Allahu Akbar3x
Hadirin Rahimakumullah,
Hari ini kita beridul adha, untuk kembali menegaskan bahwa kita adalah ummat yang satu. Ummat yang diikat dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam, persaudaraan kita juga 'laksana saudara sekandung' karena kita diikat dengan iman yang sama. Itulah kenapa Kata Prof. Quraish Shihab dalam al-Quran disebut dengan innama al-mukminuna ikhwatun. Ikhwah bermakna saudara sekandung. Duka ummat Islam dimanapun adalah duka kita, bahagianya mereka juga bahagianya kita.
Dalam konteks demikian, agaknya kita menemukan momentum yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, dengan berakidah yang benar dan merealisasikan akidah itu dalam bentuk 'pengorbanan' apapun yang kita miliki kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan —dengan tanpa melihat paham dan golongan mereka. Inilah yang diperlihatkan oleh panutan kita, rasulullah saw yang tidak hanya menyampaikan risalah, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan keseharian dan ini pula yang dipragmentasikan oleh khalilullah, nabi Ibrahim as yang konsisten untuk mencintai Allah dan segala perintahnya di atas segalanya— termasuk kebahagiaannya bersama keluarga—yang bersifat semu dan sementara.
Hadirin Rahimakumullah,
Sekali setiap tahun, jauh disuatu tempat dipadang pasir Arabia, sekelompok ummat Islam berdesak-desak melempar jumrah di Mina. Jutaan manusia dengan pakaian yang sudah lusuh, dengan rambut yang penuh debu, dengan keringat yang membasahi tubuh, berkumpul di sebuah tempat yang kecil.. Iring-iringan manusia bergerak sejak jumratul ula, Jumratul wustha, sampai jumratul Aqobah. Kelihatan jutaan tangan terangkat dan batu-batu kecil menghambur, sementara angkasa mina bergemuruh dengan suara takbir. Dalam lautan manusia yang begitu dahsyat, tangan-tangan pelempar tampak begitu kecil, tetapi dalam gerakan serentak, tangan-tangan kecil ini membentuk konfigurasi kekuatan raksasa yang menakjubkan, dalam bahasa Jalaluddin Rakhmat disebutnya sebagai suatu kesatuan ummah yang berpadu dalam akidah dan ibadah.
Tidak jauh dari Mina, terletak Arafah, suatu padang pasir yang membentang lengang sepi dan tanpa warna, selain bukit-bukit batu yang muncul di sana-sini, Pada 9 Dzulhijjah, ketika mereka berkumpul disana, Arafah dipenuhi kemah yang beraneka ragam. Hampir dua juta manusia datang kesitu. Pagi-pagi mereka berkeliaran; sebagian mendaki Jabal Rahmah mengenang perilaku Nabi Muhammad SAW., sedangkan sebagian lain berjalan-jalan sekedar menyaksikan pesona konferensi umat manusia seluruh dunia. Tetapi, ketika matahari mulai tergelincir, azan duhur mulai dikumandangkan, seluruh manusia menghentikan semua kegiatanya selain tahmid, tahlil dan takbir. Mulut-mulut yang semula bicara dengan berbagai bahasa, sekarang bergema dengan ucapan yang sama.
Pada saat itulah menurut Rasulullah SAW., Allah SWT turun ke langit dunia membanggakan jamaah haji di hadapan para malaikatNya.
"Hamba-hamba-Ku datang pada-Ku dengan rambut kusut dan penuh debu dari sudut-sudut negeri yang jauh, tiba disini mengharapkan surga-Ku. Sekiranya dosamu sebanyak bilangan pasir, atau sejumlah butiran hujan, dan gelembung lautan, Aku akan mengampuninya. Berangkatlah hai hamba-Ku dengan ampunanKu atasmu.''
Inilah wuquf di Arafah, inilah inagurasi jamaah haji, inilah saat yang mendebarkan dalam seluruh perjalanan mereka yang suci. Tidak jarang, di sela-sela suara talbiyah, terdengar isakan tangis anak manusia yang menyadari dosa-dosanya yang lalu. Begitu sucinya peristiwa ini, sehingga kalau ada orang yang meninggal di Arafah, kelak di hari akhir, ujar Rasulullah SAW. "Dia akan dibangkitkan dengan pakaian hajinya; dia akan bangun seraya mengucapkan: labbaik, allahumma labbaik agar dikiranya ia berada di Arafah."
Suara talbiyah sudah bergema sejak tanggal 8 Dzulhijjjah, ketika rombongan jamaah haji meninggalkan Makkah menuju Arafah. Saat itu para penumpang bis, pemakai taksi, atau pejalan kaki sepanjang jalan tidak henti-hentinya berdzikir: labbaik; allahumma labbaik. labbaikla syarika laka, labbaik. Innal-hamda wanni'mata lakawal-mulk, lasyarikalaka. (kami datang memenuhi panggilanMu, kami dating memenuhi panggilan-Mu; ya Allah kami datang memenuhi panggilan Mu. Tidak ada sekutu bagiMu; sesungguhnya segala pujian, karunia dan kekuasaan semua kepunyaan-Mu).
Hadirin Rahimakumullah,
Jamaah haji dari bermacam-macam bangsa dan bahasa sekarang berzikir dengan bahasa yang sama. Pakaian mereka pakaian ihram yang sama. Laki-laki semua memakai pakaian yang putih, tidak berjahit dan membuka setengah dada. Tidak ada beda raja dengan hamba sahaya, pembesar dengan rakyat jelata, sarjana dengan orang biasa. Semua gelar kebanggaan yang sering digunakan untuk merendahkan orang sekarang ditinggalkan; segala pakaian, kekayaan yang sering ditampakan untuk melukai , sekarang dilepaskan, seluruh pangkat kebesaran yang sering ditonjolkan untuk menakut-nakuti orang, kini dilemparkan. Semua sama di hadapan Allah Rabbul'Alamin, semua kecil didepan penguasa alam semesta.
Inilah puncak dari seluruh perjalanan haji. "Al-Hajju 'Arafah" sabda Nabi saw. Haji itu Arafah. Jutaan manusia dari berbagai bangsa, minkullifajjin 'amiq, dari seluruh pelosok dunia, berbaiat suci dihadapan hadirat Ilahi. Seribu empat ratusan tahun yang lalu, jumlah manusia yang berkumpul di situ hanya sekitar 140ribu orang saja.
Tapi diantara mereka ada seorang manusia yang merupakan penghulu dari seluruh umat manusia, bahkan penghulu dari seluruh ciptaan Tuhan. Manusia paling mulia itu menambatkan ontanya, Al-Qashwa, di bukit Namirah.
Mengutip tulisan Prof. Jalaluddin Rakhmat, ketika matahari sudah tergelincir, di tengah hari, dalam panas terik yang membakar, manusia suci itu menuruni lembah Arafah. Al-Qashwa menjulurkan lehernya dan mendongakkan kepalanya menunjukkan kebahagiaannya karena di punggungnya ada manusia besar yang diciptakan hanya untuk menyebarkan kasih sayang di seluruh alam semesta. Ratusan ribu manusia menyaksikan dengan seksama langkah-langkah kaki onta yang bergerak dengan anggun, menyibakkan kerumunan manusia yang menyemut. Dipusat lembah itu, ia berdiri seperti sebuah gemintang di tengah-tengah galaksi. Ratusan ribu manusia tidak henti-hentinya memandang wajah Nabi saw yang penuh kasih.
"Ayyuhan Naas." terdengar Rasulullah saw berkata, dengan suara yang lembut tapi terdengar jelas. Beberapa orang sahabat ditempat-tempat yang berbeda mengulang kembali sabdanya, bersahut-sahutan, menggemakan suara lembut itu keseluruh Arafah. "Isma'u qawli. Fa inni la adri la'alli alqaakum ba'da' aami haadzaa bi hadza mawqif abadan. " (Dengarkan baik-baik pembicaraanku. Karena sungguh aku tidak tahu apakah aku bisa berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini untuk selama-lamanya).
Kemudian ia berhenti sejenak, menarik nafas panjang, dengan butir-butir air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Ia memandangi para pengikutnya, sekali lagi dengan tatapan penuh kasih.
Ayyuhan Naas, ayyu yawmin hadza? Tahukah kalian hari apakah ini? Yawmun haram. Hari yang suci (Gemuruh suara ratusan ribu manusia) Ayyu baladin hadza? Negeri apakah ini? Baladun haram! Negeri yang suci. Ayyu syahrin hadza? Bulan apakah ini? Syahrun haram. Bulan yang suci.
Fa inna dima-akum wa amwalakum wa a'radhakum 'alaikum haram kahurmati yawmikum hadza fi baladikum hadza fi syahrikum hadza. Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian sama sucinya dengan sucinya hari ini, negeri ini dan bulan ini. Tidak boleh darah manusia ditumpahkan; tidak boleh hartanya dihancurkan; tidak boleh kehormatannya dijatuhkan.
Fa a'adaha miraran. Rasulullah saw mengulang berkali-kali sabdanya.
Kemudian ia memandang lagi para sahabatnya. Tahukah kamu siapa yang disebut Muslim? Al-Muslimu man saliman Nasu min lisanihi wayadih. Seorang Islam ialah orang yang seluruh manusia tidak pernah diganggu dengan lidah dan tangannya, kata Nabi yang mulia.
Lalu Nabi bertanya lagi, “Tahukah kamu siapa yang disebut mukmin?” Al-Mu 'minu man aminan Nasu fi amwalihim wa anfusihim. Seorang mukmin ialah orang yang mendatangkan rasa aman pada orang lain dalam hartanya dan dalam (kehormatan dan kehidupan) dirinya.
Kemudian manusia yang paling santun ini mengangkat kepalanya. Allahumma hal balaghtu! Ya Allah, apakah aku sudah menyampaikan risalahMu? Ia menghadapkan lagi wajahnya kepada ratusan ribu para pendengarnya: Hal balaghtu! Apakah aku sudah menyampaikan risalah Tuhanku! Balaghta ya Rasulallah! Engkau sudah menyampaikannya, Wahai Utusan Allah! Fal yuballighisy syahidul ghaib. Hendaknya yang hadir sekarang ini menyampaikannya kepada yang tidak hadir.
Dengarkan apa kalimat terakhir dari wasiatnya yang terakhir: La tarji'u ba'di kuffaran yadhribu ba'dhukum riqaba ba'dhin. Janganlah kamu kembali kafir, yakni kamu saling memerangi diantara kamu!
Menurut Rasulullah saw, kita disebut kafir kalau kita memerangi sesama kita, kalau kita saling memukul kuduk-kuduk kita. Kalau kita saling mengkafirkan hanya karena beda interpretasi. Memutlakan pandangan dan interpretasi sendiri masuk kategori musyrik menurut Prof. Nurchalish Madjid, karena sudah mensejajarkan diri dengan Tuhan, karena yang mutlak/absolut kebenarannya hanya Tuhan. Dahulu, Rasulullah saw mendefinisikan orang yang tidak beriman sebagai orang yang tidak mendatangkan kedamaian kepada sesama manusia; atau orang yang tidak peduli dengan penderitaan sesamanya, yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya; atau orang yang suka memaki, melaknat, berkata kasar, dan menusuk hati. Rasulullah saw mendefinisikan kekafiran dan ketidakberimanan sebagai akhlak yan gburuk.
Bagi kita sekarang suara Sang Nabi saw terdengar asing dan aneh. Mungkin terlalu jauh jarak yang memisahkan kita dengan dia. Mungkin rentangan zaman yang panjang telah membuat suaranya terdengar sayup-sayup saja. Sekarang kita mendefinisikan kafir sebagai orang yang tidak seagama dengan kita, bahkan tidak sepaham dengan kita, bahkan tidak satu golongan dengan kita. Sehingga kalau orang itu kita anggap kafir, kita halalkan darahnya, kehormatannya, dan hartanya. Suara Nabi saw adalah suara kasih sayang. Suara kita sekarang adalah suara kebencian!
Menurut Nabi saw, seorang Muslim tidak akan pernah menggunakan lidah dan tangannya untuk menyakiti siapa pun. Ia menamakan pengikutnya Muslim, yang artinya selain orang yang pasrah kepada Allah SWT., juga orang yang mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan kepada orang-orang di sekitamya. "Inginkah kamu menjadi orang-orang yang saling mencintai? Ufsyus salam baynakum. Sebarkan kebahagiaan, keselamatan diantara kalian. Seorang Muslim, dalam makna nabawi, dalam definisi profetik, adalah orang yang misi hidupnya adalah menebarkan kebahagiaan, keselamatan!
Bagi kita sekarang suara Sang Nabi saw terdengar asing dan aneh. Mungkin terlalu jauh jarak yang memisahkan kita dengan beliau. Mungkin rentangan zaman yang panjang telah membuat suaranya terdengar sayup-sayup saja. Sekarang kita mendefinisikan Muslim sebagai orang yang satu agama dengan kita, bahkan yang sepaham dengan kita, bahkan yang satu golongan dengan kita.
Sehingga keramahan kita, pertolongan kita, penghormatan kita, perhatian kita hanya kita berikan kepada orang-orang yang segolongan dengan kita. Muslim yang dahulu berarti orang yang menyebarkan kebahagiaan kepada semua orang, sekarang berarti orang yang menyebarkan kebahagiaan diantara orang yang segolongan dengan dia. Agama Rasulullah saw adalah agama yang inklusif. Agama kita adalah agama yang eksklusif. Islamnya Rasulullah saw adalah Islam yang "rahmatanlil 'alamin", kasih saying untuk seluruh umat manusia. Islam kita adalah Islam yang"rahmatan lil muslimin" saja, bahkan"rahmatan lith-thai-ifiyyin" (kasih sayang untuk kelompok kita saja, golongan kita, paham kita, partai kita).
Ajaran inilah yang disampaikan Rasulullah SAW., ketika pertama kali dating di kota Madinah sebagai mana dituturkan oleh Abdullah bin Salam;
Afsyussalam wa ath 'imuththa'am wa athibulkalam wa shilul arham wa shalluu billaili wannasu niyamin.... (sebarkan salam, keselamatan, kebahagiaan, berikan makan kepada yang lapar, lembutkan perkataan, sambung silaturrahim, shalat malam disaat yang lain tidur) kata Nabi lebih lanjut ya dhulunaljannah bisalamin (maka akan masuk surga dengan penuh keselamatan, kebahagiaan).
Hadirin Rahimakumullah,
Inilah keselamatan, kebahagiaan yang sesungguhnya, keselamatan dan kebahagiaan untuk semua, bukan hanya untuk golongan. Kebahagiaan, keselamatan yang diajarkan oleh ajaran haji dengan menanggalkan apapun untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan bersama dan menuju Allah SWT.
Ajaran ini yang disebut oleh Gus Dur dengan terma kosmopolitanisme; peradaban Islam yang muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik—yang tidak hanya bicara persoalan hukum tetapi juga nilai-nilai humanitas secara universal—yang dalam bahasa Prof. Said Aqil Siradj inilah yang dimaksud dengan Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Agak ekstrern memang, ketika beliau mengatakan, di tengah kemajemukan, multikultur, etnis dan agama, justru persaudaraan kebangsaan lebih penting didahulukan daripada persudaraan sesama kaum muslimin.
Barakallahu lii walakum fil quranil ‘adhim, wana fa’ani waiyyaakum bimaa fiihi minal aayaati wa dzikril hakim wataqabbala minnii wa minkum tilawatuhu, innahu huwal ghafururrahim