(Masihkah) Momok itu Bernama Zonasi
Rabu, 11 Agustus 2021
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan terobosan baru dengan merubah komposisi kuota PPDB, di samping membuat perubahan pada dua hal; Pertama, mulai 2020 Ujian Berstandar Nasional (USBN) akan diganti dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Kedua, pada tahun 2021 nanti Ujian Nasional (UN) diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survey karakter.
Memasuki tahun ajaran baru 2020/2021 pada penerimaan siswa baru tetap menggunakan system zonasi. System ini mulai diterapkan sejak tahun ajaran 2018/2019 dan banyak diperbincangkan masyarakat luas serta menuai pro dan kontra karena dinilai membatasi kemerdekaan siswa dengan nilai tinggi untuk mendapatkan sekolah favorit. Di sisi lain, pemerintah—dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—merancang kebijakan ini untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan meniadakan konsep sekolah favorit—karena pada dasarnya sekolah favorit dan bermutu adalah hak semua warga Negara dengan tidak menciptakan kastanisasi—sebagaimana dihapuskannya sekolah berstandar internasional (SBI) dulu. Sebagai wujud amanat Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dasar Pijak Sistem Zonasi
Ketentuan system zonasi berdasarkan Permendikbud RI No. 14 tahun 2018 Pasal 16 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.
Jarak zonasi yang ditetapkan masing-masing sekolah berbeda tergantung pada kesepakatan pihak terkait di masing-masing daerah. Kesepakatan itu diambil dengan mendasarkannya pada banyak sedikitnya ketersediaan anak usia sekolah dan kapasitas atau daya tampung sekolah di daerah tersebut. Dengan demikian pemerintah pusat tidak terlibat langsung da;am penentuan radius zonasi, tetapi menyerahkannya pada masing-masing sekolah untuk menentukan jarak yang paling ideal untuk kondisi sekolahnya. Sehingga akan terjadi angka jarak zonasi masing-masing sekolah akan berbeda antara satu dan lainnya.
Implikasi dari system zonasi ini adalah calon siswa yang berdomisili jauh dari lokasi sekolah kehilangan kesempatan untuk mendaftar menjadi salah satu siswa di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan sekolah di bawah naungan pemerintah atau berstatus negeri dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) wajib menerima 90 persen siswa baru yang berasal dari dekat lokasi sekolah.
Sisanya 10 persen dibuka untuk pendaftar yang berasal dari luar daerah zonasi. Tetapi masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi dengan mengacu pada pasal 16 ayat (6) Permendikbud 14/2018 ini. Kriteria persyaratan itu adalah 5 persen untuk mereka yang berprestasi, 5 persen yang lain diperuntukkan calon peserta didik baru yang memenuhi alasan khusus. Alasan khusus ini misalnya perpindahan domisili orang tua/wali siswa dan terjadi bencana alam/social.
Regulasi ini kemudian direvisi oleh Menteri Nadiem Makarim, jalur prestasi diberi porsi 30%, 70% sisanya kuotanya tetap mengikuti tiga kriteria; yaitu minimum zonasi adalah 50%, jalur afirmasi pemegang KIP minimal 15% dan jalur perpindahan 5%.
Sistem Zonasi; Pro dan Kontra
Pada pandangan KPAI system zonasi pada proses PPDB di sekolah negeri selama dua tahun terakhir menyisakan 9 (Sembilan) persoalan utama yang mempengaruhi implementasi PPDB system zonasi yang harus segera dibenahi. Pertama, penyebaran sekolah negeri yang tidak merata di tiap kecamatan dan kelurahan. Sementara banyak daerah yang pembagian zonasi awalnya didasarkan pada wilayah administrasi kecamatan. Kedua, ada calon siswa yang tidak terakomodasi, karena tidak bisa daftar ke sekolah manapun. Sementara ada sekolah yang kekurangan siswa, karena letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Ketiga, orang tua mengantre hingga menginap di sekolah, padahal kebijakan PPDB zonasi dan system online, memastikan bahwa di zona terdekat dengan sekolah pasti diterima. Keempat, minimnya sosialisasi sehingga membingungkan calon peserta didik baru dan orang tua, sehingga menimbulkan kebingungan. Kelima, masalah kesiapan infrastruktur untuk pendaftaran secara online. Keenam, transfaransi kuota per zona yang sering kali menjadi pertanyaan masyarakat, termasuk kuota rombongan belajar dan daya tamping.
Ketujuh, penentuan jarak atau ruang lingkup zonasi yang kurang melibatkan kelurahan. Kedelapan, soal petunjuk teknis yang kurang jelas dan kurang dipahami masyarakat—termasuk petugas penerima pendaftaran—yang sering kali menimbulkan kebinngungan. Kesembilan, karena jumlah sekolah negeri yang tidak merata di setiap kecamatan, maka beberapa Pemda membuat kebijakan menambah jumlah kelas dengan system 2 shift (pagi dan siang) yang akan mengancam eksistensi sekolah swasta.
Belum lagi beberapa dampak ikutan yang menjadi persoalan essensial dari kebijakan system zonasi ini—terutama bagi mereka yang kontra—sampai ada yang berucap innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un karena telah mematikan potensi dan kebebasan anak untuk memilih sekolah sesuai cita-citanya. Metoda zonasi adalah metoda salah urus yang menjungkirbalikkan proses persaingan terbuka dan merampas kebebasan anak untuk memilih sekolah sesuai cita-citanya. Ini dinilai sangat tidak mendidik dan tidak bermutu. Logika yang dibangun adalah hanya karena lokasi rumahnya dekat dengan sekolah negeri favorit dengan nilai Ujian yang sangat jelek, bisa diterima. Sebaliknya siswa dengan nilai Ujiannya sangat tinggi karena rumahnya jauh dari sekolah, tidak bisa diterima. Metoda system zonasi ini bagi yang kontra menilainya sebagai sebuah kebijakan yang super konyol.
Sedangkan bagi yang pro, menilainya zonasi ini sebagai sebuah kebijakan yang berkeadilan. Dengan mengilustrasikan sekolah di sekolah favorit hanya sebuah mimpi karena miskin dan nilai hasil Ujiannya rendah. Namun mimpi itu menjadi sebuah realitas dengan system zonasi yang meniadakan persyaratan masuk sekolah favorit dengan hasil nilai tinggi. Sekolah favorit itu kini memiliki tugas besar mengubah anak didik dengan nilai ujian rendah menjadi pintar, tidak berdaya menjadi berkualitas. Sekolah favorit tidak lagi dengan semena-mena ‘menyingkirkan’ anak didik yang bernilai rendah dari lingkungannya. Tugas guru di sekolah favorit mengubah mindset-nya malu memiliki anak didik yang nilainya rendah, performanya dianggap bisa turun di ‘mata’ Dinas Pendidikan setempat. Tugas utama guru dan sekolah adalah mengembangkan potensi anak didik, saatnya para guru—terutama yang terbiasa mengajar di sekolah favorit dengan latar belakang anak yang pintar dan kaya—untuk kembali ke ‘khittah’ utamanya mendidik anak. Mengubah sampah menjadi kosmos, mengubah yang nakal menjadi berakal dan mengubah anak yang lambat dalam belajar menjadi anak yang pintar dan menjadi insan yang bermanfaat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagai amanat dari Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Solusi Zonasi; Belajar dari Jepang
Ada yang menarik dari negeri Sakura ini relevansinya dengan kebijakan zonasi. Kita tahu bahwa Jepang adalah salah satu Negara terbaik yang menerapkan system zonasi. Wajib belajar di jepang 9 tahun; 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP.
Tidak ada kehebohan yang berarti yang terjadi pada orang tua menjaelang tahun ajaran baru, karena semua anak akan diterima di sekolah negeri yang terdekat dengan rumahnya. Tidak ada anak yang gigit jari karena tidak kebagian kursi sekolah. System informasi kependudukan sudah sangat berjalan dengan baik. Setiap penduduk asli maupun pendatang akan terdata seluruh identitasnya, termasuk penghasilannya.
Apa yang menarik dari system zonasi di Jepang, sehingga tidak mengalami gejolak dan penolakan dari masyarakat? Ada pointer-pointer yang bisa diambil pelajaran dan diadopsi di Negara kita. Pertama, semua sekolah sama standar kualitasnya. Tidak hanya proses pembelajaran yang standarnya sama, tetapi fasilitas yang dimiliki sekolah juga sama. Kedua, Guru dirolling. Guru sangat profesional dalam mengajar dan bertanggung jawab dalam tugasnya. Bahan ajarnya banyak, retorika mengajarnya tidak membosankan dan mereka kadang bekerja sampai malam untuk mempersiapkan keperluan mengajarnya. Seluruh guru memiliki kompetensi dalam mengajar dan bekerja tidak asal-asalan. Para guru itu dan juga kepala sekolah dirolling ke semua sekolah. Dengan demikian tidak ada di satu sekolah gurunya bagus dan di sekolah lain tidak bagus. Ketiga, infrastruktur sangat mendukung. Orang tua tidak merasa cemas melepas anaknya yang baru berusia 6 tahun berjalan kaki sejauh 1-2 KM ke sekolah karena tersedia jalan khusus untuk pejalan kaki. Jika ada penyeberangan, ada lampu merah yang berfungsi dengan baik dan ditaati oleh seluruh pengendara.
Penutup
Problem klasik terkait dengan proses perencanaan dan implementasi kebijakan—termasuk dalam bidang pendidikan—di Negara kita adalah masih berputar pada 3 (tiga) persoalan. Pertama, elitis. Kebijakan itu dibuat dan ditentukan oleh kalangan tertentu, bahkan kesannya sentralistik. Kedua, terjadi distorsi, sebuah pembahasan dan keputusan kebijakan yang dibuat dengan proses yang panjang dengan cost yang cukup mahal sering kali terjadi distorsi dalam implementasinya, Ketiga, instant. Seringkali kebijakan di kita dibuat dengan terburu-buru dengan tanpa kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan segala dampak dan konsekuensi dari sebuah keputusan dari kebijakan tersebut.
Semoga kebijakan system zonasi dalam PPDB juga tidak terjebak pada persoalan proses perencanaan dan implementasinya yang hanya memunculkan persoalan baru dan keresahan di tengah masyarakat.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu