‘Dosa Besar’ Dunia Pendidikan; Bullying, Intoleran dan Pelecehan Seksual
Oleh: Masduki Duryat*)
Dunia Pendidikan kita diperhadapkan pada persoalan yang sangat pelik dan menuntut keseriusan dalam pengelolaannya.
Mulai dari mutu luaran Pendidikan kita yang belum kompetitif, sarana prasarana Pendidikan yang belum memadai—untuk tidak mengatakan sangat tertinggal—seperti yang pernah disampaikan Anies R. Baswedan—ketika menjadi Mendikbud—peserta didik kita berada di abad 21, gurunya berada di abad 20, sementara sarana-prasarana pendidikannya berada di abad 19.
Belum lagi problem kebijakan Pendidikan kita yang selalu terjebak pada 3 (tiga) persoalan; elitis, instant dan sering terjadi distorsi. Kebijakan dunia Pendidikan kita alih-alih akan mengeliminir antara dinamika masyarakat yang semakin cepat perubahannya dan ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi dalam pendidikan, malah sebaliknya sering kali memunculkan persoalan baru.
Akhir-akhir ini dunia Pendidikan kita juga menghadapi persoalan yang semakin menggurita; Bullying (perundungan), intoleransi dan pelecehan seksual. Yang kalau tidak segera dieliminir akan menjadi ‘dosa besar’ dunia Pendidikan kita karena dinggap gagal. Apalagi kalau 3 (tiga) hal ini malah terjadi dalam dunia Pendidikan kita.
Kasus Bullying (Perundungan)
Kata bully dalam Bahasa Indonesia adalah perundungan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa arti kata bully adalah rundung, sedangkan bullying adalah perundungan. Menurut KBBI edisi ke-5, kata rundung memiliki arti mengganggu, mengusik terus-menerus dan menyusahkan.
Kasus bullying di kita—apalagi terjadi di Lembaga Pendidikan, pesantren—sangat menghawatirkan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat sembilan kasus dari tahun sebelumnya yang menandakan aturan yang dibuat belum terealisasi dengan optimal.
Dari 30 kasus tersebut, setengahnya terjadi di jenjang SMP, 30 persen terjadi di jenjang SD, 10 persen di jenjang SMA, dan 10 persen di jenjang SMK. Jenjang SMP paling banyak terjadi perundungan, baik yang dilakukan peserta didik ke teman sebaya maupun yang dilakukan pendidik.
Kasus terbaru yang terjadi di Pesantren. Dugaan penganiayaan berujung kematian seorang santri di bawah umur di sebuah pesantren di Kediri, Jatim, yang sangat memilukan dan memalukan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebenarnya sudah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun, peraturan itu belum diimplementasikan ke semua sekolah hingga daerah-daerah.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyebutkan, tim PPK seharusnya sudah dibentuk enam bulan setelah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 diluncurkan pada Agustus lalu. Artinya, pada Januari 2024 semua sekolah dan madrasah di Indonesia wajib memiliki Tim PPK.
Intoleran
Puluhan kasus intoleransi terjadi di Indonesia sejak 2019-2023. Angka ini misalnya disampaikan Wakil Direktur Direktorat Sosial Budaya Baintelkam Polri, Chaerul Yani.
Dari data yang dipaparkan, terjadi 7 kasus intoleransi di 2019, 14 kasus di 2020, 11 kasus di 2021, dan 3 kasus di 2022. Pada 2023, kasus intoleransinya cukup tinggi hampir setengahnya ada 30 kasus.
Faktor munculnya paham intoleransi, antara lain kepribadian, pengetahuan yang memutlakkan, hubungan dengan kekuasaan, dan menganggap pribadi atau golongannya paling benar. Sangat disayangkan bahwa gadget yang selama ini hadir di hidup masyarakat juga menjadi salah satu penyebab terjadinya intoleransi.
Dalam dunia Pendidikan dengan meminjam Bahasa UNESCO (2005) pembelajaran harus memenuhi 4 (empat) pilar; learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk terampil), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Artinya pembelajaran yang dibangun di sekolah tidak berhenti pada aspek know, do dan be tapi juga harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain walaupun berbeda pandangan. Dalam konteks pembelajaran sekarang ini yang kemudian dikembangkan dengan terma soft skill.
Pemerintah dalam konteks ini, Kementerian Agama sangat intens menyuarakan tentang moderasi beragama dan beberapa Lembaga Pendidikan juga membentuk Satgas pencegahan agar tidak terjadi kasus intoleran. Misalnya ini dilakukan pada Satuan Pendidikan LP Ma’arif yang juga dilegitimasi oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Belajar dari praktik baik beberapa organisasi di luar negeri yang programnya sukses menurunkan tingkat perundungan, Mendikbudristek juga menyampaikan perlu dilibatkannya pelajar, terutama mereka yang populer di sekolah. Menurut menteri Nadiem, mereka perlu dilibatkan untuk menjadi otoritas yang menangani perundungan, intoleransi, dan kekerasan. Sebab mereka merupakan mini pemengaruh (influencer) bagi teman-temannya.
Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU Muhammad Ali Ramdhani menyampaikan, Satgas Ma'arif Bermartabat P2KPI dibentuk sebagai upaya pencegahan agar tidak ada persoalan kekerasan, perundungan, dan intoleransi berkembang di satuan pendidikan LP Ma’arif.
Pelecehan Seksual
Pada KBBI, pelecehan berasl dari kata leceh yang berarti memandang rendah, menghinakan atau tak berharga. Sedangkan kata seksual berasal dari kata seks, seks berkenaan dengan jenis kelamin dan hal yang berkenaan dengan perkera persetubuhan antara laki-laki dan Perempuan, serta hal lainnya yang mengandung unsur yang bersifat Hasrat atau nafsu seksual.
Dengan demikian pelecehan seksual menurut KBBI adalah dua kata yang disatukan yang bermakna merendahkan, menghinakan kaum Perempuan. Segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dialkukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya bisa berupa ucapan, tulisan, symbol, isyarat dan Tindakan yang berkonotasi seksual.
Ada 3 (tiga) bentuk pelecehan seksual; Pertama, bentuk visual misalnya tatapan yang penuh nafsu, tatapan yang mengancam, gerak-gerik yang bersifat seksual; Kedua, bentuk verbal, misalnya siulan, gossip, gurauan seks, pernyataan yang bersifat mengancam/seksual; dan Ketiga, bentuk fisik. Misalnya sentuhan, mencubit, menepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, mendekatkan diri tanpa diingankan.
Dalam konteks hukum di Indonesia, pelaku pelecehan seksual dapat dipidana seperti yang yang diamanatkan dalam KUHP misalnya dari pasal 281-291 dari pidana hukuman 2 -7 tahun tergantung dari jenisnya.
Pada tahun 2023 Komnas Perempuan mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 sebanyak 289.111 kasus. Walaupun data ini menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan (55.920 kasus, atau sekitar 12%) dibandingkan tahun 2022. Merujuk pada fenomena gunung es, data kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut merupakan data kasus yang dilaporkan oleh korban, pendamping maupun keluarga. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan bisa jadi lebih besar. Di balik angka tersebut, kita juga mengenali pengalaman korban untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang masih jauh dari harapan, walau berbagai kebijakan untuk melindungi perempuan dari berbagai tindak pidana telah tersedia.
Lebih spesifik tentang pelecehan seksual di lingkungan Lembaga Pendidikan, berdasarkan Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, kekerasan seksual mencakup perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang.
Salah satu yang dilakukan oleh Kemendikbudristek untuk mencegah Tindakan pelecehan seksual ini adalah dengan mengeluarkan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur