Musibah Covid-19; Pola Makan & Perintah Puasa Perspektif Islam
Ilustrasi Puasa (Gambar cnnindonesia.com) |
Musibah Covid-19; Pola Makan & Perintah Puasa Perspektif Islam
Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I
(Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurhjati Cirebon)
Pendahuluan
Sudah setahun berlalu, Ramadhan dan Iedul fithri tahun ini—ada kemungkinan—kita juga diperhadapkan pada situasi yang sama, berada dalam bayang-bayang pandemi Covid-19. Covid-19, diskursus dan diskusinya sangat menguras tenaga, pemikiran dan anggaran bahkan memasuki wilayah agama. Ramadhan dan Iedul fithri tahun ini kelihatannya masih banyak di antara saudara-saudara kita—terutama yang berada di wilayah zona merah dan tenaga medis—harus memendam kerinduan yang membuncah dalam hati berbalut rasa cemas untuk mudik, pulang kampung bertemu, shilaturrahim dengan orang tua, anak, saudara-saudara dan handai taulan yang kadang tidak tergantikan dengan apapun.
Mudik, pulang kampung sebagai gejala psikologis akan dialami oleh siapapun sehingga mengadaptasi pandangan Nurchalish Madjid dalam bahasa Inggris disebutnya dengan go home bukan go house dan pulang yang hakiki adalah ketika innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun, kembali keharibaan yang sang pemilik sejati, Allah SWT. Karena tidak ada yang hidup selamanya, aku ingin hidup seribu tahun lagi—kata Chairil Anwar—yang dalam al-Quran disebutnya yawaddu ahadukum law yu’ammaru alfa sanatin.
Musibah Pandemi Covid-19; Perspektif Islam
Virus Corona adalah musibah di abad modern atas kemanusiaan. Dalam perspektif agama, kata musibah—bermakna mengenai, menimpa—karena sesuatu itu terjadi tidak menyenangkan yang menimpa manusia.
Jika virus Corona ini dianggap sebagai keburukan atau petaka. Dalam al-Qur’an ada terma musibah, bala’, ‘azab, ‘iqab dan fithnah—yang memiliki implikasi berbeda. Musibah menurut Quraish Shihab dapat berimplikasi bahwa; Pertama, musibah diakibatkan ulah manusia; kedua, musibah terjadi karena izin Allah; Ketiga, bertujuan untuk menempa manusia supaya tidak berputus asa.
Sedangkan kata bala’ memiliki hakikat makna antara lain; Pertama, ujian sebagai keniscayaan hidup; Kedua, anugerah/nikmat; Ketiga, cara Tuhan mengampuni dosa, menyucikan jiwa, meninggikan derajatnya.
Lalu bagaimana dengan Covid-19 dan korbannya? Dengan memperhatikan bahwa yang menderita dan atau meninggal adalah banyak juga orang terindikasi baik—tidak berdosa—dan bagi mereka yang masih hidup, maka lebih tepat dikatakan bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas ‘keimanan’ mereka. Adapun yang meninggal tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk virus Corona itu, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan. Mengingat dampak dari virus Corona juga tidak hanya menimpa penduduk China, bahkan sudah ke berbagai Negara yang penduduknya—tidak melakukan pola makan yang dilakukan seperti di China—yang menurut Arab Saudi yang menghentikan sementara visa umroh ada 23 negara yang terpapar virus Corona di luar China, Taiwan, dan Hongkong.
Dalam alodokter.com disebutkan Virus 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini pertama kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan cepat dan telah menyebar ke wilayah lain di Cina dan ke beberapa negara.
Coronavirus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti pneumonia, Middle-East Respiratory Syndrome (MERS), dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Virus Corona adalah jenis virus baru yang dengan cepat menjadi masalah serius kesehatan dunia. Terlepas dari diskursus teori konspirasi. Kompas.com melansir bahwa dugaan sementara virus Corona di Wuhan berasal dari kelelawar. Sup kelelawar merupakan sebuah hidangan popular di kota Wuhan. Menurut Media Daily Star yang dikutip Tempo.com sup kelelawar mungkin bisa disalahkan menjadi penyebab virus Corona. South China Morning Post Pasar Makanan Laut Huanan yang juga dikutip Kompas.com merupakan pasar yang menjadi sumber wabah virus ini. Di Pasar ini dijual 100 varietas hewan dan ungags hidup, mulai dari Rubah hingga Serigala, Musang bertopeng, Kepiting Udang, Kura-Kura, Ular, Tikus, Landak Burung, dan lainnya. Di Wuhan China juga ada sekitar 10 ribu anjing liar yang dimakan setiap tahunnya di Festifal Yulin Gong. Kemudian memakan darah babi beku, dan makan ular menjadi hal yang biasa di China. Sup ular menjadi symbol kekayaan, keberanian, dan kehormatan. China memiliki pola hidup yang liberal, mengkonsumsi makanan yang langka dan tak biasa sudah dianggap sebagai identitas status social yang tinggi.
Pola Makan; Perspektif Islam
Dengan ilustrasi pola hidup yang difragmentasikan orang China yang ekstrim, patutlah diambil ibrah—pelajaran—bahwa ketika Tuhan mengharamkan makanan yang menjijikkan, bertaring, apalagi babi yang secara sharih diharamkan dan sejenisnya—apalagi bagi seorang Muslim, sejatinya untuk memuliakan manusia. Sebab haram bermakna mulia, itu kenapa pola makan manusia diatur dengan regulasi melalui wahyu; “kuluu mimmaa fi al-ardhi halalan thayyiban, walaa tattabi’uu khuthuwati al-syaithan innahuu lakum ‘aduwwun mubiin” (Makanlah kamu semua apa-apa yang ada di muka bumi yang halal lagi bergizi dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syetan. Karena sesugguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”) (QS. 2: 168).
Pertanyaannya kenapa pola makan manusia diatur? Jawabannya sederhana karena manusia cenderung serakah—dan itu tidak layak dilakukan oleh manusia sebagai khalifah/pemimpin di dunia ini—sementara pada hewan pola makannya tidak diatur oleh wahyu, karena hewan memiliki pola insting, carnivora tidak akan berubah menjadi herbivora demikian pula sebaliknya. Sebagai seorang khalifah Allah di muka bumi, maka performanya—termasuk pola makannya, harus lebih baik dari yang dipimpinnya.
Syetan akan selalu membuat jebakan baru melalui pola makan ini agar manusia terseret ke dalam langkah-langkahnya. Berapa banyak di antara kita yang berkelahi, berebut jabatan, bermusuhan, memutarbalikkan yang halal menjadi haram. Kebenaran menjadi ‘abu-abu’, bahkan syetan memunculkan permusuhan dan pembunuhan sampai kepada peperangan dalam mempersoalkan ‘makan’ ini. Pola hidup yang serakah dan berlebihan pada manusia ini yang—pada konteks agama—mengundang ‘murka’ Allah.
Walau menurut Quraish Shihab tentang azab dan murka Allah ini masih perlu diperdebatkan. Menurutnya sebagai orang beragama yang percaya akan keesaan Allah dan kasih sayang-Nya yang dilukiskan-Nya sendiri sebagai mengalahkan amarah-Nya, maka semua ungkapan di atas tidaklah hawatir terlintas dalam benak, lebih-lebih dari seseorang yang berprasangka baik kepada Tuhan.
Islam tidak hanya mengatur pola makan bagi manusia—terutama muslim—untuk mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik. Tetapi lebih dari itu pada seorang muslim juga diperintahkan untuk melakukan proses pengendalian diri kapan saatnya yang halal boleh untuk dimakan dan kapan saatnya untuk ditunda sementara, melalui syariat puasa. Seorang muslim dituntut untuk taat azaz dengan berpuasa sebulan penuh, karena kalau hanya satu, dua hari cenderung kamuplase.
Syariat Puasa; Dimensi Memanusiakan
Dalam Islam, syariat puasa yang diteruskan dan diperkuat melalui puasa ramadhan—yang puasa ini juga dilakukan ummat terdahulu—sebagaimana dituangkan dalam QS. 2: 183. Dalam puasa Ramadhan, manusia yang beriman dituntun untuk bukan hanya makanlah yang halal lagi bergizi. Tetapi manusia yang beriman juga ditarbiyahi untuk kapan saatnya yang halal dan bergizi itu harus ditunda dulu untuk sementara. Ini berarti mangandung makna pengendalian diri, bukan hanya terhadap barang yang haram saja. Tetapi juga mampu mengendalikan diri terhadap barang yang halal dan bergizi dalam konteks taat kepada Allah.
Dengan demikian, manusia yang beriman diajak untuk lebih meningkatkan diri menuju tingkat kemuliaan selaku khalifahNya di muka bumi. Syariat yang diturunkan di sini bukan hanya sekedar menahan 14 jam dalam siklus waktu sehari semalam, tetapi secara terus-menerus dilaksanakan selama satu bulan untuk mendapatkan tingkat kontinuitas dan konsistensi yang tinggi selaku khalifah. Sebab kalau dilakukan dalam kurun waktu sehari saja, manusia cenderung bersifat semu dan penuh kepura-puraan. Tetapi dengan syariat selama satu bulan secara terus-menerus ini manusia dituntun untuk selalu taat azaz.
Inilah karakteristik orang yang bertaqwa. Karena itu, maka di ujung akhir ayat perintah puasa Ramadhan itu disebutkan agar kita menjadi orang yang bertaqwa; “Yaa Ayyuha al-ladzinna aamanuu kutiba ‘alaikumu al-shiyamu kamaa kutiba ‘ala alladina min qablikum la’allakum tattaquun” (Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertaqwa). (QS. 2: 183)
Dalam melaksanakan syariat puasa juga kita barengi dengan qiyamu al-lail serta membaca dan mengkaji ayat-ayat al-Quran.
Menurut para ahli kesehatan, salah satu cara terbaik melawan Covid-19 adalah dengan meningkatkan imunitas. Daya tahan tubuh antara lain dapat diperoleh dengan membaca al-Quran. al-Quran adalah syifa’, obat—dan tentu juga dibarengi dengan pola hidup sehat, makanan dan minuman dan vitamin lainnya.
Membaca al-Quran itu membuat pembacanya menjadi tenang. Ketenangan—dari sisi kejiwaan—akan menjadi daya imunitas tubuh melawan serangan penyakit.
Dengan mengadopsi bahasa Ahmad Syaikhu untuk memperkuat pandangan ini misalnya menyodorkan hasil riset ahli penyakit jantung dan direktur lembaga pendidikan dan penelitian kedokteran Islam di AS. Ada 210 pasien sukarela selama 48 kali pengobatan yang dibarengi dengan pembacaan al-Quran atau memperdengarkannya. Hasilnya, 77% dari sample acak yang terdiri dari muslim dan non-muslim menampakkan adanya gejala pengenduran syaraf yang tegang dan selanjutnya menimbulkan ketenangan jiwa. Semua gejala tersebut direkam dengan alat pendeteksi elektronik yang dilengkapi dengan komputer untuk mengukur setiap perubahan yang terjadi dalam tubuh selama pengobatan.
Masih menurut Ahmad Syaikhu yang juga mengutip pandangan al-Qadhi, berkurangnya ketegangan syaraf ini mampu mengaktifkan dan meningkatkan daya imunitas tubuh dan memperoleh proses kesembuhan pasien. Syaikhu bahkan menyodorkan fakta—seperti dilansir Gatra—seorang pasien berinisial ‘J” dari kabupaten Majene, Sulawesi Barat, yang sebelumnya dinyatakan positif Covid-19. Setelah menjalani perawatan di ruang isolasi RSUD Sulawesi Barat kondisinya semakin membaik. Bahkan pihak rumah sakit menyatakan bahwa dari hasil uji lab. Swab pasien dinyatakan negatif. Selain ikhtiar medis yang wajib dilakukan, yang bersangkutan menurut sejumlah staf RSUD, juga rajin membaca al-Quran dan shalat lima waktu.
Penemuan seperti ini semakin menegasikan tentang i’jaz al-Quran, bahwa al-Quran adalah obat sebagaimana yang disebutkan dalam QS. 17: 82. “Wa nunazzilu min al-Quran maa huwa syifaa-un wa rahmatun li al-mukminiina wa laa yaziid al-dhaalimiina illaa khasaaraa” (Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar/obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dhalim selain kerugian).
Penutup
Demikianlah, mudah-mudahan kita berdoa hanya bersandarkan kepada Allah SWT., sambil selalu berihtiar dan berintrospeksi. Semoga Covid-19 ini segera diputus mata rantainya, ditemukan obat penawarnya dan dihilangkan dari muka bumi ini sehingga kita bisa hidup normal kembali.
Daftar Pustaka
alodokter.com
Duryat, Masduki et.al., 2020. Covid-19 Bencana Kemanusiaan, Yogyakarta: K-Media
kompas.com
Madjid, Nurcholish, 1995. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina
------------------------, 1997. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina
Quraish Shihab, M., 2008. Lentera Al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan
------------------------, 1992. “Membumikan” al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan
------------------------, 2006. Menabur Pesan Ilahi, al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Ciputat: Lentera Hati
tempo.com