Wacana Makan Siang Gratis bagi Anak Sekolah dan Politik Pendidikan sebagai Kekuasaan
Ilustrasi makan siang gratis |
Oleh: Masduki Duryat*)
Wacana makan siang gratis untuk anak sekolah—yang merupakan program salah satu Capres—akan dibebankan pada dana BOS. Menko Perekonomian mewacanakan ini dan menimbulkan gelombang riuh pada dunia pendidikan, pasalnya dana BOS yang ada sekarang masih sangat menyulitkan bagi sekolah-sekolah yang intensitas kegiatannya sangat tinggi. Realitasnya masyarakat Indonesia masih membutuhkan fasilitas, sarana prasarana pendidikan dan penambahan gedung pendidikan baru ketimbang program makan siang gratis.
Ini bagian kecil dari politik kekuasaan di bidang pendidikan, dalam konteks ini politik anggaran dalam pendidikan.
Wacana ini semakin melengkapi isu di tengah masyarakat tentang adagium ganti menteri, ganti kurikulum. Jangankan esensi dari kurikulum, terma-terma yang ada di kurikulum saja belum paham betul, sudah diganti kurikulum yang baru, itu yang dikeluhkan oleh beberapa guru, yang berpandangan pesimis terhadap kebijakan pergantian kurikulum ini. Kurikulum merdeka—yang katanya akan menyederhanakan dan guru tidak terjebak pada aspek administratif—sering dimemekan di medsos, guru malah terjebak pada rutinitas tugas; pagi bertugas menyampaikan ilmu, siang mengerjakan tugas dan malam disibukkan dengan webinar.
Belum lagi persoalan kualitas, ‘kemauan negara’ anak akan menjadi apa, pemerataan guru dan akses pendidikan, kesenjangan ekonomi, dan politik kekuasaan di bidang pendidikan lainnya misalnya dengan pembiaran masyarakat menjadi bodoh dengan stupidifikasi, domistifikasi dan indoktrinasi yang dilakukan oleh negara.
Kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemantiknya dua hal; Pertama, dinamika masyarakat yang sedemikian cepat dan Kedua, ekspektasinya yang sangat tinggi dalam persoalan pendidikan. Alih-alih akan mengeliminir dua persoalan tersebut, malah memunculkan masalah baru dalam pendidikan.
Makan Siang Gratis bagi Anak Sekolah
Wacana makan siang gratis bagi anak sekolah diwacanakan oleh Menko Perekonomian akan dibebankan ke dana BOS, sebelumnya juga beredar berita bahwa anggaran makan siang gratis ini akan diambil dari subsidi BBM yang dicabut karena dianggap salah sasaran.
Persoalan ini muncul akibat dari program Capres yang tidak terukur dan menggunakan skala prioritas. Atau boleh jadi politikus akan terjebak pada persoalan antara janji dan realitas merupakan dua hal yang berbeda, kalau Rene Descartes beradagium cogito ergo sum—aku perpikir, maka aku ada—pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada. Politisi selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, realisasi adalah hal lain. Ini mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev politisi itu semuanya sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.
Sekedar menyebut contoh, Organisasi Profesi Guru menghitung Dana BOS yang sekarang masih sangat kurang, apalagi sekolah yang intensitas kegiatannya tinggi. Sekedar menyebut contoh, BOS untuk anak SD itu Rp. 900.000/pertahun/anak jika makan siang dibebankan ke BOS maka ada sekitar Rp. 4,8 juta/anak/tahun ada kekurangan Rp. 3,9 juta itupun jika di bulan Ramadhan tidak ada jatah makan siang. Dengan demikian alokasi lain tidak teranggarkan, bagaimana kondisi sekolah dan guru honorer?
Kemudian kalau anggarannya ditambah misalnya dibutuhkan anggaran Rp. 450 triyun, kalau sekarang anggaran pendidikan Rp. 660 triyun.,ditambah makan siang berarti Rp. 1.050 trilyun, atau sembilan kali lipat dari anggaran BOS sekarang. Kalau Rp. 450 trilyun., tentu masih efektif untuk membangun sekolah baru, fasilitas dan biaya sekolah dan kuliah yang tidak terlalu mahal—termasuk tidak pinjam Pinjol—untuk biaya kuliah. Karena anak-anak Indonesia tidak masuk kategori yang kurang makan.
Ini persoalan baru yang muncul kalau kebijakan makan siang garis tetap dibebankan ke dana BOS, belum lagi untuk anak SLTP dan seterusnya. Siapa yang akan mengelola dana makan siang ini? Tidakkah ini juga akan memunculkan ‘sarang’ korupsi baru?
Politik Pendidikan sebagai Kekuasaan
Ada empat definisi mengenai politik pendidikan. Pertama, politik pendidikan adalah metode mempengaruhi pihak lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Kedua, politik pendidikan lebih berorientasi pada bagaimana tujuan pendidikan dicapai. Ketiga, politik pendidikan berbicara mengenai metode untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya anggaran pendidikan, kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat dan sebagainya. Keempat, politik pendidikan berbicara mengenai sejauh mana pencapaian pendidikan sebagai pembentuk manusia Indonesia yang berkualitas penyangga ekonomi nasional, pembentuk bangsa yang berkarakter.
Politik pendidikan sebagai kekuasaan merujuk pada bagaimana keputusan politik dan kebijakan pemerintah memengaruhi sistem pendidikan suatu negara. Hal ini mencakup pengaturan pendanaan, kurikulum, standar pendidikan, serta aksesibilitas pendidikan bagi masyarakat.
Politik pendidikan juga melibatkan interaksi antara pemerintah, lembaga pendidikan, guru, siswa, dan masyarakat dalam menentukan arah dan kualitas pendidikan. Kebijakan pendidikan sering kali mencerminkan nilai-nilai politik yang dominan dalam suatu masyarakat, dan keputusan tentang apa yang diajarkan, bagaimana itu diajarkan, dan siapa yang mengajarkannya dapat mencerminkan distribusi kekuasaan yang ada. Misalnya, dalam sistem pendidikan yang otoriter, kebijakan pendidikan dapat digunakan untuk memperkuat penguasaan pemerintah atas masyarakat, sementara dalam sistem demokratis, kebijakan pendidikan mungkin lebih tercermin dari proses politik yang lebih terbuka dan inklusif.
Politik dalam Mempengaruhi Sistem dan Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan bangsa. Namun, pendidikan di Indonesia tidak luput dari pengaruh politik.
Politik dapat memengaruhi sistem dan kebijakan pendidikan dalam berbagai aspek, mulai dari kurikulum, pendanaan, hingga akses pendidikan. Politik memiliki pengaruh besar pada sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Pengaruh itu antara lain; Pertama, kebijakan tentang kurikulum, pendanaan dan akses Pendidikan. Kedua, Pendidikan sebagai alat kontrol dan legitimasi, misalnya melalui indoktrinasi ideologi atau penekanan pada kepatuhan terhadap norma dan nilai yang ditetapkan pemerintah. Ini dilakukan misalnya pendidikan dapat digunakan untuk membentuk identitas nasional dan menanamkan rasa cinta tanah air. Sejarah dan pendidikan kewarganegaraan dapat dimanipulasi untuk mendukung agenda politik tertentu; Ketiga, Distribusi Sumber Daya dan Kualitas Pendidikan. Misalnya Politik dapat mempengaruhi distribusi sumber daya pendidikan dan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Contohnya, daerah terpencil dan tertinggal mungkin memiliki akses yang lebih sedikit ke sekolah berkualitas dan guru yang kompeten.
Pendidikan Sebagai Alat untuk Memperjuangkan Perubahan dan Keadilan Sosial
Pendidikan bukan hanya tentang belajar di sekolah dan mendapatkan nilai bagus. Pendidikan memiliki kekuatan besar untuk mengubah kehidupan dan menciptakan masyarakat yang lebih adil. Pendidikan ditengarai harus memiliki peran; Pertama, Meningkatkan kesadaran kritis; Kedua, Membangun kapasitas dan keterampilan; Ketiga, Memberdayakan kelompok marginal; Keempat, Mendorong partisipasi politik; Kelima, Membangun gerakan sosial:
Problem dan Tantangan dalam Memahami Politik Pendidikan sebagai Kekuasaan
Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih banyak mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Setidaknya ada beberapa masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan, antara lain : Domestifikasi dan stupidikasi.
Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imperialisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah). Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya.
Problem berikutnya adalah Indoktrinasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuanya berada dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya. Semua serba sentralistik, anak ingin menjadi apa, dimekanisasi termasuk keinginan negara. Kurikulum selalu berubah dengan mengesampingkan kreativitas guru yang terjebak pada aspek-aspek administratif. Melalui kurikulum inilah proses indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi.
Oleh karena itu diperlukan beberapa solusi dari problem pendidikan berdasarkan kekuasaan. Pertama, Pengelolaan lembaga pendidikan yang demokratis; Kedua, Pengelolaan dan pengembangan sekolah secara otonom dan demokratis; Ketiga, Memperkuat pengawasan kekuasaan.
Ada banyak tantangan pendidikan sebagai kekuasaan. Politik pendidikan sebagai kekuasaan bukan berarti meniadakan peran penting pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Justru dengan memahami politik pendidikan, kita dapat lebih kritis dalam melihat sistem pendidikan dan mendorong perubahan positif untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas dan adil bagi semua.
Tantangan dalam memahami politik pendidikan sebagai kekuasaan, antara lain: Keseimbangan kebutuhan pendidikan dan tuntutan politik, mencegah indoktrinasi dan propaganda politik, membangun sistem pendidikan yang demokratis dan inklusif, kompleksitas dan multidimensi politik pendidikan.
Kesimpulannya bahwa memahami politik pendidikan sebagai kekuasaan adalah proses yang kompleks dan penuh dengan dilema dan tantangan. Namun, dengan memahami dan mengatasi tantangan ini, kita dapat membangun sistem pendidikan yang lebih adil dan berkualitas untuk semua.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur