Aswaja Dalam Bingkai Karakter KeIndonesiaan; Mewujudkan Indonesia Sejahtera
Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
Sangat miris dan menghawatirkan melihat kondisi bangsa saat ini; kasus korupsi, krisis moral dan keteladan, seks bebas, aborsi, hamil di luar nikah dan kasus criminal lainnya.
Realitas juga membuktikan berita utama media massa menunjukkan bahwa teknik kejahatan yang dilakukan saat ini tergolong sophisticated crimes yang menuntut adanya suatu keahlian khusus, seperti: pembobolan ATM, pemanipulasian pajak, lobbying kepada pengambil keputusan (makelar kasus), dan sebagainya. Melengkapi kasus sikap intoleran, sikap ekstrim, menganggap paling benar, dan ‘monopoli surga’ hanya milik golongannya.
Kasus-kasus di atas merupakan wujud realitas pendidikan saat ini dikatakan gagal karena target yang tertulis pada Undang-undang tentang tujuan pendidikan tidak menemukan hasil tetapi malah sebaliknya moralitas peserta didik semakin turun seperti contoh di atas.
Diperlukan solusi terbaik dalam membangun Pendidikan, terutama Pendidikan karakter yang tidak hanya diajarkan tetapi dipraktekkan, dibiasakan. Dalam konteks Pendidikan bisa dilakukan melalui basis kelas, sekolah dan komunitas untuk saling bersinergi.
Membentuk Karakter/Kepribadian; Menilik Peran Keluarga
Pendidikan Karakter Secara sederhana, karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, tabi’at dan watak (KBBI, 1990). Karakter juga menyangkut bagian dari ciri kepribadian seseorang. Menurut Morison, kepribadian adalah apa yang dicapai seseorang individu dengan menampilkan hasil- hasil kultural dan evolusi sosial. Sementara C. H. Judd menyatakan, bahwa kepribadian adalah hasil lengkap, serta merupakan hasil keseluruhan dari proses perkembangan yang telah dilalui individu.
Dalam kajian psikologi kepribadian diungkapkan, bahwa ada dua aspek utama, yang membentuk karakter atau kepribadian, yakni: Pertama, temperamen; dan Kedua, watak (karakter). Temperamen menyangkut aspek biologis yang disandarkan pada konstitusi tubuh. Berdasarkan pendekatan ini muncul sejumlah pendapat mengenai tipe kepribadian manusia. Hypocrates dan Galenus menyatakan bahwa tipe kepribadian dipengaruhi oleh jenis cairan yang dominan dalam tubuh Lalu Kretchmer membagi tipe kepribadian atas dasar bentuk tubuh. Sedangkan Sheldon menyusun pembagian tipe kepribadian ini berdasarkan dominasi lapisan dalam tubuh tampaknya para pakar ini melihat hubungan antara komposisi unsur kimiawi tubuh, bentuk tubuh dan tipe kepribadian seseorang. Unsur-unsur kimiawi tubuh yang berpengaruh dalam pembentukan aspek dari kepribadian yang disebut temperamen. Sebaliknya aspek watak atau karakter terbentuk oleh intervensi dari luar, khususnya melalui pendidikan.
Pembentukan karakter pada dasarnya adalah wujud dari upaya sadar yang dilakukan untuk mengubah sikap dan perilaku. Sebagai sikap batin, karakter atau watak termasuk unsur kepribadian yang dapat diubah. Menurut Mar’at, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi- reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman, dan penghayatan individu. Sikap merupakan prediksi posisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi.
Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang. Jadi bukan faktor bawaan. Dorothy Law Notle menghubungkan pembentukan sikap melalui proses belajar. Dorothy Law Notle mencoba melukiskan proses dimaksud dalam sebuah puisi berjudul “Children Learn What They Live“ Anak-anak belajar dari kehidupan mereka;
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki,
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi,
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri,
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri,
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri,
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri,
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai,
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan,
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan,
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri,
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Puisi gubahan Dorothy Law Notle ini menyibak sejumlah rahasia tentang pendidikan anak. Anak akan belajar dari pengalaman yang ia peroleh dari lingkungan dan perlakuan yang diterimanya.
Bila ditelusuri secara cermat, sejatinya muatan yang teramu dalam gubahan Dorothy Law Notle dimaksud, sudah harus diawali sejak usia dini. Tepatnya sejak masa bayi. Penerapannya mulai dari aktivitas keseharian di lingkungan keluarga. Proses pembentukan yang dilakukan melalui pembiasaan. Sebab pendidikan sendiri hakikatnya adalah pembiasaan. Melatih pada kebiasaan yang baik. Pembentukan kebiasaan akan lebih efektif bila didukung oleh sosok teladan yang dapat dijadikan panutan
Sedemikian penting peran keluarga, dalam kajiannya Murdock (1949) dan Haviland (1998) mengungkapkan bahwa keluarga memiliki dua fungsi. Pertama, menyangkut masalah seksual. Fungsi kedua adalah pemeliharaan anak. Dalam fungsi ini, selain menyangkut pemeliharaan fisik juga termasuk pembentukan karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yaitu masyarakat. Pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, menunjukkan bahwa bagaimana anak dibentuk melalui hubungannya dengan kedua orangtua. Kewajiban kedua orangtua dalam mendidik anak meliputi penataan suatu lingkungan dalam suasana yang kondusif dalam kehidupan keluarga.
Dalam pandangan Erich Fromm lingkungan kondusif bagi pendidikan mencakup lingkungan bendawi dan manusiawi. Kedua lingkungan ini merupakan faktor yang punya dampak dominan bagi pembentukan sikap dan perilaku seseorang. Lingkungan bendawi adalah penataan benda-benda yang bernilai pendidikan di sekitar lingkungan anak, utamanya dalam keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan manusiawi adalah sosok keteladan yang diperlihatkan orang-orang yang berada di lingkungan anak, khususnya keluarga. Kedua faktor ini ikut memberi pengaruh positif dan menentukan bagi terwujudnya pembentukan sikap dan perilaku yang dikehendaki.
Demikian besar dan dominannya pengaruh lingkungan dimaksud, sampai- sampai Gilbert Highest menyatakan, bahwa kebiasaan yang dimiliki anak- anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur, hingga ke saat akan tidur kembali, anak- anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Ungkapan Gilbert Highest ini setidaknya mengisyaratkan penting dan stategisnya fungsi dan peran keluarga, khususnya kedua orangtua, dalam membentuk karakter. Pembentukan melalui proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga. Dimulai dari hal- hal yang paling mendasar, yakni asupan makanan dan minuman, serta pola asuh
Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan dari pendidikan karakter memang sangagt baik yaitu mengembalikan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Penyelenggaraan penguatan pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai pembentukan karakter bangsa secara masif dan efektif melalui lembaga pendidikan dengan prioritas nilai-nilai tertentu yang akan menjadi fokus pembelajaran, pemahaman, pengertian, dan praktik. Dalam konteks Indonesia tentu penanaman nilai-nilai karakter itu harus selaras dengan ideologi negara, yakni Pancasila.
Menurut Wibowo (2016:11) dalam proses perkembangan dan pembentukannya, karakter seseorang dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Secara psikologis perilaku berkarakter merupakan perwujudan dari potensi Intelegence Queotient (IQ) yang dimiliki oleh seseorang. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural pada akhirnya dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni: (1) olah hati (spiritual and emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (affective and creativity development).
Ketiga proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang..
Lebih holistic lagi, sebagai sebuah bangsa kita memiliki landasan teologis keagamaan dalam membangun karakter—lebih spesifik yang menjadi dogma di kalangan Nahdhiyyin—yakni Aswaja.
Aswaja dan Penguatan Karakter Bangsa
Aswaja menurut KH. Bisri Musthofa (Masyhudi Muchtar, 2007) adalah paham yang menganut pola mazhab fiqih yang empat; Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Malik. Selain itu , Aswaja juga disebut paham yang mengikuti al-Asy’ariyah dan al-Ma’turidiyah dalam bidang aqidah. Dalam kaitannya dengan tasawuf mengikuti al-Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. Sehingga menururt KH. Dawam Anwar (2007) memahami Aswaja seperti memahami Islam itu sendiri. Jadi kalau ada yang mengatakan Islam itu tidak akomodatif, berarti sama saja menuduh Islam tidak akomodatif (tidak berselancar dengan perkembangan zaman).
Salah satu konsep dari pemahaman Aswaja—yang kemudian oleh KH. Said Aqiel Siradj harus didekonstruksi pada aspek-aspek tertentu dengan tujuan agar Aswaja tidak berpenampilan eksklusif tapi sebaliknya inklusif—memiliki pemahaman; Tawasuth, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.
Yang dimaksud dengan tawasuth (moderat) ini, sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak terhadap hal-hal yang sifatnya ekstrim. Tasamuh, sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Tawazun (seimbang), sebuah keseimbangan sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang, dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Amar ma'ruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Dari empat konsep Aswaja di atas, ada pokok yang paling ditekankan bagaimana konsep Aswaja bisa diaplikasikan dengan baik oleh warga NU. Aswaja sebagai paham keagamaan yang di dalamnya mempunyai konsep moderat (tawasuth), setidaknya harus memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Karena budaya, sebagai kreasi manusia yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bisa terjamin. Budaya memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun sosial.
Dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu bil jadidi al-ashlah", melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi budaya.
Jadi tidak semuanya budaya itu jelek, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengandung kebaikan maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan dan layak untuk diikutinya. Ini sesuai dengan sebuah kaidah fikih, "al-adah muhakkamah" bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.
Dengan demikian dalam konteks Aswaja mengajarkan kepada kita—termasuk bangsa—tidak hanya karakter berperilaku baik, tetapi bagaimana menginternalisasi soft skill bangsa untuk dapat menerima perbedaan di atas kemajemukan, saling menghormati, dan saling mengingatkan.
Aswaja dalam Bingkai Moderasi Beragama Konteks Indonesia
Dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam konsep Aswaja—dalam Bahasa KH. Dawam Anwar (2007) memahami Aswaja seperti memahami Islam itu sendiri—karena sebagaimana disebutkan dalam QS. 2: 143 disebutkan bahwa ummat Islam adalah umatan wasathan yaitu moderat, yang tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri (Hairul Puadi: 2014).
Moderasi beragama dikenal dalam Bahasa Arab dengan istilah Islam wasathiyah. Yang lebih mengarah pada makna adil, utama, pilihan atau terbaik, dan seimbang antara dua posisi yang berseberangan. Kata wusuth memiliki makna al-mutawassith dan al-mu’tadil. Kata al-wasath juga memiliki makna al-mutawassith baina al-mutakhashimain (penengah di antara dua orang yang sedang berselisih) (Kemenag RI, 2019: 6).
Dalam kajian Islam secara akademik, Islam wasathiyah juga disebut justly-balanced Islam, the middle path atau the middle way Islam, dan Islam sebagai mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan penyeimbang.
Pemahaman ini menunjukkan bahwa Islam wasathiyah mengedepankan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah agar tidak terjebak pada sikap keagamaan ekstrim. Selama ini, konsep Islam wasathiyah dipahami untuk merefleksikan prinsip tawasuth (tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), I’tidal (adil) dan iqtishad (sederhana).
Definisi wasathiyah yang berangkat dari makna-makna etimologis di atas adalah suatu karakteristik terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan bersikap ekstrim. Moderasi juga bisa didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat (Hanafi, 2009: 40). Dengan definisi ini, sikap wasathiyah akan melindungi seseorang dari kecenderungan terjerumus pada sikap berlebihan.
Dengan demikian tidaklah berlebihan, sebagaimana diungkapkan Zuhaili (2006: 583), jika dikatakan cara berpikir dan bersikap moderasi yang paling mungkin membawa stabilitas dan ketenangan, yang akan sangat membantu kesejahteraan individu dan masyarakat. Hal ini dikarenakan wasathiyah merupakan realisasi dari esensi kehormatan moral dan kemuliaan Islam.
Jika bangsa kita memiliki dan menginternalisasi karakter nilai-nilai moderasi sebagaimana dalam ajaran Aswaja yakni tawasuth (moderat), tawazun (berkesimbangan), I’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), dan syura (musyawarah). Maka—sebagiamana dikatakan Zuhaili—stabilitas, ketenangan, dan kesejahteraan bangsa akan menjadi sebuah keniscayaan.
Pada konteks demikian, pelembagaan nilai-nilai Aswaja juga menemukan momentumnya untuk terus diinternalisasikan kepada individu, komunitas dan bangsa.
*)Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur Indramayu