Negeri Para Badut
Ilustrasi Badut (Gambar Kompasiana.com) |
Oleh: Masduki Duryat*)
Korupsi itu kejahatan luar biasa—extra ordinary crime—yang oleh Abraham Samad, Ketua KPK periode 2011-2015 disebutnya tumbuh dan berkembang seiring dengan laju peradaban manusia. Korupsi pada pandangannya muncul karena laku manusia yang mengalami ‘deviation’—penyimpangan—disebabkan oleh syahwat materi yang tidak pernah terpuaskan, yang menyebabkan korupsi sangat sulit untuk diberantas. Mengapa? Karena manusia dan korupsi adalah dua senyawa yang sulit untuk dipisahkan. Berangkat dari satu sifat kekal manusia; keserakahan.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia oleh Dahlan Iskan dengan mengadaptasi bahasa Mc Walters—yang mengikuti dengan baik perkembangan korupsi di Indonesia—tentu dengan catatan KPK jangan dikerdilkan perannya dan tetap independen. Merupakan sebagian dari road map yang sudah dijalankan di Indonesia. Sebuah modal dasar menuju Indonesia yang relatif bersih dari korupsi.
Epidemi Korupsi
Penggalan lyrik lagu ‘Badut’ Bang Iwan Fals rasanya masih segar diingatan kita, ketika dilantunkannya;
Dut badut badut badut badut badut badut
Jaman sekarang
Mong omong omong omong omong omong omong omong
Sembarang
Di televisi
Di koran koran
Di dalam radio
Di atas mimbar
Nggut manggut manggut manggut manggut manggut manggut
Seperti badut
Ya iya iya iya iya iya iya
Ya iya iya
Peragawati peragawan
Senyam senyum seperti badut
Penyanyi dan pemusik
Bintang film nampang seperti badut
Ku aku aku aku aku aku aku
Seperti kamu
Mu kamu kamu kamu kamu kamu kamu
Seperti badut
Di televisi
Di koran koran
Di dalam radio
Di atas mimbar
Para pengaku intelek
Tingkah polahnya lebihi badut
Kaum pencuri tikus
Politikus palsu saingi badut
Lyrik lagu ini sedang difragmentasikan—terutama oleh oknum pejabat negara, kepala daerah, politik, penegak hukum, kalangan swasta—yang banyak terjerat persoalan hukum dan bakan terjaring OTT oleh KPK, belum lagi mereka yang selamat.
Prof. Marwan Mas bahkan sampai menyebutnya dengan epidemi yang sangat membahayakan karena semakin sulit dibendung. Kehidupan perikebangsaan semakin terancam disebabkan korupsi terjadi di hampir semua institusi negara—tidak hanya eksis di pusat pemerintahan, tetapi telah mewabah ke daerah—yang seperti air bah terus menerjang. Yang menghawatirkan, ada dugaan kuat telah terjadi ‘regenerasi koruptor’ secara apik. Hal ini ditandai dengan usia pelaku koruptor rata-rata masih muda dan energik. Karena energiknya, mereka dengan mudah mengeruk uang rakyat dalam jumlah besar dengan jalan memanipulasi secara apik kewenangan yang diberikan negara.
Salah satu yang ditengarai menjadi penyebab lahirnya generasi koruptor, karena hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu ringan dan tidak berefek jera. Perilaku korupsi yang melibatkan kaum muda, menyebabkan indeks persepsi korupsi Indonesia masih tetap mengecewakan, masih dicap sebagai negara terkorup di Asia, citra buruknya masih melekat. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), masih menempatkan Indonesia menjadi negara terkorup di Asia, demikian pula hasil yang dilaporkan oleh Masyarakat Transfaransi Internasional yang berbasis di di Berlin-Jerman. Indonesia menempati negara terkorup ke-4 di dunia dari 133 negara yang disurvei. Suryohadi Djulianto (Anggota TGPTPK) menyebut indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2008 hasil survei Transfaransi Internasional (TI) adalah 2,6 yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, sejajar dengan negara-negara terbelakang sebut saja misalnya Ethiopia, Uganda dan lainnya.
Korupsi juga kelihatannya menjadi sebuah style yang dicita-citakan. Fenomena ini dapat dilihat dari berbagai fakta yang diungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi, bahwa sejumlah kepala daerah yang menjadi terdakwa menyebut korupsi dilakukan lantaran menebus biaya politik dan labanya—politik balik modal—dyang dikeluarkan untuk membiayai dana kampanye dan politik uang. Demokrasi berbiaya tinggi (high cost) menjadi pemicu potensial bagi seseorang menyalahgunakan wewenang saat kekuasaan diraihnya. Walau dalam bahasa Evi Hartanti dari sederet faktor penyebab korupsi di posisi teratas dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika (moral dan intelektual) para pemimpin, yang pasti tindak korupsi tidak disebabkan oleh sebab tunggal.
Korupsi; Kasus Juliari Batubara
Perilaku korupsi yang sangat fenomenal saat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh Juliari Batubara—yang nota-benenya adalah Menteri Sosial—penanggungjawab bantuan yang sejatinya diperuntukan bagi rakyat yang menderita dan kurang beruntung dari sisi ekonomi—apalagi di era pandemi Covid-19—dengan tidak memperharikan moral dan emosi rakyat dikorupnya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Majalah Tempo menulis editorialnya minggu ini dengan bahasa “Kejinya Korupsi Bansos Menteri Sosial, Juliari Batubara”.
Ternyata Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial RI tidak menikmati sendiri fulus ratusan miliar rupiah hasil korupsinya. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan para saksi ada indikasi kuat sejumlah fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ikut menyalurkan duit haram itu untuk pemenangan beberapa calon dalam pemilihan kepala daerah yang baru usai.
Karena itu menurut redaktur Tempo, penahanan Juliari pada 6 Desember lalu harus dijadikan pintu masuk untuk mengungkap lebar jejaring pelaku korupsi dana bansos. KPK tidak boleh gentar, meski berhadapan dengan partai penguasa. Korupsi dana bantuan untuk masyarakat yang terempas krisis ekonomi akibat pandemi jelas merupakan kejahatan level tertinggi. Pelakunya tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga mengancam hidup banyak orang.
Penyidikan sementara menemukan bukti bahwa Juliari telah menyelewengkan posisinya sebagai Menteri Sosial untuk memungut sedikitnya Rp 10 ribu dari setiap kemasan bantuan sosial korban pandemi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebagian dana itu lalu digunakan buat membiayai berbagai keperluannya, termasuk menyewa jet pribadi untuk melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah.
Anggaran pemerintah untuk proyek bansos adalah Rp 300 ribu per kemasan untuk 21,6 juta kemasan yang dibagikan dalam 12 gelombang. Artinya, total nilai korupsi Menteri Sosial mencapai setidaknya Rp 216 miliar. Tapi, ada dugaan, korupsi Juliari sebenamya lebih dahsyat.
Penelusuran majalah ini menemukan bahwa nilai tiap kemasan bantuan sosial bisa jadi jauh lebih rendah dari Rp 300 ribu. Banyak penerima bantuan mengeluhkan buruknya kualitas beras, sarden, atau mi instan yang mereka terima. Biaya pembuatan tas bantuan yang dikerjakan PT Sritex, Solo, Jawa Tengah, pun terlalu mahal. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sempat menelusuri kejanggalan-kejanggalan ini.
Pengadaan bansos berbentuk barang pada masa krisis memang rentan dikorupsi. Banyak aktivis antikorupsi sudah mengingatkan pemerintah sejak awal. Kondisi pandemi yang serba darurat dimanfaatkan Juliari dan kelompoknya untuk berbagi-bagi jatah. Bukan hanya di hilir, dalam proses pengadaan bansos pun sejumlah perusahaan kepanjangan tangan politikus turut bermain. Ada kesaksian yang menyebutkan nama sejumlah elite PDIP yang menitipkan perusahaan tertentu agar mendapat jatah proyek. KPK harus menelusuri semua petunjuk itu.
Bagi banyak orang, kejahatan semacam ini mungkin tidak terbayangkan. Menteri Sosial yang semestinya menjadi penopang orang-orang papa justru mengkhianati warga yang seharusnya dia lindungi. Apalagi Juliari berasal dari PDIP, partai politik yang selalu mengklaim sebagai ''partai wong cilik”.
Juliari Batubara sedang memfragmentasikan peran dirinya sebagai badut-kah? Entahlah. Ada banyak variabel yang mempengaruhi dan kepentingan di sekelilingnya.
Keadilan Substantif; Sebuah Solusi
Marwan Mas, kembali mengingatkan untuk menindak kasus korupsi—apalagi dalam situasi darurat bencana—tidak hanya bisa diselesaikan dengan program-program anti-korupsi, legislasi dan penegakan hukum. Perlu tindakan progresif supaya para pelaksana hukum tidak terjebak pada prosedur formal dalam penanganan tindak korupsi, tetapi juga memperhatikan keadilan substantif, yaitu nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang memandang korupsi melanggar hak-hak sosial-ekonomi rakyat.
Dengan mengadaptasi Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 30/2020 tentang KPK, pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan kegiatan represif, preventif dan peran serta masyarakat.
*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu