Kesejahteraan Subyektif (Subjective well-being) bagi Guru Honorer
Guru Honorer (Dok. FB Kemdikbud RI) |
Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
Pendidikan merupakan kata kunci yang sangat diperlukan oleh anak-anak agar dapat memiliki ilmu pengetahuan dan nilai teolologis ke depannya. Pendidikan di Indonesia saat ini menjadi salah satu perhatian utama pemerintah agar anak-anak dapat menempuh sekolah minimal sampai jenjang SMA. Perhatian pemerintah tidak hanya pada peserta didik saja namun juga pada para tenaga pendidik—khususnya persoalan kualitas dan kompetensi guru—yang selama ini masih terus dioptimalkan.
Guru merupakan profesi yang sangat vital dalam dunia pendidikan. Tanpa adanya guru, baik tujuan pembelajaran maupun proses pendidikan akan sangat sulit dicapai. Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena guru juga sangat berperan dalam membentuk karakter murid yang pada akhirnya berimplikasi juga terhadap aktivitasnya di lingkungan sekitarnya .
Namun demikian di tengah keinginan untuk meningkatkan kualitas guru, masih menyisakan masalah misalnya persoalan kesejahteraan yang dapat menghambat terealisirnya keprofesionalan seorang guru.
Salah satu bagian yang tak terpisahkan tentang guru adalah keberadaan guru honorer yang sampai saat ini masih menjadi perhatian publik. Tapi keberadaannya belum diimbangi dengan langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kesejahteraan terdiri dari kesejahteraan objektif dan subjektif. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang dapat diobservasi, misalnya peningkatan taraf hidup dan peningkatan kebugaran. Sedangkan kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan, dan ini tidak senantiasa selaras dengan yang objektif. Seseorang yang hidup berkecukupan memiliki kesejahteraan yang relatif tinggi. Tetapi belum tentu ia bisa menikmati kehidupannya. Sebaliknya ada individu yang hidupnya pas-pasan namun ia menikmati kehidupannya, bersyukur atas berkah dan kelimpahan yang ia peroleh.
Akan tetapi permasalahan yang terjadi di lapangan adalah, para guru honorer tidak mendapatkan kesejahteraan subjektif, pun ditambah dengan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru yang tidak hanya mengajar. Darmaningtyas menjelasakan bahwa guru honorer di sekolah negeri memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Honor yang didapat guru honorer di Sekolah Dasar Negeri rata-rata dibawah Rp 5000,00 per jam per bulan. Masih sangat jauh jika dibandingkan dengan UMP (Upah Minimum Pegawai) di Indonesia—apalagi belum ada standarisasi UMG (Upah Minimum Guru)—sangat Variatif.
Selain itu, guru honorer juga inferior di antara orang dan juga guru yang sudah berstatus PNS. Pemberhentian tanpa pesangon juga dapat terjadi karena nasib guru honorer tergantung pada kebijaksanaan kepala sekolah. Guru honorer harus mengubur impiannya untuk menjadi PNS, karena sekarang pemerintah menetapkan kebijakannya dengan P3K.
Kesejahteraan Subjektif
Selama bertahun-tahun pertanyaan mengenai “good life” telah direnungkan. Bagaimana individu memahami kualitas hidupnya dan membandingkan kesejahteraan subjektif (subjective well-being-nya) dalam masyarakat. Hal ini merupakan kesimpulan dari semua kualitas hidup dengan berdasarkan pada nilai-nilai yang dimilikinya, sehingga dapat kita simpulkan subjective well-being merupakan evaluasi positif individu, ketika evaluasi tersebut dapat dipengaruhi oleh budaya atau derajat sosial yang dimiliki individu.
Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Diener, Lucas dan Oishi yang menyimpulkan bahwa subjective well being adalah konsep umum yang mencakup emosi yang menyenangkan, tingkatan rendah dari perasaan negatif dan kepuasan hidup yang tinggi. Namun pada kenyataannya, subjective well being ini tidak didapatkan oleh banyak guru yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan selama bertahun-tahun.
Sebuah kesimpulan dapat disodorkan bahwa kesejahteraan subjektif atau Subjective Well-Being merupakan konsep umum yang menyatakan perasaan senang, postif dan puas atas apa yang didapatnya baik berupa finansial ataupun berupa promosi ataupun penghargaan.
Ada dua pendekatan teori yang digunakan dalam kesejahteraan subjektif yaitu: Pertama, Bottom up theories adalah Teori memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Kedua, Top down theories adalah kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini menganggap bahwa, individulah yang menentukan atau memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif; Pertama, harga diri positif; Campbell menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas. produktif dalam pekerjaan. Kedua, Kontrol diri; Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik.;
Ketiga, Ekstraversi. Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk (1999) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain;
Keempat, Optimis. Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya; Kelima, Relasi sosial yang positif. Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Keenam, Memiliki arti dan tujuan dalam hidup. Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.
Guru Honorer
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaan, mata pencaharian, atau profesinya mengajar. Sedangkan menurut Undang-Undang no 14 tahun 2005 tentang pasal 1 ayat 1 adalah:
“Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan mengevaluasi peserta didik dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.
Nata mengemukakan istilah-istilah yang berkaitan dengan penamaan atas aktivitas mendidik dan mengajar. Ia lalu menyimpulkan bahwa keseluruhan istilah-istilah tersebut terhimpun dalam kata pendidik. Hal ini disebabkan karena keseluruh istilah itu mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau penga-laman kepada orang lain.
Mulyasa mengemukakan bahwa tenaga pendidik honorer atau yang lebih sering disebut guru honorer adalah guru yang diangkat secara resmi oleh pejabat yang berwenang untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, namun belum berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 menyebutkan juga bahwa guru harus memiliki kualifikasi dan kompetensi akademik. Kualifikasi tersebut berupa pendidikan minimal sarjana atau progam diploma empat. Sedangkan kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi tersebut bersifat holistik. Kemudian dijabarkan pada 19 tahun 2017 perubahan atas PP No. 74 Tahun 2008. Secara berkelakar DR. H. Amin Haidar—mantan direktur PAIS Kementerian Agama RI—menambahkan kompetensi spiritual bagi guru PAI.
Hambatan dan tantangan dalam mengajar pun banyak dirasakan sehingga membuat guru honorer semakin terhimpit, tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat guru honorer harus dapat lebih produktif mengatasi hambatan dan tantangan dalam mencerdaskan anak bangsa. Perjuangan guru honorer mempertahankan karirnya sebagai pendidik tidak lain hanya untuk mengabdikan ilmunya, padahal masih banyak pekerjaan lain yang lebih menjanjikan bila dibandingkan menjadi guru honorer, apalagi satus pendidkan seorang guru yaitu Srata Satu.
Kesejahteraan Subjektif pada Guru Honorer
Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana posisi seorang guru honorer dalam satuan kerja terkait dengan hak atau gaji yang mereka peroleh. Setiap daerah mengalami dinamika dan tantangan yang berbeda-beda. Sebagai pembanding, beberapa kasus yang pernah ada terkait guru honorer, misalnya di Banjarmasin guru honorer bisa menerima gaji perbulannya hanya dengan Rp. 75.000/ bulan, di Bekasi berkisar Rp. 1.000.000/ bulan. Menjadi sangat ironi apabila mencoba dikomparasikan dengan buruh kasar yang bisa mendapat penghasilan Rp.3.300.000 perbulannya atau guru honorer di Yogyakarta misalnya, masih ada yang menerima penghasilan antara Rp. 500.000- Rp. 800.000/ bulan. Fenomena ini menimbulkan kesenjangan apabila dibandingkan dengan tenaga honorer di bidang lain, semisal kesehatan yang bisa mendapatkan kompensasi Rp. 1.900.000 di Kodya Yogyakarta sebagaimana dua sektor ini sama-sama sebagai sektor utama dalam pembangunan publik.
Diener mengenalkan teori evaluasi. Maksudnya kesejahteraan subjektif ditentukan oleh bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami—mencakup evaluasi kognitif dan afektif—Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being (SWB) yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.
Dalam menjalani profesi sebagai guru, individu berhak atas jaminan sebagai bentuk dari kesejahteraan hidup. Hal ini seperti dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, pasal 14. Hal ini menjadi indikasi bahwa subjective well being guru dapat dipengaruhi oleh besarnya tunjangan yang diterima guru seperti gaji pokok yang diberikan.
Selain itu, penghargaan lain yang diperoleh guru dapat berupa status sosial yang diberikan, karena kepuasan yang dirasakan guru tidak hanya dipengaruhi oleh kepuasan terhadap pekerjaannya tetapi juga adanya penghargaan dari lingkungan terhadap pekerjaanya. Hal ini diperkuat oleh penjelasan dari Saud, bahwa adanya pengakuan terhadap suatu profesi pada dasarnya ditunjukkan dengan adanya penghargaan meskipun tidak dalam bentuk finansial, melainkan dapat berupa status sosial.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu