Merekonstruksi Wacana Agama yang Toleran
Gambar Radarrepublika.com |
Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
Pada tulisannya tentang Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, KH. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa ajaran Islam itu universal dan kosmopolitan. Universalisme Islam tercermin dalam ajaran-ajarannya yang sangat memiliki kepedulian pada unsur-unsur utama kemanusiaan (al-Insaniyyah). Di samping ajarannya yang berdimensi hukum agama, aqidah, dan etika. Hal ini kemudian dibarengi dengan kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.
Sedangkan kosmopolitanisme Islam melengkapi corak peradaban Islam. Dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik.
Kebenaran Filosofis dan Sosiologis
Benarkah ajaran Islam menjamin keadilan, persamaan hak, kebebasan berpikir, tenggangrasa, dan saling pengertian yang besar?
Sebelum menjawab beberapa pertanyaan tersebut, kita ingin memulai dari definisi terma agama, religi dan ad-din. Agama adalah sistem keyakinan atau kepercayaan manusia terhadap sesuatu zat yang dianggap Tuhan. Keyakinan itu diperoleh manusia berdasarkan pengetahuan yang bersumber dari kemampuan diri (otodidak) seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim.
Secara etimologi, term agama seakar dengan religion (Inggris), religie (Belanda), religio (Yunani), ad-dien, syariat, hisab (Arab-Islam) atau Dharma (Hindu). Menurut Louis Ma’luf dalam al-Munawar term agama dalam Islam secara spesifik berasal dari kata al-dien (jama’ dari kata al-Adyan) yang mengandung arti al-Jazaa wa al-Mukaafah, al-Qdla, al-Malik-al-Mulk, al-Sulthan, al-Tadbiir, al-Hisab. Monawar Chalil menafasirkan kata al-dien sebagai bentuk mashdar dari kata kerja “daana-yadiinu” yang mengandung arti antara lain: “cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat dan patuh, meng-Esa-kan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama”.
Dalam konteks ini, Komarudin Hidayat mencoba untuk membedakan terma religion untuk menunjuk kata agama, yakni bergeser dari kata kerja menjadi kata benda yang berkonotasi kumpulan doktrin, ajaran serta hukum yang telah baku sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia.
Bagi Komarudin Hidayat yang lebih tepat adalah religiositas yang menekankan dimensi spiritualitas dalam keberagamaannya dan cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan, meskipun berada dalam wadah agama lain.
Kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran yang filosofis dan kebenaran sosisologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan realitas. Tetapi pencapaian kebenaran setaip orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama—Yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu, termasuk aliran kepercayaan—ingin mencapai realitas tertinggi (the ultimate reality). Kristen dan Islam, the ultimate realitynya adalah Allah—dengan pelafalan yang sedikit berbeda—Yahudi adalah Yehova, demikian pula dengan keyakinan yang lain. Ini berarti bahwa yang dikejar sebagai Realitas Tertinggi itu sebenarnya yang satu.
Pada sisi kedua yaitu sosiologis. Ditinjau dari sisi sosiologis, proses pencapaian dan penerjemahan Realitas Tertinggi membuat klaim tentang kebenaran menjadi berbeda. Islam mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar; begitu juga Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan menyatakan demikian. Padahal perbedaan yang terjadi secara hakiki bukan terletak pada Realitas tertinggi. Di sinilah mulai timbul konflik kebenaran, baik ekstra-agama maupun intra-agama. Dalam al-Quran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan Realitas Tertinggi yang menunjukkan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima kebenaran selainnya. Namun di sisi lain (sosiologis), ia juga sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum wa liy al-din). Di samping itu, para pemikir Muslim cenderung moderat dan sangat toleran.
Dalam bahasa lain yang sedang trend saat ini ada yang menyebutnya dengan wasatiyyah. Konsep wasatiyyah inheren (menyatu dan melekat dan sifat atau watak yang tidak dapat dipisahkan) dalam ajaran Islam. Wasatiyyah yang dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘wasat’ berarti penengah, perantara, yang berada di posisi tengah, pusat, jantung, mengambil jalan tengah atau cara yang bijak atau utama, indah dan terbaik, bersifat ‘tengah’ dalam pandangan, berbuat adil.
Dalam kajian Islam akademik, ‘Wasatiyyat Islam’, sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’, ‘the middle path’ atau ‘the middle way’ Islam dan Islam sebagai mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah dalam Islam untuk tidak terjebak pada ekstremitas. Selama ini konsep Wasatiyyat Islam dipahami, merefleksikan prinsip tawassut (tengah), tasamuh, tawazun (seimbang), i`tidal (adil), iqtisad (sederhana).
Dengan demikian, istilah Ummatan Wasatan sering juga disebut sebagai ‘a just people’ atau ‘a just community’. Yaitu masyarakat atau komunitas yang menampilkan kriteria di atas.
Dengan pemahaman yang seperti ini, maka Islam akan mampu menjadi ‘penjaga’ keadilan, persamaan hak, kebebasan berpikir, tenggangrasa, dan saling pengertian.
Tugas Berat Agama dan Penganutnya
Dengan tampilan wajah agama yang demikian, menurut Bambang Sugiharto agama—apalagi di era post modern—seperti durian jatuh. Berakhirnya perang dingin dan kacaunya kiblat nilai, menyebabkan agama dijadikan sebagai primadona baru peradaban yang menjanjikan. Di sisi lain, kenyataannya bagaikan ‘kejatuhan durian di kepala’. Ia pusing dan oleng karena terlalu banyak dibebani harapan. Di satu sisi ia diharapkan tampil membawa kearifan atau pembawa solusi dari segala persoalan. Sedangkan di sisi lain, ia tampil sebagai salah satu penyebab persoalan.
Masih menurut Bambang Sugiharto, tantangan setiap agama sekarang ini sekurang-kurangnya ada tiga. Pertama, dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai dengan disorientasi nilai dan degradasi moral yang otentik, agama dituntut untuk tampil sebagai suara moral yang otentik. Kedua, agama harus menghadapi kecenderungan pluralism, mengolahnya dalam kerangka ‘teologi’ baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerjasama plural. Ketiga, agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Dalam konteks seperti ini, bagaimana wacana agama bisa kita hadirkan kembali sebagai wacana yang tidak seram dan mencekam penganut agama-agama, agaknya perlu dipikirkan kembali secara bersama. Pemegang otoritas dominan atas tafsir suci teks agama barangkali perlu direkonstruksi, bahkan jika diperlukan didekonstruksi sehingga tidak membelenggu wacana agama itu sendiri.
Penutup
Dengan meminjam bahasa Said Aqil Siraj bahwa Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamin, maka Islam harus membawa rahmat, peradaban, budaya, dan moral. Dalam suasana ketika formalism menjadi ‘candu’ pikiran, memahami Islam sebagai agama kemanusiaan bukanlah perkara mudah—kadang malah dianggap kesesatan. Dalam suasana demikian agama lebih mudah dianggap sebagai doktrin yang beku dan instan. Islam tidak hanya membawa doktrin akidah dan syariat, tetapi juga membawa ilmu pengetahuan, peradaban dan kemanusiaan.
Setiap agama membawa doktrin, bahwa setiap agama memiliki prinsip-prinsip dasar untuk mengajarkan hubungan yang positif antar sesama manusia adalah sesuatu hal yang benar. Persoalannya bagaimana ummat beragama menggali sumber-sumber tadi dan mengusahakan terciptanya hubungan yang harmonis antarummat beragama—apapun agamanya—sehingga menciptakan keindahan dan keserasian.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*)Penulis adalah Ketua STKIP al-Amin Indramayu dan dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu