LGBT Takdir atau Pilihan Hidup?
Oleh: Masduki Duryat
LGBT menggeliat kembali dan sangat menghawatirkan, gerakannya semakin terorganisisr dan massif, bahkan boleh dikatakaan militant. Mulai menguasai dunia hiburan, meminjam ‘tangan’ kaum sekuler dan liberal dan masuk ke partai politik dan lembaga Negara. Sasarannya jelas sebagai sebuah komunitas ingin dilegitimasi oleh Negara—termasuk perkawinan sejenis—dengan mengatasnamakan sebagai Hak Azasi Manusia (HAM).
Banyak studi dan kajian yang sudah dilakukan,. Kategori studi pertama, misalnya, adalah buku yang ditulis oleh Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sexual.
Sebagai buku psikologi abnormal, buku ini membicarakan berbagai kategori penyimpangan seksual dari sudut pandang psikologi.
Kategori kedua adalah penelitian Endah Sulistyowati tentang pelacuran waria di Jakarta yang berjudul Waria: Eksistensi dalam Pasungan. Penelitian ini terfokus pada liku-liku kehidupan pelacur waria yang mangkal di Taman Jatinegara Jakarta.
Yang tidak mungkin tidak disebut adalah sebuah buku yang ditulis oleh salah seorang tokoh homoseksual Indonesia, Dede Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu.
Buku ini sangat menarik karena dia tidak hanya memberi pembelaan atas keberadaan kaum homoseksual Indonesia berdasarkan temuan-temuan keilmuan mutakhir, tapi juga melalui penelusuran sejarah tradisi Nusantara kita sendiri.
Sebagai layaknya buku yang berisi kumpulan tulisan lepas, ia memberi banyak informasi, tapi tidak sungguh-sugguh detail. Waria hanya menjadi salah satu dari sekian topik yang diangkat dalam buku tersebut. Kisah perlawanan waria sendiri hanya diungkap dalam satu bab saja.
Tentang LGBT ini memang ada tiga perspektif yang berbeda; Pertama, Perspektif Psikologis-Medis. Perspektif ini menyatakan ada kecenderungan hormonal (testoteronnya lebih banyak), seharusnya ia seorang laki-laki tetapi terperangkap dalam jasad perempuan. Pada pandangan ini bukan penyimpangan perilaku tetapi penyimpangan genetik, sehingga ini merupakan takdir Tuhan dan bisa menjadi legalitas, tidak harus diobati atau disembuhkan karena merupakan bawaan alami. Tetapi pertanyaannya, jika oleh orang tua/lingkungan kemudian perilaku mereka bisa berubah, bagaimana dengan DNA tadi?
Kedua, Perspektif Logika-Moral. Manusia memiliki akal, logika, hati dan moral. Sehingga dengan logikanya manusia bisa membedakan mana yang benar dan salah. Apalagi misi utama manusia diutus ke muka bumi ini adalah menjadi seorang pemimpin. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, secara moral pantaskah seorang laki-laki menikah dengan laki-laki? demikian juga sebaliknya.
Ketiga, Perspektif Agama. Peristiwa sodom dan Gomorroh yang dilakukan kaum Nabi Luth, kemudian dimusnahkan oleh Tuhan. Adalah bentuk jawaban dari pertanyaan, mengapa Tuhan menghukum, apakah ini kodrati? Mungkinkah Tuhan menghukum yang sah dan telah ditetapkan-Nya?
Inilah beberapa pandangan tentang LGBT yang sampai sekarang masih debatable, walau pada pendekatan agama sudah sangat jelas.
Yang menarik adalah pernyataan Lukman Hakim Syaifuddin bahwa homoseksualitas adalah sebuah pilihan; “Orang yang menjalani perilaku seperti itu pilihannya dua saja, apakah itu pilihan yang bersangkutan, atau itu takdir dari Tuhan. Saya pribadi berpandangan itu pilihan, karena Tuhan tidak mentakdirkan, sejauh yang saya yakini”.
Sebuah realitas yang tidak bisa dipungkiri adalah komunitas ini menjadi salah satu penyumbang semakin mengguritanya penyakit HIV/AIDS. Penuturan dokter Iim Bahtiar untuk di Indramayu saja menurutnya kasus homo dan lesbi banyak sekali dalam menyumbang kasus HIV/AIDS.
Baginya, ada kasus yang menarik misalnya ada seorang siswa salah satu sekolah menengah karena dia takut akhirnya datang ke RS Bhayangkara Indramayu untuk diperiksa, ternyata hasilnya positif. Dengan diantar ibunya ke RSBI ibunya menangis bak disambar petir mendengar penuturan dokter dengan hasil pemeriksaannya. Berdasarkan hasil penelusuran team, ternyata siswa tersebut ‘main’ dengan sesama teman laki-lakinya di kamar rumah. Ibunya mengira anaknya sedang bermain biasa layaknya anak sekolah. Ternyata di kamar sedang bermain LSL (Laki-laki suka sesama laki-laki) dan ternyata banyak juga temannya yang melakukan hal tersebut.
Supir bus Kuningan-Jakarta dengan kondekturnya, oknum guru dengan murid-muridnya—apalagi melihat regulasi juga tidak terlalu tegas mengaturnya—menjadi semakin subur perilaku abnormal ini.
Sekarang ini ada kekhawatiran yang mulai bergeser tidak hanya pergaulan anak perempuan bergaul dengan siapa. Tetapi juga anak laki-laki pun sekarang harus diawasi dengan siapa ia bergaul. Sebuah fenomena yang mengerikan sekaligus menyedihkan.
Akankah kita mengatakan, ini sebuah pilihan hidup?*)