Highcost; Menjadi Presiden/Kepala Daerah di Indonesia
Calon Presiden 2024 (Dok. CNBC) |
Memimpin itu menderita, memimpin itu tanggungjawab, memimpin itu memotivasi, demikian yang ditulis oleh Alfan Alfian. Tentu banyak lagi sederet kalimat untuk menjelaskan tentang makna kepemimpinan. Mungkin juga ada yang menulis pemimpin sama dengan kekuasaan yakni sebuah kesempatan dan peluang untuk memperkaya diri dan kroninya. Atau mungkin juga ada yang ‘aneh’—di zaman Kalatida seperti yang disampaikan Ronggo Warsito—masih ada yang mengatakan bahwa kekuasaan bukanlah segalanya, kekuasaan itu intinya adalah mensejahterakan.
Pemimpin Sejati
Yang pasti pendekar sejati bukanlah pemimpin berkelas salon, yang merengek pada dan takut kehilangan kekuasaan, sehingga begitu masa jabatannya habis ingin mencari penggantinya yang diharapkan bisa meneruskan keinginannya atau untuk menutupi ‘aib’ selama kepemimpinannya.
Pemimpin otentik tidak perlu bedak dan gincu. Ia tidak takut keramain kerumunan, dan juga pada kesepian dan kesendirian. Ia tidak perlu polesan yang terjebak pada lipservice. Pemimpin merubah kerumunan menjadi barisan, jamaah, para pengikut yang visioner, para kader yang mumpuni.
Di wilayah dan segmen apa saja—termasuk politik—pemimpin sejati tetap sejati, karakternya tidak akan lentur oleh godaan.
Persoalannya, masih adakah pemimpin sejati, ketika di Indonesia misalnya untuk memilih seorang pemimpin masuk kategori highcost?
Persoalan Kepemimpinan di Indonesia
Tahun 2007 Syafii Antonio (Nio Gwan Chung) misalnya menulis buku “Muhammad SAW., The Super Leader Super Manager”, tentang korupsi yang dilakukan para oknum pemimpin kita sekarang ini ternyata lebuh parah dari masa Orde Baru.
Jika sebelum Orde Baru korupsi terkonsentrasi di pemerintahan pusat, kini tersebar merata di semua lapisan birokrasi. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi yang dilakukan oleh oknum penegak keadilan yang sejatinya bertugas membertantas korupsi; seperti kepolisina, kejaksaan dan pengadilan.
Saat ini, pihak eksekutif atau pemerintah tampaknya sangat hati-hati dalam melaksnakan tender APBD/APBN karena kekhawatiran akan dikejar oleh KPK dan melanggar PP. No. 80/2003 (dengan 6 kali revisinya). Ketakutan berbuat salah adalah gejala yang sehat tetapi hal ini juga membuka peluang baru untuk para pengawas pembangunan dan penegak keadilan. Mereka seperti mendapat ‘lahan’ baru yang dengannya bisa menekan eksekutif.
Untuk bisa aman tidak ada acara lain bagi eksekutif kecuali harus ‘membayar’ para pengawas dan penegak hukum tersebut. Dari mana sumbernya diambil? Jelas dari APBN/APBD. Siapa yang akan dirugikan? Jawabannya pasti rakyat karena jatah pemabangunan proyek dan sarana public menjadi semakin kecil. Tidak mengherankan mengapa infrastruktur layanan public—seperti jalan, dan fasilitas umum lainnya—di negeri ini sangat memprihatinkan.
Kebocoran ini semakin menjadi-jadi ketika system otonomi daerah belum bisa dipahami dan dilaksanakan dengan jiwa dewasa dan penuh tanggungjawab. Muncul ‘raja-raja’ kecil yang secara arogan bersikap sebagai penguasa dengan abai pada kesejahteraan rakyat. Kenapa? Mereka mengalami disorientasi nilai dengan diawali ongkos untuk menjadi pemimpin yang sangat mahal.
Pemimpin di Indonesia; Highcost
Sangat mengejutkan pernyataan Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019) bahwa untuk menjadi kapala daerah di Indonesia membutuhkan dana ratusan milyar, dan untuk menjadi calon presiden harus menyediakan dana minimal sekitar lima trilyunan dan kalau tidak memiliki dana pribadi akan dikumpulkan dari oligarki yang ada hubungannya dengan power dan policy yang akan dibuat oleh negara dan pemerintah.
Hal ini yang menjadi faktor pemantik maraknya korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah.
Pada catatan ICW sepnjang tagun 2010-Juni 2018 tidak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh apparat penegak hukum, kasus ini ini juga ibarat fenomena gunung es, yang boleh jadi jumlahnya semakin banyak.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya kasus korupsi kepaa daerah salah satunya karena tingginya ongkos politik.
ICW mencatat mahalnya ongkos politik setidajnya oleh dua hal; Pertama, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying); Kedua, jual beli suara (vote buying). Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015 untuk mencalonkan diri sebagai bupati/walikota hingga gubernur membutuhkan dana Rp. 20-100 milyar. Sementara pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekita Rp. 5 milyar selama satu periode.
3 Aspek; Penyebab Kasus Korupsi
Kasus korupsi kepala daerah dapat dilihat dari 3 aspek. Pertama, tata Kelola partai politik dan kebutuhan modalitas kontestasi electoral; Kedua, lemahnya fungsi pengawasan, baik dalm praktik pengadaan barang, proses perizinan, dan pengisian jabatan; dan ketiga, rendahnya hukuman bagi para pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Ini misalnya yang terjadi pada kasus Wali kota Bekasi 2018-2022 Rahmat Efendi yang terkena OTT KPK Rp. 5,7 milyar dengan modus korupsi suap proyek pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi. Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud juga diamankan KPK karena OTT Rp. 1.4 Milyar kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Juga kasus Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-Angin yang diamankan KPK karena OTT Rp. 786 Juta pada kasus suap pengadaan barang dan jasa.
Tentu harapan kita dengan mengacu pada 3 aspek penyebab kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah yang harus dilakukan adalah pengkaderan partai yang mumpuni, pengawasan yang keta tatas sejumlah proyek dan hukuman yang berat bagi para pelaku korupsi.
Di atas itu semua, memimpinlah dengan cinta; rakyat akan mencintai pemimpinnya dan Tuhan akan memberikan keberkahan.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, Tinggal di Indramayu