ibnu Umar)—tegas dan menjadi pengikut nabi yang setia membela dan memperkokoh risalah Islam.
Beliau tidak pandang bulu. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Kerisauan Umar ra. yang takut kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian beliau risau kalau ditanya tentang rakyatnya. Kata beliau, “Demi Allah kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku tetap khawatir akan diri ini. Aku khawatir tidak dapat menjawab pertanyaan Allah. Dan risau kalau ada rakyat yang terzalimi olehku, sedangkan aku tidak menyadarinya”
Umar bin Khaththab terkenal tegas dan kukuh dalam berpegang kepada kebenaran. Namun, dalam hal kematian beliau pun senantiasa teringat padanya. Beliau menangis saat mendengarkan ayat-ayat atau peringatan tentang akhirat. Bahkan cincin yang dikenakannya bertuliskan “Kematian itu sudah cukup sebagai peringatan, wahai Umar!” Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar bin al-Khaththab di awal pemerintahannya pernah menyatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”
Riwayat yang melegenda dalam sejarah kepemimpinan Umar adalah perhatiannya yang tulus kepada rakyatnya.
Pada suatu saat secara diam-diam dia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, saat sedang berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang perempuan sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, saat menjawab pertanyaan khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang dia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya dia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Dia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, dia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada perempuan itu dia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.
Umar pernah menyampaikan pidatonya di depan kaum muslimin: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.”
Satu lagi generasi terbaik yang pernah dilahirkan oleh Islam ketika menjadi pemimpin—dari sekian banyak generasi terbaik—adalah Umar bin Abdul Aziz.
Suatu hari Umar bin Abdul Aziz menyewa seekor unta dari seorang pemilik unta untuk perjalanan ke luar kota. Di tengah perjalanan yang kanan dan kirinya penuh dengan pepohonan, tiba-tiba serban Umar tersangkut pohon dan jatuh ke tanah. Setelah satu kilometer, Umar baru diberi tahu bahwa serbannya terseret pohon. Lalu, Umar turun dari unta dan berjalan mengambil sorbannya.
“Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau mengambil sendiri sorban itu? Bukankah kita bisa mengambilnya dengan mengendarai unta,” tanya sang pemilik unta kepada Umar terheran-heran. “Tidak, saya menyewa unta hanya untuk pergi bukan untuk kembali,” ujar Umar. “Mengapa engkau tidak menyuruhku mengambilnya,” tanya pemilik unta penasaran. “Tidak juga, karena sorban itu bukan milikmu, tapi milikku,” ujarnya dengan mantap.
Kisah ini mengilustrasikan keteladanan seorang pemimpin yang patut ditiru dalam memanfaatkan kedudukannya. Meski Umar berkedudukan sebagai khalifah, ia tidak ingin seenaknya memerintah atau memperlakukan rakyatnya tanpa kendali. Baginya, kedudukan bukanlah sekat atau struktur egoisme atau kesombongan, tapi menjadi jembatan untuk memberikan jalan terbaik bagi rakyatnya.
Umar juga tak pernah melampaui batas dalam menggunakan barang milik rakyat ketika dia harus menyewanya. Ringkasnya, Umar Abdul Aziz adalah sosok pemimpin lurus (adil) yang tidak semaunya menggunakan tenaga kaum lemah. Ia tidak duduk terlena di atas tahta singgasana.
Umar Abdul Aziz adalah pemimpin yang sangat cepat mencairkan kebekuan rakyat dengan jalan arif dan memudahkan. Pangkat dan kedudukannya tidak menjadikannya jadi penghalang untuk turun ke lapangan guna membantu dan menyelesaikan segala kesulitan yang dihadapi rakyat. “Permudahlah urusan umat manusia dan jangnlah kalian persulit,” sabda Nabi SAW.
Suatu hari, istrinya mendapat hadiah sebuah kalung dari seorang raja negara lain. Umar meminta istrinya memberikan kalung tersebut pada baitul mal. Istrinya menolak dengan alasan kalung itu hadiah untuknya.
“Kau diberi hadiah karena kau istri khalifah. Kalau seandainya kau bukan siapa-siapa, tentu kau tidak akan mendapatkannya,” ujar Umar mengingatkan istrinya. Ini yang kemudian dalam terma sekarang disebut dengan gratifikasi.
Pemimpin Melayani, Bukan Dilayani
Inti kekuasaan adalah untuk kemaslahatan dan mensejahterakan rakyat. Dengan demikian bukan semangat untuk menguasai dan melanggengkan kekuasaannya dengan berbagai cara untuk kepentingan pribadi kemudian melakukan tindak kedhaliman kepada rakyat.
Apalagi dengan melihat fungsi seorang pemimpin, setidaknya ada dua; Pertama Khadim, pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu perkara tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang boleh berkhidmat dan menjadi pelayan bagi rakyatnya. Kedua muwajjih, pemandu yang memberikan arahan, guide pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik untuk selamat sampai ke tujuan.
Dengan melihat dua fungsi tersebut sejatinya tidak akan ada pemimpin yang bertindak semena-mena, arogan dan melakukan tindak koruptif. Tetapi sebaliknya ingin bersama ‘menciptakan’ surga di negerinya bersama seluruh rakyat yang dicintai dan mencintainya.
Wallahu a’lam bi al-Shawab
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu