Kepemimpin di Era “Kebenaran Baru”; Membedah Era Post Truth dan Masa Depan Pemimpin Politik
Berita tentang Ma’had al-Zaytun Indramayu menarik dinamika ghiroh keagamaan dan polemik pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Panji Gumilang baik dari sisi narasi maupun praktinya telah memantik masyarakat untuk melakukan demo dan ‘memaksa’ pemerintah untuk turun tangan.
Tetapi pada tulisan ini tidak akan membahas tentang Ma’had al-Zaytun dengan segala kontoversinya, ada orasi ilmiah yang sangat menarik yang pernah disampaikan oleh Dahlan Iskan di Ma’had al-Zaytun ini pada 20 Mei 2023.
Orasi yang membuka mata kita semua, bahwa ada tantangan baru baik bagi Perguruan Tinggi ‘pencetak’ para sarjana sekaligus juga tantangan bagi para juru dakwah dalam menyampaikan kebenaran.
Kita sekarang berada di era post truth, era yang mengusung truth yang bukan sebenarnya, tetapi sarat dengan kepentingan. Media sosial sebagai wahana di era ini menjadi sangat ampuh bagi para buzzer untuk menyebar berita hoax menjadi sebuah kebenaran, dan ini kemudian yang disebut “kebenaran baru” yang mendasarinya dengan persepsi bukan fakta.
“Kebenaran Baru” yang Gila-Gilaan
Pada orasi ilmiahnya di Ma’had al-Zaytun Indramayu, Dahlan Iskan menyampaikan bahwa di zaman Media sosial yang ia menyebutnya sangat gila-gilaan, ada yang kemudian disebut dengan “kebenaran baru”. Sekarang ini kebenaran saja tidak cukup, akan disebut kuno. Siapa yang ‘mengejar’ kebenaran itu akan ketinggalan, karena munculnya “kebenaran baru” ini. “Kebenaran baru” ini berbeda dengan kebenaran. Karena “kebenaran baru “ ini tidak mendasarainya pada fakta, fakta pada “kebenaran baru” tidak mencerminkan kebenaran.
Dengan demikian, ketika kita berbantah di media sosial dengan cara menyampaikan fakta-fakta, sekarang ini menjadi sesuatu yang tidak berguna, karena fakta tidak lagi menjadi bagian dari kebenaran.
“Kebenaran baru” ini dasarnya adalah persepsi, bukan fakta. Kebenaran lama “based on facts”, kebenaran lama bertumpu pada fakta, kebenaran baru bersumber pada persepsi. Dengan demikian, persepsi menjadi dasar kebenaran dan persepsi ini dibentuk atas dasar frame—bukan fakta—yang kemudian disebut dengan framing.
Lalu pertanyaannya, apa urgensinya Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga Pendidikan lainnya? Kalau orang bisa mencari kebenaran hanya dengan dasar framing. Ini persoalan besar dan tantangan bagi para sarjana, cendekia, sekaligus Perguruan Tinggi dan Lembaga Pendidikan lainnya—sebagai Lembaga pencetak ilmuwan—karena di zaman gila-gilaan—yang disebut Ronggo Warsito dengan kalatida—seperti ini fakta tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang urgent, sebaliknya framing jauh lebih penting.
Dari sini kemudian memunculkan para buzzer, yang pada akhirnya para pendakwah—pejuang kebenaran—akan mampu dikalahkan oleh para buzzer. Pertanyaan berikutnya apakah fakultas dakwah harus diganti dengan fakultas buzzer di era kebenaran baru ini? Inilah tantangan kita bersama.
Era Post Truth; Truth yang Sarat Kepentingan
Apa yang disampaikan oleh Dahlan Iskan dengan terma “Kebenaran Baru” ini, diskursusnya sudah lama.
Memang kita sekarang berada di era post truth. Era yang mengusung truth yang bukan sebenarnya, tetapi sarat dengan kepentingan. Kamus Oxford mendefinisikan istilah post truth sebagai kondisi bahwa fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kondisi ini memang memuncak dalam momen politik yang digerakkan oleh sentimen emosi.
Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya. Pada tahun 2016, Kamus Oxford mentasbihkan kata "post-truth" sebagai "kata tahun ini". Dari kamus Oxford dijelaskan, kata ini untuk mendefinisikan situasi, ketika keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.
Istilah post-truth menurut penjelasan Kamus Oxford digunakan pertama kali tahun 1992. Istilah itu diungkapkan oleh Steve Tesich di Majalah The Nation ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode tersebut. Tesich menggarisbawahi bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post-truth. kebenaran pada pandangan ini tidak tunggal, tapi majemuk dan celakanya semua orang merasa memiliki otoritas untuk mengklaim benar pandangannya.
Pada tahun 1992 post-truth digunakan dalam pengertian yang sedikit berbeda dan tidak berimplikasi pada makna kebenaran yang menjadi tidak relevan. Sementara itu Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan comedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.
Selain ditandai dengan merebaknya berita hoax di media sosial, era post-truth juga ditandai dengan kebimbangan media dan jurnalisme khususnya dalam menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari para politisi. Kasus selama pemilu presiden Amerika 2016 menjadi bukti bahwa semakin sering media menyiarkan berita-berita bohong soal Donald Trump, hal itu justru bisa membuat nama Trump semakin populer dan kebohongan-kebohongannya tersebar luas.
Dalam konteks politik perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan dan menempatkan kebenaran di posisi kedua. Meski post-truth dianggap sebagai masalah modern, ada kemungkinan bahwa ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan politik, tetapi kurang terkenal sebelum kehadiran Internet. Dalam novel Nineteen Eighty-Four, George Orwell membayangkan sebuah negara yang mengganti catatan sejarah setiap hari agar cocok dengan tujuan propaganda saat itu.
Inilah yang terjadi di kita sekarang, semua mengklaim paling benar, dan paling berjasa—walaupun bukan otoritasnya—bahkan dengan bermodalkan pembenaran yang diklaimnya—dengan sedikit ancaman dan atas nama rakyat—jika pandangan dan aspirasinya tidak direspon akan memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Munculnya terma chebong dan kampret pada pemilu presiden beberapa waktu lalu dengan mengklaim pembenaran masing-masing, saling menjatuhkan dan menebarkan berita hoax, nyaris memporakporandakan bangunan persatuan yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Pemimpin Politik di Era Post Truth
Hoax dibuat agar masyarakat masuk perangkap labirin konflik, kata Alfan Alfian. Para “siluman ular” sengaja membuat perangkap melalui variasi berita bohong sebagaimana diklasifikasikan dalam teori propaganda, mereka mengacak-acak kemapanan untuk meraih tujuan politik atau bisnis.
Dalam konteks politik perbedaan pandangan yang dipantik hoax mendorong divergensi politik dan sosial yang luas, ujungnya kekacauan. Inilah yang diungkapkan oleh Eric Schmidt dalam The New Digital Age (2013) yang juga dikutip Alfan Alfian, pada abad digital ini media menyediakan peluang yang sama bagi semua orang untuk berbuat baik atau kejahatan seluas-luasnya. Potensi perbuatan baik sebanding dengan yang jahat. “Siluman ular” begitu pandai dalam melakukan penyamaran sebagai figure-figur yang baik, hati, protagonist, pahlawan atau pembela kebenaran. Ia bisa menjelma sebagai seorang artis, politikus, tokoh agama, birokrat, aparat keamaanan, wartawan bahkan bisa menjadi siapa saja.
Tantangan kepemimpinan politik di era ini adalah bagaimana seorang pemimpin mampu membuktikan bukan bagian integral dari atau—bahkan—”siluman ular” itu sendiri yang bermental hipokrit, penuh kepura-puraan dan hanya lipservice. Tetapi sebaliknya pemimpin yang berorientasi pada pelayanan-pelayanan prima untuk masyarakatnya, sehingga corak pemimpin yang dikehendaki lebih ke—meminjam Bahasa Nixon—prosa, bukan puisi.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, Tinggal di Indamayu