Setan Gundul pun Bisa Jadi Pemimpin
Ilustrasi Setan Gundul (Gambar Tribun Jabar) |
Oleh: Masduki Duryat*)
Sistem demokrasi yang sedang didewakan sekarang, mulai banyak yang mempertanyakan. Triyono Lukmantoro, dalam tulisannya tentang “Demokrasi tanpa Integrasi Moral” dengan lugas memberikan statement, demokrasi memang menjengkelkan. Cara yang harus ditempuh memusingkan, hasil yang diraih jarang memuaskan.
Demokrasi tidak memberi kesejahteraan, tetapi justru melahirkan pertikaian dan pemiskinan. Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi dalam arena perpolitikan, ironisnya, dijerumuskan dalam keterasingan. Intinya, demokrasi hanya melahirkan absurditas, keadaan yang tidak bisa dimengerti dengan kejernihan nurani atau akal waras.
Bahkan Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhanas mempertanyakan; belakangan ini mulai berkembang pendapat demokrasi bukan sistem politik tepat untuk Indonesia. Pendapat itu terutama dinyatakan karena ada kesangsian apakah demokrasi yang digelorakan sejak Reformasi dapat menghasilkan perbaikan keadaan negara bangsa. Atau Indonesia malahan menjadi makin mundur dan kacau.
Kesejahteraan Rakyat di Atas Demokrasi
Keadaan itulah yang menjadikan demokrasi seringkali mendatangkan banyak kekecewaan. Kondisi buruk yang dihembuskan demokrasi diperparah elite politik dan aparat penegak hukum yang menunjukkan aksi-aksi keblunderan. Simak misalnya, keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan pengulangan pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan di Kabupaten Bone, Gowa, Tana Toraja, dan Bantaeng. Bukankah ini menjadikan ketidakpastian berakumulasi?
Banyak perilaku wakil rakyat tidak mencerminkan aspirasi pemilihnya. Bahkan, opini publik sengaja disingkirkan guna mencapai aneka kepentingan sesaat. Bagaimana mungkin wakil rakyat memilih seseorang yang kredibilitasnya diragukan untuk memimpin komisi yang berperan melibas korupsi misalnya? Itu hanya sebuah contoh nyata tentang betapa demokrasi amat mencederai perasaan rakyat. Kasus-kasus pencederaan nurani sejenis itu mudah ditampilkan sehingga membentuk statistik politik yang mengundang kegeraman.
Bukan kebetulan jika mantan Wapres Jusuf Kalla yang waktu itu juga ketua partai besar berujar, demokrasi cuma cara, alat, atau proses, dan bukan tujuan. Demokrasi boleh dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Inikah tanda-tanda zaman tentang kejenuhan dan kemuakan terhadap demokrasi? Jika elite politik diselimuti gejala kemualan terhadap demokrasi, bagaimana dengan rakyat yang telanjur percaya pada janji-janji manis demokrasi?
Demokrasi yang Mengecewakan
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos dan cratos. Demos berarti suara dan cratos rakyat. Menurut kamus Indonesia, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Sejarah mencatat bahwa demokrasi pertama kali muncul pada zaman kerajaan kota Athena pada masa Yunani kuno, yang mana memiliki jumlah penduduk yang hanya ratusan. Pada zaman ini setiap keputusan yang akan dibuat akan ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat kerajaan kota tersebut dengan cara mengumpulkan mereka di pusat kota Athena. Setelah itu, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tentunya system ini tidak akan kompetibel lagi untuk diterapkan pada tataran Negara, apalagi dunia yang memiliki jutaan bahkan miliaran manusia.
Kemunculan kembali ide demokrasi setelah sekian lama dilupakan adalah pada masa Renaissance: “rebirth” atau lahir kembali. Ide ini merupakan kepanjangan tangan dari ide sekularis, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Ide ini muncul setelah berabad-abad akal dikontrol dan dikendalikan oleh kekuasaan dan doktrin Gereja. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Gereja melahirkan berbagai penyimpangan. Para pemikir politik menjadikan demokrasi masa Yunani Kuno menjadi inspirasi dan dimunculkan kembali pemikiran-pemikiran di masa Yunani Kuno (Plato, Socrates, Aristoteles) sebagai alternatif solusi persoalan.
Tapi realitasnya sekarang sangat mengecewakan. Banyak orang yang berharap pada demokrasi akan menjadi alat penyelesaian setiap persoalan yang terjadi. Mulai dari level keluarga, sering kita mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa mendapat pendidikan dengan pola demokratis yang membebaskannya untuk mengambil keputusan akan membuat anak kreatif. Dalam dunia usaha terdengar ungkapan management haruslah mendengar pendapat dari level bawah atau dikenal dengan istilah bottom up, yang akan dianggap dapat meningkatkan sence of belonging (rasa kepemilikan) pada pegawai.
Rasa ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas pegawai karena mereka merasa terlibat dalam perencanaan target perusahaan. Begitupun dalam urusan politik pemerintahan, maka banyak yang mengharapkan penyelesaian pada ide suara kolektif atau dengan kata lain mengharapkan buah akal kolektif ini sebagai penyelesaian segala permasalahan. Dalam hal ini tidak akan kita ditemui standar yang pasti untuk setiap kebijakan yang dikeluarkan nantinya. Standar yang ada adalah standar kepentingan masing-masing perwakilan, baik untuk kepentingan partainya ataupun untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pemilu sebagai instrument demokrasi banyak dijadikan sebagai penilaian terhadap demokratis tidaknya sebuah negara. Indonesia berhasil mendapat anugrah medali demokrasi oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik) disebabkan telah berhasil menyelenggarakan Pemilu 2004.
Belakangan kita juga mendengar KPU mengusulkan dana sebesar 47,9 triliun sebagai biaya untuk penyelenggaraan Pemilu misalnya. Angka tersebut memang baru usulan, namun dapatlah menjadi gambaran untuk menilai betapa mahalnya untuk menerapkan satu instrument demokrasi ini. Belum lagi biaya pilkada di seluruh daerah hanya untuk menjalankan satu instrument demokrasi. Begitupula jika kita melihat banyaknya konflik yang terjadi setelah perhitungan suara pilkada keluar, perusakan fasilitas publik mewarnai media.
Selain mahal, demokrasi juga memprovokasi munculnya aliran sesat. Sejak tahun 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. Demokrasi menjadi angin segar bagi orang untuk mengungkapan interpretasi mereka terhadap agama tertentu atas nama kebebasan berpendapat.
Selain masalah di atas, umum diketahui bahwa dalam demokrasi, kebijakan yang dibuat adalah semata-mata buah dari pemikiran manusia. Alhasil, produk dan rancangan undang-undang yang telah dihasilkan setidaknya menjadikan Indonesia berada di tepi jurang kehancuran. Mulai dari disintegrasi, yang mana daerah dengan batas-batas teritorial tertentu hanya memikirkan wilayahnya sendiri, komersialisasi pendidikan dan kesehatan, usaha pelegalisasian aborsi atas nama RUU Kesehatan Reproduksi dengan dalih kebebasan berprilaku, maraknya perampokan SDA atas nama investasi asing dengan legalisasi UU Penanaman Modal Asing dengan dalih kebebasan berkepemilikan, dan lain sebagainya.
Sampai sini diperlukan, pemimpin dan wakil rakyat di parlemen yang akan mampu menjembatani keinginan dan nafas rakyat, dengan penuh kejujuran, kemampuan berkomunikasi dan sikap keberpihakan.
Kelihaian elite politik dalam bersilat lidah harus dipatahkan. Mekanisme yang dapat dijalankan adalah dengan melakukan evaluasi terhadap kemampuan elite politik dalam berkomunikasi. Sebab, demokrasi berproses dalam diskursus. Tetapi, diskursus dalam demokrasi tidak identik adu mulut penuh kekosongan.
Diskursus yang berlangsung dengan pemakaian bahasa itu, seperti ditegaskan Jurgen Habermas harus memuat empat klaim, yakni kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Jika salah satu klaim tidak terpenuhi, proses yang terjadi bukanlah komunikasi, tetapi manipulasi.
Krisis Kepemimpinan
Klaim kejelasan, kebenaran, kejujuran dan ketepatan sebagai instrumen komunikasi bukan manipulasi ada pada kepemimpinan yang efektif. Kepemimpinan yang melayani.
Pemimpin itu hakikatnya melayani, bukan dilayani. Pelayan dari mereka yang memilih atau yang tidak memilihnya.
Ia pelayan bagi masyarakatnya, tanpa pandang bulu. Konsep melayani—to servant—tidak lebih mulia ketimbang dilayani.
Karenanya, menjadi pemimpin itu tidak boleh sombong, arogan. Kata Nabi dalam sebuah perjalanan, 'pemimpin sekelompok orang adalah pelayan mereka'.
Kritik Burn menarik untuk direnungkan, kalau kita sepakat adanya krisis kepemimpinan. Hal itu terjadi karena tidak adanya pemimpin yang menonjol—mediocrity—biasa-biasa saja. Tidak menunjukkan kapasitas intelektual yang memadai, sehingga kita sering menemukan banyak pemimpin tanpa kepemimpinan, kekuasaan tanpa kuasa.
Yasraf Amir Pilialang kemudian memperjelas, kekuasaan tanpa kuasa merupakan sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau bahkan konsep tanpa realitas.
Jangan mengandalkan kesombongan untuk menutupi kelemahan, ingin dilayani, antikritik, bermental feodal untuk mempertahankan kekuasaannya dengan menghalalkan segala cara. Kalau ini yang dilakukan tidak hanya Petruk saja dalam kisah inovasi pewayangan, bisa jadi Raja. Tapi meminjam bahasa Nurcholish Madjid, karena kita telah mengalami demokrasi ... setan gundul pun, kalau jadi Presiden/gubernur/bupati/camat/kuwu pilihan rakyat, apa mau dikata.
Demokrasi telah memberi ruang—demokrasi elektoral—itu, bisa dijelaskan dari konteks benere wong akeh, kebenaran (politik) orang banyak, termasuk munculnya setan gundul—orang yang bertabiat buruk—jadi pemimpin.
*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Wirapanjunan, Kndanghaur Indramayu