Kasus Amoral Remaja, Salah Siapa?
Ilustrasi gambar (Pixabay.com) |
Oleh: Masduki Duryat*)
Ngilu, gemes, hawatir dan bahkan—kalau bukan karena tanggungjawab moral—pasrah terhadap kasus yang menimpa—sebagian—remaja kita. Banyak pihak memaksa untuk bersuara. Bagaimana tidak, kasus di Majalengka misalnya gadis belia dicekoki Ciu hingga mabuk parah lalu dirudapaksa secara bergilir oleh sebelas pemuda tanggung di area pesawahan. Mirisnya para pelaku masih berada di bawah umur, usia 12-15 tahun.
Sebagaimana juga diberitakan media, di Indramayu Petugas Kepolisian memergoki sekelompok anak muda usia 13 tahun sedang pesta Miras di malam tahun baru Imlek. Kasus sebelumnya yang juga viral, di Trenggalek remaja menganiaya orang tua secara keji, dengan menendang dan memukul dengan kayu. Di Jakarta Barat, lima remaja menganiaya petugas Sosial setelah ditegur karena ada gelagat meminta-minta dengan memukul bagian kepala dan melemparinya. Pada awal Pebruari juga media sosial diramaikan dengan aksi seorang remaja yang marah dan melempar kursi ke arah seorang pria yang berpeci dan bergamis di Masjid. Ada apa yang terjadi dengan remaja kita? Apakah ini proses pencarian jati diri? Atau ada sesuatu yang salah dalam pembinaan moral remaja kita?
Amoral Remaja; Hasil Penelitian
Menarik tulisan Diah Ningrum tentang “Kemerosotan Moral di Kalangan Remaja; Sebuah Penelitian mengenai Styles dan Pengajaran Adab”, menurutnya sangat disayangkan dalam proses pencarian jati diri dan menuju pribadi yang mandiri, remaja kita terjebak pada persoalan seks bebas, kekerasan, obat-obatan terlarang dan problem psikologis lainnya. Terjebak pada pola hidup yang makin permisif terhadap hubungan seks pra nikah, hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Damayanti pada disertasinya Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UI menunjukkan bahwa dari 100 orang siswa, 5 di antaranya pernah melakukan hubungan seks pranikah. Survey BKKBN di 33 Provinsi di Indonesia pada tahun 2008 menyebutkan ada sekitar 63% remaja terlibat dalam hubungan seks pranikah dan 21% remaja putri melakukan aborsi.
Data mengejutkan datang dari Dinas Kesehatan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa remaja-remaja di 4 kota besar; Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya mempunyai teman untuk berhubungan seks sebelum menikah sebesar 35,9%. Para responden dalam data ini juga sudah melakukan hubungan seks pranikah sebesar 6,9%. Komisi Nasional Perlindungan Anak pada bulan Januari-Juni 2010 melakukan survey di kota-kota besar di Indonesia dengan melibatkan 4.500 siswa sekolah pertama dan menengah memperlihatkan ada sekitar 62.75 %siswa perempuan sudah tidak perawan lagi.
Tentu saja fenomena ini sangat menghawatirkan, karena pada pundak remaja inilah harapan kita sematkan sebagai generasi penerus bangsa, dan harapan itu akan memudar apabila remaja kita sudah terjerumus dalam pergaulan bebas dan seks bebas.
Remaja Kering Moralitas, Salah Siapa?
”Naluri ibu dan guru pada jiwaku merasa miris,” demikian ujung dari postingan seorang pendidik di sebuah akun sosial media dalam menyikapi kasus remaja yang sedang viral ini. Kolom komentarpun segera didesaki oleh tanggapan dari banyak netizen. ”Siapa yang salah?” kalimat bernada putus asapun singgah di sana.
Siapa yang salah? Pertanyaan ini memang patut dilontarkan. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi demi peroleh solusi yang tepat untuk nasib generasi negeri. Sebab mau atau tidak, kita harus menerima bahwa generasi muda kita hari ini adalah aset untuk masa depan bangsa. Bagaimana nasib bangsa ini di masa yang akan datang sangat ditentukan oleh kualitas generasi di era sekarang. Karenanya, harus kita temukan akar persoalan yang mengikis moralitas generasi.
Bukan dari guru, bukan pula dari orang tua. Sebab bagaimanapun, tidak ada seorang guru yang ingin gagal dalam mendidik muridnya. Demikian juga orang tua, bagaimanapun kondisi kehidupannya pasti tidak mau buah hati mereka menjadi rusak dan mempermalukannya.
Lantas kenapa realitas justru berbanding terbalik dengan angan? Bukan jadi baik, mayoritas generasi muda hari ini justru brutal menabrak nilai-nilai moral. Apa yang salah?
Beberapa kasus yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa gejalanya bukan kasuistik tetapi sudah sistemik. Ada sistem yang salah sehingga menghasilkan produk yang salah pula.
Celakanya, karena ini adalah kesalahan sistem, maka produk gagal yang dilahirkanpun berjumlah masal. Inilah yang kita hadapi saat ini. Coba kita introspeksi sejenak. Simak dan perhatikan konten musik yang dinikmati anak-anak kita. Film-film yang mereka gandrungi. Boomming film “Layangan Putus” misalnya, yang beberapa episodenya memfragmentasikan adegan yang tidak layank ditonton secara bebas remaja kita. Game-game yang mereka mainkan. Iklan-iklan di berbagai kanal media yang mereka serap setiap hari. Bagaimana isinya?
Ya, sekularisme bersanding dengan liberalisme duduk manis mencekoki pikiran anak-anak kita di sana. Paham kebebasan, permisif, hedonis, serta pemisahan agama dari kehidupan begitu kental mendominasi setiap tayangan yang dinikmati generasi muda. Atau, jangan-jangan kitapun larut dengan sajian racun berbalut madu tersebut? Na’udzubillah!
Konsep kebebasan yang berbasis pada ‘aqidah’ sekularisme ini menjajakan pola hidup yang anti aturan. Dalam kamusnya, semakin bebas hidup seseorang maka akan semakin keren, bagus, dan hebat. Maka muncullah sikap hedonisme, individualime, apatisme, premanisme, dan isme-isme lainnya yang berujung pada kebablasan dan keamblasan. Sangat mengerikan!
Nilai-nilai sekularisme dan liberalisme inilah yang menjadi akar masalah dari rusaknya generasi muda kita. Begitu halus dan cantik ide-ide Barat ini masuk ke dalam benak anak-anak Indonesia. Setiap hari tanpa jeda. Melalui musik, film, game, makanan, bahkan style gaya hidup yang dijajakan di berbagai kanal media. Pesonanya sukses mencuri hati generasi muda, sehingga pesona guru dan orang tua tidak lagi menarik di mata ananda. Inilah faktanya, miris!
Tawaran Solusi
Jika kebebasan justru melahirkan produk yang rusak, maka apa yang harus kita lakukan? Sangat mudah sebenarnya, tinggalkan sekularisme dan liberalisme. Inilah yang semestinya dilakukan.
Negara kita dengan ideologi Pancasila-nya dengan landasan moral Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai seluruh sila yang ada. Tidak ada peluang sekularisme, tetapi realitasnya seringkali terjadi paradoks.
Ibadah hanya urusan ketika kita berada di Masjid, Gereja, Wihara, Klenteng dan lainnya. Tuhan hanya ada di tempat ibadah. Di luar itu, di kantor, Pasar, berbisnis, berpolitik, pendidikan dalam pergaulan dan komunikasi dengan komunitas kita lupakan Tuhan, lalu sekali tarikan nafas menyembah dan mengagungkan sekularisme. Solusi pendidikan karakterpun dimentahkan dengan tidak adanya regulasi yang jelas—anak diyatimpiatukan—dengan menyerahkannya pada gadget dan Hp mereka.
Tidak aneh jika ini kita biarkan, maka berita yang akan muncul di media masa kita adalah kasus korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, kehidupan politik yang tidak produktif, dan lainnya akan selalu menjadi topik hangat. Perubahan paradigma ini—terutama di kalangan generasi muda, remaja kita—jelas tidak berbanding lurus dengan kepribadian dan karakter bangsa.
Sekali lagi tinggalkan sekularisme!
*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramau