Pesantren Masa Depan; Mempertahankan Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang Era Disrupsi
Foto Agus Siswoyo |
Oleh: Masduki Duryat dan Adlan Da’i*)
Disadari atau tidak, peradaban manusia telah berangsur mengalami perubahan. Realita kehidupan manusia telah memasuki era revolusi teknologi yang secara fundamental telah mengubah cara hidup manusia di semua dimensi kehidupan. Kondisi ini menggiring kita, khususnya pesantren dan santri agar segera melakukan adaptasi dalam menghadapi era revolusi industri yang penuh dengan tantangan disrupsi.
Sehingga pesantren—sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia—yang di dalamnya terdapat santri untuk menuntut ilmu, tidak boleh apatis terhadap perubahan yang sedang terjadi sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sebuah keniscayaan (sunnatullah) dan bukan monopoli kelompok tertentu. Sinergitas tradisi pesantren dengan era disrupsi—sebagai ciri modernitas—juga bukan hal yang utopis, mengingat keduanya merupakan respon atas realitas. Seyogyanya, pembaruan dalam sistem, tradisi, dan kurikulum pesantren tetaplah mengedepankan spiritualitas (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Dalam menghadapi perkembangan zaman semakin pesat seperti ini. Di samping pesantren dituntut melakukan perubahan, seorang santri juga haruslah bisa beradaptasi dan berselancar dengan perubahan. Santri dituntut memiliki intelektualitas yang luas, yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pada pandangan Septiana (2019) seorang santri tidaklah cukup menekuni kajian keagamaan yang sangat kental seperti kajian kitab kuning. Seorang santri juga harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektual.
Era Disrupsi dan Perubahan Sikap
Terma disrupsi secara etimologi adalah sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Akibatnya ‘pemain’ yang masih menggunakan cara dan sistem lama akan kalah bersaing.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disrupsi bermakna hal tercerabut dari akarnya (kbbi.co.id). Eriyanto kemudian mendeskripsikan, istilah disrupsi ini sebenarnya sudah ada sejak lama, namun istilah ini kembali populer setelah Clayton M. Chirtensen, yakni seorang guru besar di Havard Business School menyebut istilah disrupsi dalam bukunya ‘The Innovator Dilemma‘. Lebih jauh, buku ini memberi penjelasan bagaimana perusahaan besar yang sudah memiliki banyak sumber daya, banyak aset, dan banyak koneksi ditundukkan oleh perusahaan baru dengan ukuran yang masih kecil. Padahal perusahaan kecil tersebut kalah dalam hal dana dan sumber daya manusia. Jawabannya terletak pada perubahan besar yang disebut dengan disrupsi (journal.ui.ac.id).
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, salah satu tokoh yang mempopulerkannya melalu buku Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban (2017) Rhenald menyebut disrupsi akan berlangsung terus-menerus dan lama. Saat ini hampir semua industri tengah bertarung menghadapi lawan-lawan baru yang masuk tanpa mengikuti pola yang dikenal masyarakat selama ini. Lawan-lawan baru itu langsung masuk ke rumah-rumah konsumen, dari pintu-pintu, secara online, melalui smartphone. Rhenald menyebut, bagi masyarakat yang merayakan perubahan, disrupsi adalah masa depan. Namun, bagi mereka yang sudah nyaman dengan keadaan sekarang dan takut dengan perubahan, mereka akan berpikir bahwa ini adalah awal kepunahan.
Di era disrupsi ini, masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, beralih ke dunia maya, terutama media sosial. Banyak pihak yang menjadi korban era disrupsi, di antaranya adalah transportasi konvensional, mall, dan media cetak.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif kreatif. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transoprtasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era disrupsi akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Berinovasi atau tertinggal.
Sehingga Rhenald Kasali (2017), memberikan tiga hal untuk menghadapi era disrupsi ini. Pertama, Jangan nyaman menjadi ”pemenang”; Kedua, Jangan takut menganibalisasi produk sendiri; Ketiga, Membentuk ulang atau menciptakan yang baru.
Tiga strategi tersebut akan membuat disrupsi bukan sebagai ancaman, melainkan justru peluang untuk mendapatkan keuntung¬an dan mengembangkan organisasi.
Lebih teknis ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menghadapi era disrupsi (dalam https://www.ruangkerja.id/blog/) yaitu Pertama, Jangan pernah berhenti berinovasi. Kedua, Jangan “berlindung” di bawah regulasi. Ketiga, Manfaatkan teknologi. Keempat, Jangan pernah merasa merasa puas.
Jadi, ketika produk maupun jasa perusahaan sedang dalam tahapan growth, perusahaan jangan terlalu berpuas diri. Sebab di saat itu, perusahaan-perusahaan lain akan mulai mampu menarik pasar baru melalui produk-produk baru yang mereka hasilkan. Kelima, Ciptakan hubungan yang “Customer Oriented”.
Itulah 5 (lima) hal yang harus diperhatikan sebagai pimpinan perusahaan untuk menghadapi era disrupsi ini. Apa yang dilakukan dalam dunia usaha ternyata dapat diadaptasi dalam dunia pendidikan—sebagaimana teori manajemen mutu dan kepuasan pelanggan—agar tetap eksis dan survival.
Problem Metodologis di Era Disrupsi; Sebuah Tantangan
Menarik untuk dicermati pandangan Amin Abdullah—salah seorang pakar keislaman nontarbiyah, dalam Muhaimin (2002) pendidikan keagamaan—termasuk pesantren—yang selama ini berlangsung, antara lain sebagai berikut: Pertama, pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis;
Kedua, pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa/peserta didik/santri melalui berbagai cara, media dan forum;
Ketiga, isu kenakan remaja, perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color crime, konsumsi minuman keras dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung ada keterkaitan dengan pola metodologi pendidikan agama yang selama ini berjalan secara konvensional-tradisional;
Keempat, metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah antara pra dan post era modernitas; Kelima, pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada; Keenam, sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama menunjukkan prioritas utama pada kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu dalam bahasa Komaruddin Hidayat (dalam Muhaimin, 2002) diperlukan dua pendekatan sekaligus dalam mempelajari Islam, yaitu: (1) mempelajari Islam untuk kepentingan dalam mengetahui bagaimana cara beragama yang benar; (2) mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan. Dengan kata lain, belajar agama adalah untuk membentuk perilaku (actor) beragama yang memiliki komitmen, loyal dan penuh dedikasi, dan sekaligus mampu memposisikan diri sebagai pembelajar, peneliti, dan pengamat yang kritis untuk peningkatan dan pengembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks demikian, menghadapi era disrupsi dan dampaknya, diperlukan metode pembelajaran yang mampu mengakses hal tersebut; Pertama, perlu dipertimbangkan konsep coopertive learning, dengan argumentasi masalah-masalah yang dihadapi sekarang ini semakin kompleks dan saling berkaitan. Dengan konsep belajar itu setiap masalah dapat didekati dengan pendekatan yang bersifat hollistic dan integrated.
Kedua, dengan pendekatan “learning society”, belajar di masa sekarang tidak cukup di dalam ruang kelas, tetapi dengan cara mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam kegiatan pembelajaran. Ketiga, menata ulang berbagai aspek pendidikan yang selama ini dilakukan. Aspek pendidikan seperti dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, guru/ustadz, metode, dan pendekatan yang digunakan, sarana prasarana yang tersedia, lingkungan, evaluasi, dan sebagainya perlu ditinjau kembali.
Sehingga mengadaptasi pandangan Achmad Sanusi (2014) aspek metodologi ini harus mengalami perubahan dari monologis menjadi dialogis (transaksi belajar-mengajar mesti melibatkan pembelajar), dari pasif menjadi aktif (pembelajaran bukan semata menerima informasi melainkan memahami informasi), dari membuat aturan/memberi hukuman menjadi memotivasi (kendala utama belajar adalah memotivasi bukan kognisi, memotivasi sangat kuat berpengaruh terhadap pembelajaran), dari pengajaran menjadi tugas kelompok/individual (pembelajaran dalam kelompok kecil, pembelajaran berbasis masalah, penugasan kerja lapangan dan cara belajar aktif lainnya), dan dari “toko pakaian” menjadi “butik” (para pembelajar tidaklah homogen, sehingga pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan pembelajar, preferensi dan harapan pembelajar).
Pendekatan berpusat pada pembelajar adalah hal yang penting untuk dilakukan, seperti tugas proyek, dan pembelajaran berbasis permasalahan supaya membiasakan pembelajar untuk menjadi pembelajar yang otonom dan diarahkan dirinya sendiri yang mampu menjaga kelangsungan pembelajaran sepanjang hayat. Selain itu, pembelajaran non-ruang kelas melalui kegiatan pembelajaran yang bermakna dan inovatif juga harus mendapat dukungan yang besar.
Santri dan Pesantren; Pembacaan Kritis Terhadap Realitas
Santri dan pesantren pada pandangan Ridwan (2018) dikatakannya pesantren merupakan satu kekuatan struktur sosial yang sumbangsihnya pada bangsa ini sangat besar. Mulai perjuangan memperebutkan kemerdekaan, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, membangun nilai-nilai spritualitas lewat pendidikan agama, mengajarkan perilaku luhur (ta’dib) dan keteladanan (uswah hasanah) dan juga mengajarkan penghargaan akan perbedaan suku, ras, bahasa serta menciptakan pergaulan yang dalam istilah Gus Dur sebagai kosmopolitanisme pesantren karena pergaulan yang lintas suku, bahasa dan daerah.
Sedangkan santri merupakan komponen essensial dalam komunitas pesantren. Sub kultur ini dipandang maju dan berhasil dengan indikator utama santri yang banyak, meskipun hal ini masih harus diperdebatkan. Masyarakat memiliki terminologi sendiri dalam membuat parameter kehidupan. Simbol-simbol sederhana tetap dijadikan ukuran dalam rangka menguatkan argumentasi tentang fenomena yang menjadi bagian strata kehidupan sosial masyarakat.
Dalam konteks realitas menghadapi tantangan dan peluang di era disrupsi serta mendasarinya dengan pandangan dan analisis yang harus dilakukannya. Misalnya jangan berada di zona nyaman, jangan “berlindung” di bawah regulasi, mampu memanfaatkan teknologi, jangan pernah merasa puas, dan berorientasi kepada pelanggan. Maka hal yang harus dilakukan adalah santri harus lebih produktif tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu umum tanpa ada pandangan dichotomis—sebagaimana pernah kemajuan itu dimiliki ummat Islam di masa kejayaannya—performanya ada pada pribadi seorang muslim, ilmuan sekaligus ulama.
Di sini pula santri menemukan momentumnya untuk terus mendesign visi dan nafas panjangnya ditambah terus memupuk kreativitas di setiap kelok fenomena yang sangat dinamis ini. Knowledge dan skill di bidang komunikasi visual harus dimiliki oleh santri, di samping pribadi berkarakter dan berorientasi pada masa depan seperti kaum santri menjadi sesuatu yang utama. Dengan berjaringan, membangun networking dan kolaborasi, maka skill, knowledge dan attitude itu akan menyatu dalam deru industri komunikasi yang ke depan akan kian mendominasi.
Sehingga sangat wajar H. M. Ali Ramdhani (2021) berpandangan, era disrupsi yang ditandai dengan masa revolusi industri, dan saat ini sudah mencapai era 4.0. Berawal dari penemuan besi, yang menandai era 1.0. Kemudian listrik yang menjadi cikal bakal era 2.0. Selanjutnya, era 3.0 yang sudah mengenal internet. Saat ini sudah mencapai tingkat 4.0, dengan teknologi Internet of Think/ Artifisial Intellegency. Konsekuensinya, penemuan akan mempengaruhi peradaban. Dengan berlandaskan iman, islam dan ihsan merupakan bekal yang harus kita kumpulkan untuk menghadapi era disrupsi saat ini. Sebagai orang yang sudah berislam, beriman, dan ihsan, harusnya kita sudah mampu mengisi konten-konten youtube, tiktok, instagram dan lain-lain dengan energi positif. Jangan sampai acuh. Selain itu, produk-produk fikih kita harus terus kita kembangkan. Contoh: bagaimana cara kita shalat jika suatu saat sedang berada di Mars? Produk-produk temuan era disrupsi kita jadikan peluang untuk menuju masyarakat muslim yang berkemajuan. Jangan sampai tergerus zaman.
Dari sisi kelembagaan, pesantren dalam keadaan demikian, menurut Abuddin Nata (2011) lembaga pendidikan Islam seharusnya dapat tampil ke depan merebut peluang dan sekaligus mampu menjadi solusi alternatif dengan memadukan keunggulan dalam bidang ahlak dan moral serta ketaatan dalam menjalankan ibadah yang ada pada sistem pendidikan di pesantren dengan keunggulan dalam bidang penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kreatifitas. Sintesis ini mungkin dapat disebut sebagai perguruan tinggi pesantren, sekolah pesantren, sekolah unggulan dan sebagainya.
Untuk dapat menjawab dan mewujudkan gagasan tersebut, maka lulusan lembaga pendidikan Islam dalam hal ini juga pesantren hendaknya para pengguna jasanya tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga menguasai ilmu umum secara seimbang. Kemampuan dalam bidang bahasa, Arab, Inggris dan lainnya. Kemampuan IT, penelitian serta pola pikir inovatif yang memberikan rasa percaya diri kepada para lulusannya perlu dilakukan.
Selanjutnya dari segi manajemen, lembaga pendidikan Islam—dalam hal ini juga pesantren—perlu memiliki tiga kekuatan secara seimbang. Pertama, kekuatan dalam bidang sumber daya manusia (SDM) mulai dari tenaga pendidiknya (guru/ustadz/kyai) yang unggul, pengelolaannya yang profesional dan tenaga peniliti yang andal. Kedua, kekuatan dalam bidang manajemen dan kinerja yang didukung oleh peralatan teknologi canggih sehingga dapat mendukung efesiensi dan akselerasi. Ketiga, kekuatan dalam bidang dana yang bersumber dari kekuatan lembaga itu.
Jika ketiga kekuatan tersebut dapat dimiliki oleh lembaga pendidikan (Islam) dalam hal ini pesantren, maka masa depan dunia pendidikan akan berada di tangan ummat Islam. Bukan sebaliknya akan tergerus oleh kemajuan zaman, modernitas dan ditinggalkan ‘pelanggannya’.
Tuntutan modernitas ini tidak bisa ditawar-tawar. Abdul Basyit (2017) memberi catatan, tentu tanpa mengabaikan keunikan dan kekhasan pesantren yang merupakan salah satu keunngulan pesantren.
Pesantren mampu bertahan dibanding dengan lembaga pendidikan Islam lainnya di Nusantara, seperti dayah, rangkang, meunasah, dan surau. Respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam mencakup; Pertama, pembaharuan isi atau substansi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek umum dan vocational; Kedua, Pembaharuan metodologi; Ketiga, Pembaharuan kelembagaan; dan Keempat, Pembaharuan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi yang lebih luas. Pesantren yang ideal adalah pesantren yang mampu berdialog dengan modernitas,tanpa mengeliminiasi tugas utamannya sebagai pengemban amanat moral.
Demikian, kita semua merindukan munculnya lembaga Pendidikan (Islam)—pesantren—dambaan masyarakat dan diharapkan mampu secara kompetitif, bermutu dan berdaya saing. Pada pandangan Dedi Mulyasana (2011) ini merupakan paradigma baru pendidikan memasuki era persaingan. Persaingannya sedemikian kompetitif, setiap lembaga dipaksa untuk berhadapan dengan lembaga lain dalam arena persaingan. Semua lembaga, umumnya berkeinginan untuk dapat tampil yang terbaik untuk menarik perhatian pasar. Di sini pertaruhan, akan menjadi pecundang atau pemenang?
*)Penulis adalah parktisi pendidikan dan pengamat politik, tinggal di Indramayu