Rapor Merah Pendidikan; Menyoal Kebijakan Pengangkatan Guru P3K dan Penggembosan Potensi Sekolah Swasta
Oleh: Masduki Duryat*)
Saat ini kita diperhadapkan oleh realitas, bahwa perubahan dalam dunia pendidikan sedemikian cepat dan tidak linier tetapi dengan lompatan-lompatan yang sulit untuk diprediksi. Hal ini ‘memaksa’ dunia pendidikan untuk terus berbenah dan melakukan perubahan dalam wilayah metodologi pembelajaran, materi, kurikulum, suasana sekolah dan paradigma pendidikannya jika tidak ingin ditinggalkan oleh ‘pelanggannya’ dan dianggap ‘out of date’.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi—termasuk dalam bidang Pendidikan—tidak dapat lagi diikuti dengan kasat mata sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang rumit dan kompleks, serta memerlukan pemecahan secara proporsional.
Guru dalam Tantangan Global
Pemenang Hadiah Nobel bidang ekonomi, Joseph Stiglitz, dalam Harian Global (2008) mendefinisikan globalisasi sebagai "integrasi lebih dekat antara negara dan penduduk dunia… melalui cara penghancuran batas artifisial untuk arus barang, jasa, modal, pengetahuan danpenduduk secara lintas batas." Thomas Friedman dalam bukunya, The World is Flat, menulis bahwa dunia kini menjadi sebuah tingkat lapangan permainan.
Apa implikasi semua itu bagi dunia pendidikan? Dengan bahasa mudah bisa dikatakan negara yang tidak menghasilkan lulusan tingkat dunia akan terjungkal di lapangan datar kompetisi—sebab di dunia yang datar—semua kompetitor memiliki peluang sama. Jadi siapa saja yang tidak mampu meningkatkan kemampuan dalam kesempatan ini akan tertinggal di belakang.
Lebih khusus lagi, peneliti pendidikan menemukan negara yang gagal membangun standar "pendidikan internasional", secara negatif akan berpengaruh pada kondisi ekonomi, politik, dan masalah sosial dunia. Seruan ini mengingatkan pentingnya melihat bagaimana standar pendidikan "internasional" di Indonesia; dan bagaimana setiap guru—termasuk guru agama mampu mempersiapkan siswanya untuk bersaing di dunia global secara kompetitif.
Pendidikan lokal pada semua tingkat masih jauh dari standar kompetitif global; termasuk juga di Indonesia. Pada tahun 2005 ada sekitar 10.854.254 lulusan pendidikan sekarang "masih menganggur." (Kusnandar (2007: 3). Jumlah ini adalah lulusan sarjana dan diploma,termasuk lulusan SMA yang berasal dari pendidikan lokal. Para analisis menyebut ini masalah nasional karena rendahnya kemampuan guru dan kualitas belajar di Indonesia.
Maka tidak mengejutkan, dari sekitar 2,7 juta guru di negara ini, hanya 300.000 yang memiliki sertifikat mengajar. Para guru di Indonesia memiliki kendala berbagai macam termasuk minimnya pelatihan, rendahnya kualifikasi pendidikan, kecilnya gaji dan buruknya fasilitas pendukung. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berkomitmen untuk menaikkan anggaran pendidikan. Meski, kompensasi penambahan anggaran ini tidak serta merta dapat meningkatkan kualitas guru untuk mencapai standar internasional.
Rapor Merah Pendidikan (Kita)
Sangat miris ungkapan Prof. Hafid Abbas, dalam tulisannya “Rapor Merah Pendidikan” (Kompas, 20/02/2020) misalnya mengungkapkan terjadi paradox dalam pengelolaan pendidikan nasional. Paling tidak ada tiga hal; Pertama, kecenderungan semakin besarnya anggaran pendidikan tetapi di sisi lain semakin mutu pendidikan Indonesia makin merosot. Terbukti pada APBN 2018 alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp. 444 triliyun dan pada 2020 angka ini meningkat ke RP. 508 triliun. Rangking PISA Indonesia menunjukkan urutan ke-65 (2015) dan turun menjadi urutan ke-72 (2018) di antara 77 negara karena skor kemampuan membaca, matematika dan sains anak Indonesia terus menurun.
Kedua, anggaran sertifikasi guru yang terus meningkat, tetapi belum berbanding lurus dengan mutu pendidikan nasional. Pada APBN 2017 anggaran sertifikasi mencapai Rp. 75,2 Triliun dan tahun berikutnya naik pada angka 79,6 triliun.
Namun publikasi Bank Dunia, “Spending More or Spending Better; Inproving Education Financing in Indonesia” (2013), menunjukkan tidak terdapat dampak program sertifikasi guru terhadap peningkatan mutu pendidikan nasiona; Ketiga, pengangkatan 100.000 guru setiap tahun sudah sangat suplus menurut standar ninternasional. Dengan sekitar 50 juta jumlah siswa pendidikan dasar dan menengah dengan 4 juta jumlah guru (Kemdikbud, 20/12/2019) berarti setiap guru hanya mengajar 12-12 siswa. Sementara rata-rata rasio internasional sebanyak 20-21 siswa per guru. Jepang misalnya, rasionya 27-28 siswa perguru (UNESCO, 2017). Dengan menggunakan standar internasional, Indonesia sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru.
Menurut Masduki Duryat (2016: iv) peran guru sangat sentral dalam pembelajaran dan tak tergantikan walaupun memasuki era disrupsi dan revolusi industri 4.0 hal ini misalnya diperkuat dengan menyetir penelitian yang dilakukan Sudjana bahwa 76,6% hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kompetensi guru, dengan rincian; kompetensi guru mengajar memberikan sumbangan 32,43%, penguasaan materi pelajaran memberikan sumbangan 32,38% dan sikap guru terhadap mata pelajaran memberikan sumbangan 8,60%.
Peran Sekolah Swasta dan Diskriminasi Kebijakan
Di tengah berbagai persoalan yang mendera dunia Pendidikan kita—khususnya peningkatan kompetensi guru—sekolah swasta yang diselenggarakan oleh Yayasan memiliki peran yang sangat penting. Puluhan tahun membina guru-guru honorer agar tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) tetapi juga kecerdasan adversity (AQ). AQ adalah kecerdasan untuk tetap bertahan walaupun ujian bertubi-tubi menerpa mereka—spirit of survival—agar tetap eksis.
Pengangkatan guru P3K; Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang dikenal dengan P3K di Indonesia menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir ini. Karena total penduduk Indonesia yang merupakan negara terbanyak nomor empat di dunia menjadi faktor pendukung membludaknya pengangguran di Indonesia.
Polemik ini sangat umum terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, mulai dari gaji yang minim dan lapangan pekerjaan yang sangat sempit membuat berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan, masyarakat Indonesia pun berlomba-lomba mendapatkan gelar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dianggap menjanjikan bagi masa depan mereka.
Tetapi ketatnya persyaratan dan tes dalam penerimaan anggota Pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut membuat beberapa orang yang bernasib kurang baik, gagal dan memilih mengabdikan diri menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Akan tetapi pada kenyataannya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau P3K tersebut tidak mendapatkan fasilitas dan honor yang layak seperti para Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bahkan dari segi honor, tunjangan, dan jaminan hidup yang didapat oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak didapatkan oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau P3K.
Dengan adanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) ini diharapkan akan terciptanya pelayanan publik yang dapat menjamin efisiensi, dan akurasi dalam pengambilan keputusan dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga meningkatnya produktivitas yang baik dalam pelayanan pemerintahan terhadap publik.
Dampak positif yang ditimbulkan adanya kebijakan ini yakni guru honorer mendapatkan kesejahteraan yang layak karena mereka tidak lagi harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhanya. Dengan demikian, guru dapat lebih fokus pada tugasnya sebagai pendidik sehingga proses pembelajaran dapat terlaksana dengan maksimal.
Tetapi efek negatif yang ditimbulkan adanya kebijakan ini banyak sekolah swasta yang mengalami kekurangan guru karena guru yang mengikuti dan lulus seleksi PPPK mereka dipindahkan ke Sekolah milik pemerintah. Sebuah kebijakan yang diskriminatif dan dilematis bagi sekolah swasta. Secara pelan-pelan guru-guru potensial yang ada di sekolah swasta ‘digembosi’ oleh kebujakan pengangkatan guru P3K. Kebijakan dengan memanfaatkan ketidakberdayaan sekolah swasta.
Dilematis dalam pengertian, satu sisi belum memberikan kesejahteraan secara maksimal, tetapi sisi lain pembinaan secara bertahun-tahun yang dilakukan sirna dengan kebijakan pengangkatan guru P3K dari sekolah swasta ini. Keluhan Yayasan dan kepala sekolah swasta hampir sama, kebijakan penempatan guru P3K sangat diskriminatif dan tidak solutif serta melemahkan potensi sekolah swasta.
Dalam konteks ini Yayasan melalui BMPS meminta kepada pemerintah, melalui Dirjen GTK agar guru dan kepala sekolah swasta yang lulus PPPK tetap ditempatkan di sekolah asal. Pertanyaannya, mungkinkah? Kita tunggu keberpihakan pemerintah terhadap sekolah swasta.
*)Penulis adalah dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur