Menelisik Kurikulum 2022, Kurikulum 2013 dan Konsep Pendidikan Ibnu Sina; Sebuah Telaah Awal
Ilustrasi Canva.com |
Oleh: Masduki Duryat*)
Ini bukan persoalan ganti menteri, ganti kurikulum. Tetapi ada sesuatu yang esensial ketika kita memasuki abad 21 dan tanpa diprediksi sebelumnya kita ditimpa musibah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan—berkonsekuensi logis juga pada bidang pendidikan—membutuhkan terobosan baru dan paradigma pendidikan yang mampu berselancar dengan teknologi.
Abad 21 dengan teknologinya serta pandemi Covid-19 harus disikapi bersama—terutama dalam dunia pendidikan—sehingga dalam konteks pembelajaran seperti sekarang ini, mata pelajaran Informatika misalnya sangat dibutuhkan. Meski di Kurikulum 2013 mata pelajaran Informatika masih bersifat pilihan.
Konsekuensinya, gagasan untuk merealisasikan kurikulum baru tidak bisa terhindarkan. Seperti kita ketahui kurikulum adalah bentuk miniatur dari kondisi masyarakat sesungguhnya. Sehingga apa yang dipelajari di sekolah dan kampus akan berselancar—dalam bahasa Wardiman Djojonegoro bisa link and mach—dengan realitas sesugguhnya di tengah-tengah masyarakat. Salah satu yang muncul dalam ide besar Kurikulum 2022 atau kurikulum prototipe adalah menjadikan mata pelajaran Informatika sebagai mata pelajaran wajib dengan alasan di dalam Kompetensi Kurikulum baru ini akan lebih banyak mengedepankan Kompetensi yang mengacu pada teknologi sebagai persiapan peserta didik dalam menyongsong industri 4.0 abad 21.
Kurikulum 2022; Gagasan Awal
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menawarkan kurikulum baru pada tahun 2022 yang lazim juga disebut sebagai Kurikulum Paradigma Baru.
Kurikulum pengganti Kurikulum 2013 (K-13) yang tengah diujicobakan di 2.500 sekolah penggerak ini diklaim lebih fokus pada materi yang esensial dan tidak terlalu padat materi sehingga guru memiliki waktu untuk pengembangan karakter dan kompetensi. Dikutip dari laman Kemendikbud, Kurikulum Paradigma Baru memiliki struktur kurikulum di antaranya Profil Pelajar Pancasila (PPP) yang akan mendasari Standar Isi Pendidikan, Standar Proses Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan.
Ini akan menjadi acuan dalam menetapkan Struktur Kurikulum, Capaian Pembelajaran (CP), Prinsip Pembelajaran, dan Assesmen.
Kurikulum 2013; Celah untuk diganti
Kurikulum 2013 yang diimplementasikan sebagai pengganti kurikulum 2006 atau KTSP sejatinya tidak disiapkan untuk mengantisipasi datangnya gelombang pandemi Covid-19 yang secara tiba-tiba dan berkepanjangan menerpa bangsa kita—juga dunia—sehingga dari sisi konten atau standar isi, proses, kompetensi dan evaluasi tidak mampu untuk beradaptasi dengan realitas perkembangan yang terjadi.
Kuruikulum 2013 merupakan kurikulum yang terintegrasi. Maksudnya merupakan suatu model kurikulum yang dapat mengintegrasikan skill, themes, concept, and topics baik dalam within singel disciplines, across several disciplines and within and across learning.
Dengan kata lain kurikulum 2013 merupakan kurikulum terpadu sebagai sebuah pendekatan sistem dan pembelajaran yang melibatkan beberapa disiplin ilmu atau mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna dan luas kepada peserta didik.
Esensi dari kurkulum 2013 ada pada upaya penyederhanaan dan sifatnya yang tematik-integratif dengan pendekatan saintific approach. Peserta didik diharapkan mampu melakukan observasi, bertanya, bernalar dan mengkomunikasikan (mempresentasikan) apa yang mereka pelajari.
Kurikulum 2013 dan kurikulum 2022 (Kurikulum Prototype); Perbandingan
Seperti yang telah diuraikan di atas. Kurikulum Prototype ini sebenarnya sudah bisa kita rasakan pada saat ini, khususnya pada jenjang SMP Ke atas. Terutama pada akses teknologi pembelajaran yang mengharuskan penggunaan mata pelajaran Informatika untuk kelancaran dalam proses pembelajaran, meski di Kurikulum 2013 mata pelajaran Informatika masih bersifat pilihan.
Secara singkat kurikulum Paradikma baru ini memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah; Pertama, Dalam proses pembelajaran terfokus pada materi esensial (materi literasi dan numerasi) sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar; Kedua, Pembelajarannya dirancang berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter (iman, taqwa, dan akhlak mulia; gotong royong; kebinekaan global; kemandirian; nalar kritis; kreativitas); dan Ketiga, Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Ada beberapa perbedaan antara kurikulum 2013 dengan kurikulum 2022 (Prototipe) di tiap jenjang atau level pendidikan. Pertama untuk level TK; Pendekatan pembelajaran pada kurikulum 2013 yang awalnya berbasis tema pada kurikulum 2022 (Kurikulum Prototipe) akan berubah menjadi berfokus pada literasi (buku yang digemari anak-anak); Kedua Untuk level SD; Untuk jenjang SD tidak lagi bersifat tema akan tetapi untuk Pelajaran IPA dan IPS akan digabung menjadi IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial) pada kurikulum Prototipe. Hal ini dimkasudkan sebagai pondasi peserta didik sebelum anak belajar IPA dan IPS secara terpisah pada jenjang SMP;
Ketiga untuk level SMP; Pada jenjang SMP Kompetensi pembelajaran akan lebih mengedepankan teknologi dan untuk Pembelajaran Informatika menjadi Mata pelajaran wajib; Keempat untuk level SMA; Untuk jenjang SMA pada Kurikulum 2013 siswa SMA masuk langsung memilih penjurusan. Akan tetapi untuk di Kurikulum 2022 siswa mengambil dan menentukan kelas peminatan pada kelas 11, karena perlu berkonsultasi dengan guru BK, wali kelas, dan orang tua.
Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2022; Telaah Pendidikan Ibnu Sina
Semua konsep kurikulum dibangun di atas pondasi untuk kemajuan, kemandirian dan integritas peserta didik agar dapat mandiri dan bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya. Sehingga, kurikulum tidak hanya bertumpu pada kecerdasan. Tetapi sedapat mungkin dengan meminjam bahasa Dedi Mulyasana berorintasi pada hand (skill), head (kecerdasan) dan heart (memiliki hati, empati dan simpati).
Ibnu Sina dengan nama lengkap Abu ‘Ali Husin Ibnu 'Abdullah Ibnu Hasan Ibnu Ali Ibnu Sina. Lahir di Akhshanah, dekat Bukhara pada tahun 370 H/980 M., di usianya yang masih belia Ibnu Sina sudah mampu mempersembahkan karyanya tentang hukum Islam, filsafat, ilmu alam, matiq (logika) dan matematika (geometri). Karyanya yang paling berpengaruh adalah Kitab Qanun fi al-Tibb (Canon of Medicine), Kitab Ash-Shifa’, Kitab an-Najat, Kitab Fi Aqsami al-‘Ulumi al-‘Aqliyah, Kitab Lisanu al-Arab dan Kitab al-Isharat wa-al-Tanbihat.
Tentang pendidikan, Ibnu Sina berpandangan bahwa formulasinya harus bertumpu pada akhlak. Logika yang dibangunnya karena akhlak menentukan karakter bangsa, akhlak suatu bangsa rusak maka bangsa itu akan hancur. Kondisi sosial yang seperti ini—langsung atau tidak—telah berpengaruh terhadap konsep pendidikannya.
Ibnu Sina juga berpandangan, dari sisi tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan potensi yang dimiliki oleh seseorang ke arah perkembangan yang sempurna—baik fisik, intelektual dan budi pekerti—secara bersamaan.
Ibnu Sina juga perpandangan, pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Dengan demikian akan mampu memunculkan tenaga-tenaga profesional, dengan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya teoretik tetapi juga melatih skill, mengubah budi pekerti ke arah yang lebih baik dan kebebasan peserta didik untuk berfikir.
Dengan demikian aspek kurikulum dibuat sebagus apapun harus bertumpu—dengan bahasa Ibnu Sina pada akhlaq—pada membangun kepribadian, karakter dan budi pekerti yang sesuai dengan agama dan kondisi sosial masyarakatnya.
Ibnu Sina jauh sebelum UNESCO mencanangkan 4 (empat) pilar dalam proses pembelajaran; Learning to know, to do, to be dan live together telah diimplementasikannya dengan sempurna menuju masyarakat yang berkeadaban.
Sehingga perlu diupayakan—sebagaimana juga pada Kurikulum 2022—the ultimate goal—dari pendidikan menjadikan peserta didik yang berakhlak, mencintai kearifan lokal yang tidak melulu mengandalkan kecerdasan intelektual.
Kalau lembaga pendidikan hanya menghasilkan output dengan gelar pendidikan yang panjang lalu menjadi koruptor, tidak bermoral dan mengandalkan kesombongan. Maka tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, lembaga pendidikan telah gagal. Karena telah mencetak manusia yang tidak manusiawi.
*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur