Tangis Pilu Guru Honorer; Pengabdian yang Tak Sebanding Nasibnya
Ibu Imas dari Karawang (Gambar Kompasiana.com) |
Oleh: Masduki Duryat*)
Pada pelaksanaan tes PPPK 2021 beberapa waktu yang lalu, menyisakan kepedihan dan tangis pilu dari guru honorer.
Betapa tidak harapan yang ditawarkan pemerintah, dan persiapan yang matang—termasuk belajar mandiri—sudah dilakukan, ambyar begitu melihat realitas passing grade tidak bisa diraih. Pecahlah tangis guru honorer ini ketika nilai terpampang jelas di layar monitor, lalu terdiam seribu bahasa.
Di antara mereka—peserta tes—banyak yang sudah berusia di atas 35 tahun, bahkan konon ada yang berusia 58 tahun. Nasibnya tidak seindah dan sebanding dengan pengabdiannya.
Surat terbuka yang ditulis oleh salah satu pengawas ruangan tes, semakin menegasikan bahwa kepiluan itu tidak disertai kehadiran negara untuk membela mereka.
Tangis Pilu Guru Honorer dan Surat Terbuka
Kepiluan itu tergambar betul pada surat yang ditulis secara terbuka Novi Khassifa ini;
Yang terhormat
Mas Menteri Nadiem Makarim
Tak adakah rasa ngilu di dalam dada Mas Menteri melihat sepatu tua yang lusuh ini?
Memang benar sepatu tua ini terlihat bermerek, tetapi tahukah ini hanya sepatu loak apkiran.
Tahukah Mas Menteri,
Sepatu ini telah dipakai bertahun-tahun lamanya oleh si empunya.
Seorang bapak dengan pakaian putih lusuh dan celana hitam yang warnanya sudah tak hitam lagi karena pudar.
Mendekati usia senja masih setia mengajari anak-anak di pelosok negeri ini membaca dan mengeja.
Di saat putus pengharapan untuk mendapatkan hidup yang lebih layak. Beliau tetap semangat. Tak sekadar mengajar tetapi mendidik.
Gaji di bawah lima ratus ribu sungguh tak cukup untuk makan sebulan. Apalagi untuk membeli sepatu.
Terpaksa di saat pulang mengajar beliau mencari pendapatan tambahan sebagai pekerja serabutan.
Tahun ini Mas Menteri memberikan secercah harapan untuk beliau. Program PPPK untuk memberikan harapan kehidupan yang lebih layak.
Tetapi tahukah Mas Menteri? Soal-soal yang Mas Menteri berikan hanya teori belaka saja. Tak sebanding dengan praktik pengabdian berpuluh-puluh tahun lamanya.
Soal-soal yang membuat beliau terseok-seok ketika memegang mouse dan membuat kepalanya pening.
Akhirnya, passing grade pun tak diraih. Pecahlah tangis beliau di dalam hati. Terlihat jelas ketika nilai-nilai itu terpampang di layar monitor. Beliau terdiam seribu bahasa.
Entahlah, apa yang dipikirkan. Melihatnya saya pun ikut terisak.
Memang benar beliau tak secerdas, sejenius, sekreatif Mas Menteri. Tetapi beliaulah yang menjadi pelita di tengah gulita buta aksara di pelosok negeri.
Memang benar beliau tak pandai teknologi, tetapi tanpa teknologi beliau mampu membuat anak-anak negeri ini merangkai kata dari A hingga Z. Berhitung hal-hal dasar untuk memahami hidup.
Memang benar para muridnya sebagian besar menjadi TKI dan TKW. Tapi tahukah Mas Menteri, bukankah mereka juga merupakan pahlawan penghasil devisa negara tercinta ini?
Beliau mempunyai andil yang besar dalam membangun negeri tercinta ini.
Sudi kiranya Mas Menteri memberikan keringanan untuk melihat beliau bisa menikmati masa tua dengan sepatu dan kehidupan yang layak.
Tak usah diperumit.
Jika tidak ada kebijakan untuk mengangkat derajat mereka, setidaknya di surga besok sepatu ini akan menjadi saksi bahwa ilmu yang beliau ajarkan sangat bermanfaat untuk keberlangsungan umat.
Guru Honorer; Nasibmu Tak Seindah Pengabdianmu
Pendidikan yang kita impikan untuk bisa kompetitif dan komparatif tidak bisa dipisahkan dengan peran guru. Di era disrupsi dan revolusi industri 4.0 pun perannya tak tergantikan, karena pendidikan tidak melulu transfer of knowledge—tetapi yang lebih utama mengawal moral anak—jasanya tak ternilai dalam mencerdaskan anak bangsa.
Di antara mereka yang berjasa itu adalah guru honorer, yang belum ‘memiliki tempat’ di negeri ini karena belum ada keberpihakan pemerintah kepada mereka. Demo sering dilakukan, walau itu sejatinya tindakan yang memalukan karena termasuk ‘aurat’ tetapi menunggu ‘tangan-tangan kasih’ pemerintah juga tidak kunjung datang. Beberapa kali demo tetap hasilnya ‘membentur tembok’ kekuasaan yang tak berempati. Sejatinya tuntutan mereka sederhana hanya ingin dimanusiawikan—beberapa di antara mereka adalah Sarjana S1, bahkan S2—dengan honor yang jauh dari kata layak berbanding terbalik dengan buruh—lulusan SLTA—dengan gaji standar UMR.
Ada sedikit pencerahan sekarang ini bagi guru honorer di tingkat SLTA ‘dihargai’ yang layak oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat tetapi itu baru terbatas pada guru honorer di sekolah negeri. Bagi mereka yang bekerja di yayasan sekolah swasta masih harus bersabar dengan tanpa berbatas waktu, dengan ironi dan logika yang terbalik ‘pengakuan lembaga formal’ hanya di sekolah negeri. Sulit dibayangkan, kalau tidak berangkat dari cinta—teaching with love—dan panggilan jiwa, siapa yang mau hidup dengan honor di bawah Rp. 100.000,- per bulan di negeri yang anggaran pendidikannya 20 persen dari total APBN, bahkan jauh lebih kecil dari gaji buruh pabrik.
Pilu memang nasibnya, tapi inilah realitas. Pemerintah tetap pada pendiriannya guru masuk kategori PPPK.
PPPK dan Air Mata Guru
Harapan guru honorer dan para calon guru yang sedang ditempa di lembaga keguruan untuk menjadi PNS sirna di tahun 2021 ini. Pemerintah melalui Badan kepegawaian Negara (BKN) mengumumkan guru tidak akan lagi dimasukkan kategori CPNS. Guru akan dialihkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Keputusan ini disepakati Menteri PANRB, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta BKN.
Dengan melihat peran dan posisi strategis yang dimainkan guru dalam mencerdaskan dan mengangkat harkat serta martabat bangsa, kebijakan yang dilakukan pemerintah ini dinilai sangat terburu-buru dan diskriminatif.
DPR melalui ketua Komisi X Syaiful Huda, bereaksi merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan kebijakan ini. Bahkan Syaiful Huda akan memanggil tiga kementerian dan lembaga untuk mempertanyakannya. Serta memastikan komisi X akan menolak rencana penghapusan jalur CPNS bagi guru. Kebijakan pemerintah ini dinilainya akan menurunkan minat lulusan terbaik untuk berprofesi sebagai tenaga pendidik. Guru pada pandangannya merupakan profesi yang memerlukan stabilitas dan standar hidup tinggi untuk menjamin kesejahteraan. Status PNS pun dipandangnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan anggota DPR RI, Irwan Fecho menilai kebijakan pemerintah ini dinilainya terburu-buru, blunder dan diskriminatif. Kebijakan ini akan menimbulkan pertanyaan besar di ruang publik, mengapa guru tidak boleh menjadi PNS? Bagaimana jaminan masa depan mereka? Bagaimana dengan lulusan keguruan yang ingin menjadi guru? Bagaimana dengan Pemda yang mampu membiayai dan mengatur penempatan PNS guru yang merata di daerahnya? Baginya kebijakan ini sangat melukai perasaan dan rasa keadilan para guru honorer dan juga para mahasiswa keguruan ataupun guru yang sedang melanjutkan pendidikan.
Sorotan tajam disampaikan sejarawan muda JJ. Rizal terkait kebijakan PPPK bagi guru ini. Pada pandangannya mayoritas pendiri bangsa ini adalah guru. Sebab itu, apa kita tidak merasa kualat, durhaka membuat guru-guru di republik ini terus mengalir air matanya, kesedihan tak habis-habisnya, dan nasibnya selalu dimanipulasi tak putus-putus. Sebuah kepedihan yang pada bahasa saya pengabdian guru tak seindah nasibnya. PGRI meminta peninjauan kembali kepada pemerintah terhadap kebijakan CPNS bagi guru ini.
Tapi realitasnya, kebijakan pemerintah ini masih tetap diteruskan dan kukuh pada pendiriannya. Guru harus masuk pada kategori PPPK peruntukannya bukan PNS.
Tawaran PGRI; Sebuah Solusi?
PGRI melalui ketua umumnya, Unifah Rosyidi menawarkan alternatif; Pemerintah bisa membuka dua jalur rekrutmen yakni CPNS dan PPPK dengan pertimbangan tujuan dan sasaran yang berbeda. PPPK diperuntukkan bagi guru honorer dengan usia di atas 35 tahun untuk memperoleh pengangkatan sebagai pegawai. Sedangkan posisi CPNS membuka kesempatan bagi lulusan jurusan pendidikan untuk menjadi pegawai negeri.
PPPK dinilai akan berpotensi menurunkan kualitas tenaga pendidik di masa yang akan datang, karena lulusan terbaik dari kampus tidak memiliki minat menjadi tenaga pendidik akibat ketidakpastian karir. Padahal pada sisi lain guru merupakan sebuah profesi sebagai konsekuensi logis dari amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sedangkan pada pandangan pemerintah—dalam hal ini Kepala BKN—Bima Haria Wibisana, kebijakan PPPK bagi guru dengan alasan setelah bekerja 4-5 tahun biasanya CPNS ingin mutasi lokasi yang dinilainya bisa menghancurkan sistem distribusi guru. Selama 20 tahun terakhir telah terjadi ketidakseimbangan sistem distribusi guru antar daerah secara nasional.
*) Penulis adalah dosen IAIN Syeknurjati Cirebon