-->

ads

DEWA; Menatap Masa Depan Indramayu

Kamis, 20 Juni 2024

 

H. Dedi Wahidi (Gambar Wikipedia)


Oleh; Masduki Duryat*)


Membahas kepemimpinan—apalagi dalam konteks politik—di tahun 2024 ini selalu menarik untuk dibahas.


Siapa yang menjadi pemimpin tidak terlalu penting untuk dibahas, yang menarik tentu apakah seorang pemimpin itu memiliki kriteria yang oleh Bambang Trim disebutnya FAST+I; Pertama, Fathanah; Cerdas, cerdik, terampil dan professional; Kedua, Amanah; jujur, obyektif, adil dan aspiratif; Ketiga, Shidiq; benar dan komitmen pada kebenaran; Keempat, Tabligh; komunikatif, transfaran, demokratis, siap bermusyawarah. Kemudian ditambah I, Istiqamah, konsisten, ajeg. 


Sepak terjang pemimpin menggambarkan kredibilitas pribadi sang pemimpin sekaligus karakter massa pendukung dan kualitas organisasi pengusungnya. Maka, seorang pemimpin wajib memiliki berbagai karakter positif, seperti yang disebutkan di atas, misalnya jujur, melayani, berani, siap dikritik dan rela berkorban. Pemimpin harus berani menghadapi realitas konsekuensi ucapan dan perbuatannya yang tidak koneksitas.


Dalam fiqh siyasyah, moral yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah untuk kemaslahatan agama dan bangsa. Kaidah fiqh menyebutkan: “tasharruf imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah“, (Tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.


Meminjam bahasa Imam Ghazali pada buku Adab Berpolitik; Nasihat dan Hikayat untuk pemimpin dan Penguasa; Kejayaan dan keruntuhan dunia bersumber dari penguasa. Jika penguasa adil, niscaya dunia akan berjaya dan rakyat akan merasa nyaman.


Tentu dalam konteks Indramayu, kita membutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang adil, melayani, konsisten dan memberikan rasa nyaman kepada masyarakatnya yang akan berdampak pada kesejahteraan dan kemashlahatan. 


Salah satu figur yang dirindukan itu, ada pada sosok Dewa; Dedi Wahidi untuk hadir menatap masa depan Indramayu dengan totalitas kinerjanya ke arah yang lebih baik. 


Dewa; Sang Pionir

Dedi Wahidi telah membuktikan dirinya sebagai pionir dalam dunia pendidikan melalui peran pentingnya di Yayasan Darul Ma’arif Indramayu. Sebagai seorang pembina yayasan dan anggota DPR RI yang pernah beberapa kali menjabat di Komisi yang berbeda tapi tetap konsisten mengawal aspirasi masyarakat baik ketika di komisi X, VIII,  maupun di komisi V DPR RI. 


Dewa telah memainkan peran krusial dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pendidikan yang memberikan dampak positif bagi masyarakat luas—tidak hanya masyakarat di wilayah Dapil Indramayu, Kota/kab. Cirebon—tetapi untuk Indonesia. 


Kebijakan pendidikan yang dipelopori oleh Dewa memiliki dampak yang signifikan, salah satunya dapat dilihat pada implementasinya di Yayasan Darul Ma’arif Indramayu. Dewa, dengan latar belakangnya sebagai anggota DPR RI dan pengalamannya di Komisi X yang membidangi pendidikan, telah membawa perspektif yang berharga dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang inovatif dan inklusif. Yayasan Darul Ma’arif merupakan manifestasi nyata dari visinya untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengetahuan akademis tetapi juga pada pengembangan karakter dan keterampilan praktis.


Dewa dan Kisaran Kebijakan Politik PKB

Pusaran kebijakan politik di PKB menemukan salah satu sumbu sentralnya pada sosok Dedi Wahidi di Dapil Jabar VIII, seorang anggota DPR RI dari fraksi PKB. Dalam dinamika politik Indonesia, terutama di dalam lingkup Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Dewa menjelma sebagai figur kunci. Sebagai anggota partai yang memiliki basis yang kuat di kalangan umat Islam, terutama di Nahdlatul Ulama, peran Dewa tidak hanya sebatas sebagai seorang legislator. Tetapi juga sebagai perwakilan dan suara bagi aspirasi serta kepentingan masyarakat di dapil VIII Jabar, khususnya dalam konteks pendidikan.


Dalam bidang pendidikan, Dewa menjadi penggerak kebijakan yang signifikan.  turut mempelopori berbagai inisiatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Melalui keterlibatannya di DPR RI dan dalam partai, Dewa terus memperjuangkan reformasi pendidikan yang inklusif dan berkeadilan, memastikan bahwa setiap anak bangsa mendapat akses pendidikan yang berkualitas tanpa diskriminasi.

Sebagai representasi dari dapil VIII Jabar, Dewa juga aktif dalam mengadvokasi kebutuhan khusus dan masalah-masalah lokal yang dihadapi oleh masyarakat di daerahnya. Dengan pendekatan yang progresif dan solutif, ia berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperkuat infrastruktur pendidikan di tingkat lokal, menciptakan kondisi yang mendukung pembangunan manusia yang berkualitas melalui sistem pendidikan yang lebih baik.


Melalui dedikasi dan komitmennya, Dewa tidak hanya memainkan peran penting dalam politik partai, tetapi juga dalam membentuk kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas, khususnya dalam sektor pendidikan. Dengan demikian, kontribusinya tidak hanya terbatas pada level legislasi, tetapi juga dalam mewujudkan visi inklusif dan berkeadilan untuk pendidikan di Indonesia.


Dewa; Menatap Masa Depan Indramayu

Dengan modalitas dan performa yang komplit, desakan Masyarakat akan kehadiran Dewa untuk tidak hanya dalam perspektif nasional berkontribusi mendarmabaktikan pengabdiannya. Tetapi ini momentum tepat dan krusial untuk pengabdian nyata di daerah yang telah menghantarkannya pada titik ini, Indramayu.


Pada tulisan sebelumnya tentang “Indramayu Menunggu Dewa”, Dewa adalah paket komplit, kalau Sun Tzu sebagaimana diadaptasi oleh Alfan Alfian pernah menyampaikan bahwa kepemimpinan itu gabungan unsur kecerdasan, sifat amanah, rasa kemanusiaan, keberanian dan disiplin. Itu ada pada performa seorang Dewa. Kata Sun Tzu, hanya ketika seseorang memiliki kelima unsur itu kemudian manyatu dalam dirinya, dan masing-masing dalam porsi yang tepat, baru dia layak dan bisa menjadi seorang pemimpin sejati. 


Konsep Indramayu pada perspektif Dewa, yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan. Agar kita tidak minder tetapi harus mampu ‘jemawa’ di hadapan ummat dan bangsa lain dengan keunggulan kita sebagai khaira ummah, tentu dengan variable ilmu dan iman yang kita miliki.


Beliau selalu menyampaikan, kita harus tampil secara personal maupun institusional lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Tetapi kehebatan dan keunggulan juga tidak memiliki dampak apapun jika tanpa dibarengi dengan keteguhan dan konsistensi. Keteguhan dan konsistensi ini yang akan juga menjadi katalisator kemajuan. Banyak pemimpin yang tidak mampu ‘membumikan’ konsepnya karena filosinya ‘obor blarak’, hanya semangat di awal tanpa dikawal dengan konsistensi.


Dewa selalu menghadirkan ‘rahmat’ di manapun posisi yang diamanahkan kepadanya. Ketika menjabat sebagai ketua PW NU Jawa Barat, beliau berkeliling ke beberapa kabupaten dan berdialog dengan bupati/wali kota untuk bersinergi dengan NU—sebagai ormas terbesar di Indonesia yang ‘berwajah’ ramah, berbasis kultural dalam berdakwah dengan Islam Nusantaranya—salah satunya keinginnya membangun gedung dakwah NU dan ini direspon dengan baik oleh para kepala daerah. Ketika peletakan batu pertama pembangunan gedung NU PW Jawa Barat, ketua PB NU ketika itu KH. Hasyim Muzadi sampai mengatakan “mulai saat ini status ‘ashabil kahfi’ saya cabut dari kepengurusan PW NU Jawa Barat”. Ini adalah millestone, tonggak sejarah karena NU Jawa Barat memiliki ‘rumah sendiri’ sehingga dengan tenang menyusun program dan mengimplementasikannya. 


Demikian pula ketika beliau menjabat ketua DPW PKB Jawa Barat, segera membangun gedung sendiri, yang biasanya ‘ngontrak’. Sehingga sungguhpun ketika beliau sudah menjadi anggota DPR RI dan tidak menjadi ketua DPW PKB lagi, kolega dan sahabat-sahabat beliau masih memanggilnya ketua. Dengan berseloroh mereka mengatakan, “bapak tetap menjadi ketua, yang lain adalah pengganti”.


Tentu dalam skala yang lebih kecil, local Indramayu. Dewa akan lebih mudah mengelolanya, karena dalam skala yang lebih luas; Provinsi dan Nasional Dewa mampu membuktikan kepemimpinannya. 


Komunikasi Dewa yang bagus, jejaringnya yang luas, aspiratif, mampu menggerakkan Masyarakat untuk terlibat dalam Pembangunan dan tentu dengan dukungan semua lapisan Masyarakat Indramayu.  Kemudian ditambah lagi basic kemampuan keagamaannya yang kuat dan dengan landasan teologis kata-kata nabi, optimisme ini tidak berlebihan. Kata nabi tegaknya suatu bangsa, daerah harus ditopang oleh 4 pilar; Pertama, ilmunya ulama; Kedua, adilnya penguasa; Ketiga, kedermawanan orang-orang kaya; dan Keempat, doanya orang miskin.


*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana UIN SSC dan Ketua STKIP AL-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur


3 comments:

Anonim mengatakan...

Nama:Sanda Firana
Kelas:MPI C
Meningkatkan literasi Pancasila dan moderasi beragama di kalangan Generasi Z sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan. Diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, untuk mewujudkan hal ini. Generasi Z memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang membawa nilai-nilai Pancasila dan moderasi beragama ke dalam kehidupan sehari-hari.

Anonim mengatakan...

Nama : Qothrun Nada
Kelas : MPI 1 C
Menurut saya, rendahnya pemahaman Generasi Z terhadap nilai-nilai Pancasila dan moderasi dalam beragama. Generasi ini cenderung lebih rentan terpapar ideologi radikal melalui media sosial, yang berpotensi menimbulkan intoleransi dan polarisasi sosial. Pentingnya pendidikan dan peran keluarga menjadi kunci dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi beragama guna menghindari ekstremisme. Solusi utamanya adalah meningkatkan literasi Pancasila dan moderasi beragama melalui pendekatan edukatif di sekolah dan masyarakat.

Anonim mengatakan...

Titin sumarin MPI B
Menurut saya,Generasi Z hidup di era yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan akses yang tak terbatas ke informasi dari seluruh dunia. Ini membuat mereka terpapar pada berbagai ideologi, budaya, dan pandangan hidup. Seringkali, nilai-nilai lokal seperti Pancasila atau ajaran tentang moderasi beragama bisa tampak "kurang relevan" bagi mereka jika tidak disajikan secara kontekstual atau menarik.