Politik Kekuasaan dalam Pendidikan; Problem Domestifikasi dan Stupidikasi
Ilustrasi : Bing Image |
Oleh: Masduki Duryat*)
Sekian lama kita mengalami Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan. Peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah).
Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya.
Siapa yang tidak tersinggung—apalagi seorang praktisi dan pengelola pendidikan—ketika ada orang yang mengatakan; “Kalau saja ijazah di negeri ini tidak menjadi persyaratan formal, maka tidak akan saya sekolahkan anak ke lembaga formal untuk mengejar selembar ijazah”. Ijazah menjadi segalanya di republik ini, kita tidak akan diterima bekerja di institusi tertentu—walaupun memiliki kemampuan—ketika tidak memiliki ijazah. Ijazah menjadi tujuan, bukan alat (tool). Sehingga ijazah menjadi simbol status, strata sosial yang harus dicapai dengan berbagai cara—termasuk dengan uang.
Skandal Gelar Tanpa Nalar
Jusuf Kalla ketika menjadi Wapres sempat meragukan terhadap gelar sarjana, S2 dan S3 yang disandang para calon kepala daerah. Seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, tiba-tiba banyak kepala daerah bergelar ria, mulai dari SE, SH, MM, MBA, bahkan doktor. Padahal menurutnya, untuk mendapatkan gelar doktor—apalagi guru besar—sungguh sangat sulit persyaratannya terutama dari sisi akademik.
Kerisauan Jusuf Kalla atau mungkin juga kita semua, patut muncul di tengah merebaknya ijazah palsu dan potret kelam dunia pendidikan kita yang diperhadapkan dengan sikap pragmatis masyarakat yang lebih memilih instant, korupsi, narkoba, prostitusi, dan budaya hedonistik lainnya.
Ijazah, sejatinya hanyalah tanda atau simbol, bahwa seseorang telah mempelajari bidang tertentu. Tetapi pada tataran aplikatif ternyata ijazah atau sertifikat itu yang ternyata harus dikejar. Ini pula yang terjadi di sebagian masyarakat kita yang lebih mementingkan tampilan formal daripada substansi.
Hal ini lebih diperparah dengan sikap pemerintah dan lembaga tertentu yang mementingkan ijazah daripada performa seseorang dan kompetensinya. Bagi orang yang berduit dan haus penghargaan atau gelar, tentu tidak sulit mengambil jalan pintas untuk mendapatkan gelar. Tetapi efek lebih jauh dari formalisasi tersebut adalah hancurnya korelasi antara gelar yang disandangnya dengan kualitas yang dimilikinya, sehingga memunculkan ‘inflasi’ gelar.
Problem Pendidikan Berdasarkan Kekuasaan
Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih banyak mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Setidaknya ada beberapa masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan, antara lain; Pertama, Domestifikasi dan Stupidikasi. Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan.
Artinya, peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah). Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya.
Dengan pemujaan tersebut, dampaknya sangat luas seperti bertaburannya para pemegang ijazah yang tidak berkualitas, namun tak jarang mendapatkan posisi penting dan strategis dalam sebuah instansi baik negeri maupun swasta.
Kedua, Indoktrinasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuaya berada dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya.
Semua serba sentralistik, anak ingin menjadi apa, dimekanisasi termasuk keinginan negara. Kurikulum selalu berubah dengan mengesampingkan kreativitas guru yang terjebak pada aspek-aspek administrative. Melalui kurikulum inilah proses indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi.
Pengelolaan Lembaga Pendidikan yang Demokratis; Belajar dari Paulo Freire
Pendidikan tidak boleh terjebak pada domestifikasi dan stupidikasi. Di sini diperlukan demokratisasi dalam Pendidikan.
Pada pandangan Paulo Freire, dunia pendidikan memerlukan kepemimpinan yang revolusioner, metodanya bukan hanya ‘propaganda libertarian’ yang tidak hanya sekedar ‘menanam’ tetapi dengan dialog. Kepemimpinan revolusioner mesti mempraktekkan pendidikan ko-intensional. Artinya para guru dan murid sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek, bukan hanya dalam tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi.
Dunia kependidikan kita—sejak era kolonial kemerdekaan, dan bahkan sampai era reformasi ini—masih menyisakan banyak persoalan yang tidak pernah bisa diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit-kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”.
Cita-cita pembangunan masyarakat baru kiranya belum dielaborasikan ke dalam visi, misi, dan orientasi sistem pendidikan. Strategi perubahan “revolusioner”, sebagai peran yang harus dimainkan oleh pendidikan, belum jelas atau bahkan sengaja tidak diperjelas. Sehingga eksistensi sekolah sebagai pemasok utama masyarakat berpendidikan hanya menjadi media reproduksi ideologi pemerintah.
Ini perlu dimaklumi, “karena negara ini tidak pernah di/melahirkan pemimpin yang akomodatif terhadap pendidikan maju, sehingga pertanggungjawaban secara akademis/intelektual di akhir jabatan pun bukan sesuatu yang utama”.
Hal yang cukup relevan dengan dunia pendidikan kita adalah kenyataan bahwa masih kurangnya pengalaman kita dalam berdemokrasi, termasuk lemahnya demokrasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kelemahan itu sangat tampak pada lemahnya penegakkan nilai-nilai sebagai orientasi idealitas kehidupan yang bermakna pengukuhan terhadap nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan (adalah), persamaan (musawwa) dan kemerdekaan (hurriyah).
Dalam konteks kemerdekaan ini lagi-lagi Freire menyampaikan, sekolah harus menjadi alat menyampaikan kritik untuk menentang praktek-praktek hegemoni—bukan hanya wacana—sebab jika tidak, kritik hanya akan terlempar pada jurang keputusasaan.
Pergeseran Paradigma; Sebuah Solusi
Di sini pula pentingnya melakukan rekonstruksi dunia Pendidikan kita. Rekonstruksi dunia pendidikan itu didasari dengan semakin terbukanya ruang pendidikan, ditengarai arah pendidikan akan bergeser ke pengelolaan yang lebih profesional, terbuka dan demokratis.
Dampak ikutan dari itu semua telah mendorong terjadinya pergeseran sistem, arah, dan tata kelola pendidikan. Oleh karena itu, sekolah tidak cukup hanya membekali peserta didik dengan selembar ijazah.
Dedi Mulyasana dengan lebih detil dan jelas menyampaikan bahwa implikasi dari itu semua telah mengakibatkan pergeseran dalam paradigma pendidikan. Hal ini menurutnya, dapat terlihat antara lain dari fenomena berikut ini: Pertama, kekuatan simbol (ijazah) akan bergeser ke kuatan kemampuan performa. Kedua, kekuatan individu akan bergeser ke kuatan jaringan. Ketiga, kekuatan formal akan bergeser ke daya pengaruh. Keempat, persaingan akan bergeser dari harga ke layanan dan kualitas. Kelima, persaingan akan bergeser dari darat ke dunia maya. Oleh karena itu jangan jual tenaga, keterampilan, dan ilmu semata, tapi juallah kepercayaan.
Fenomena pergeseran tersebut akan ‘memaksa’ pendidikan dikelola secara terencana dengan tujuan yang jelas dan terukur hasilnya. Proses pembelajaran lebih menekankan pada kualitas proses daripada kuantitas hasil. Manajemen pendidikan tidak lagi mengutamakan sesuatu yang bersifat administratif, melainkan pada proses pematangan kualitas peserta didik.
Dengan menganalisis fenomena pergesaran tersebut—sebagian sudah terjadi saat ini—maka diperlukan upaya-upaya agar bagaimana menjadikan lembaga pendidikan bermutu dan mampu bersaing untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas, bukan kuantitas gelar yang hadir tanpa nalar.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur