-->

ads

Bupati yang Memimpin dan Pemilih yang Cerdas

Minggu, 18 Agustus 2024

 


Oleh: Masduki Duryat*)

 

Kontestasi pemilihan bupati Indramayu masih mencari formula, sudah bermunculan kandidat dari berbagai partai. Masih wait and see dan termasuk kemungkinan berpasangan dengan calon dari partai atau tokoh lain.  Saat ini ‘genderang perangnya’ belum dimulai, mungkin sekitar Agustus akhir akan semakin jelas kandidat-kandidat yang akan berkontestasi setelah mendapatkan rekomendasi dari partainya masing-masing. Diawali dengan pendaftaran calon bupati dan wakil bupati, kemudian pemilihan kepala daerah tahun 2024 akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang.

 

Harapannya akan mampu melahirkan pemimpin yang dalam Islam sedapat mungkin mampu memerankan fungsinya sebagai khadim (pelayan)—bukan sebaliknya minta dilayani—dan muwajih (guide), pemberi arah pada kehidupan yang lebih baik dan mencerahkan.

 

Di tengah euforia demokrasi, kita masih mendapati keprihatinan; sikap pragmatisme masyarakat yang sangat tinggi, dan transaksional. Sehingga menjadikan  pemilihan bupati  masuk kategori high cost—pada saat yang sama menjadi beban para calon sekaligus menjadikan mereka gharimun kabir (penghutang besar)—padahal kita menghendaki lahirnya pemimpin yang diidealkan bersama untuk bisa mensejahterakan rakyat.

 

Bakal Calon  Bupati Indramayu dan High Cost

Sepertinya kontestasi Pilkada Indramayu akan semakin menarik, Nina Agustina sebagi incumbent akan ikut bertarung lagi. Sementara ada sederet nama besar yang akan menjadi pesaing kuatnya, sebut saja Dewa (Dedi Wahidi) yang sudah menebar berbagai baliho di berbagai sisi sudut Indramayu dengan mengusung idealism ‘Beradabnya’. Jauh sebelum itu sudah ada beberapa nama yang mendaftarkan diri dari PKB misalnya Lucky Hakim, H. Suwarto, H. Rasta Wiguna, dan lainnya. Kemudian H, Syaefudin, Hilal Himawan, Bambang Hermanto, Yudi, H, Cecep, dari Partai Golkar, dan beberapa kandidat lain yang mulai ingin berebut simpati dari massa pemilih di Indramayu.

 

Suasana optimistik dan harapan Indramayu lebih maju dan lebih baik untuk menjadi Kabupaten terdepan di Jawa-Barat adalah kondisi yang diidealkan masyarakat serta amanahnya ada pada pundak para calon terpilih. Tetapi cita-cita yang diidealkan itu rasanya masih jauh dari harapan—kalau menjadi bupati dengan niat mencari ‘kehidupan’ dari jabatannya—karena sebagaimana testimoni bupati Banjarnegara Budhi Sarwono ketika menerima slip gajinya hanya Rp. 5,9 juta.

 

Berbanding terbalik dengan cost yang harus dikeluarkan untuk menjadi bupati atau kepala daerah, biaya ‘mahar politik’—yang dalam bahasa para politisi disebutnya biaya operasional—transaksional, curnis dan lainnya. Sekedar ilustrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Syafii Antonio untuk menjadi seorang kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) di pulau Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dibutuhkan biaya kampanye minimal Rp. 7-15 Milyar. Bahkan sekarang cost itu jauh lebih besar yang harus dikeluarkan.

 

Memarik pidato ‘Dewa’ pada satu kesempatan mengungkapkan bahwa pemilih di Indramayu berdasarkan hasil survei 79% lebih memilih Bupati karena dibayar atau dalam bahasa berbeda terjebak pada pragmatism- transaksional.

 

Transaksional karena berpikir pendek ingin dibayar 50 ribu, atau 100-200 ribu. Pragmatis karena kepentingan instant bahwa posisi setelah memilih tidak akan berpengaruh pada kehidupannya—ada anggapan bahwa tukang beca tetap akan menjadi tukang beca, misalnya—yang penting memilih dibayar siapapun yang akan menjadi bupatinya, miris memang tetapi inilah realitas.

 

Ketika calon bupati meminjam dari beberapa pengusaha dan teman-temannya, ia akan langsung menjadi penghutang besar (gharimun kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Dari sini bupati akan memulai tugas utamanya dengan program ‘balik modal’. Program ‘balik modal’ ini jelas tidak bisa diharapkan dari gaji normatifnya karena take-home payment resmi para pejabat itu tidak lebih dari Rp. 15-20 juta per bulan. Mungkin jika ditambahkan berbagai tunjangan resmi mencapai Rp. 50-100 juta. Jika Rp. 50 juta dikalikan 60 bulan masa jabatan, maka total pendapatan resmi dan halal bupati hanya Rp. 3 Milyar.

 

Praktik rasuah yang mengemuka di awal tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik.

 

Bahkan ICW mencatat (2018) mahalnya biaya politik disebabkan oleh dua hal; Pertama, Politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Sehingga menurut penelitian terbaru Litbang Kemendagri (2015) cost untuk mencalonkan diri sebagai bupati/walikota hingga gubernur—jauh lebih besar dari prediksi Syafii Antonio—membutuhkan biaya Rp. 20-100 milyar. Sementara pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp. 5 milyar selama satu periode.

 

Bagaimana mungkin akan memunculkan bupati atau pemimpin yang didealkan, kalau kondisi dan realitasnya seperti ini.

 

Tetapi memelihara asa tetap menjadi kewajiban kita, sebab bukan impossible akan muncul bupati yang handal dan memiliki Nurani dan idealism.  Beberapa nama yang cukup viral, seperti di Kab. Nganjuk Novi Rahman Hidayat, smart, amanah, bersinar dan berkharisma kepemimpinannya. Atau Bupati Kulon Progo yang fenomenal dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG untuk mengangkat daerahnya lebih bermartabat dan mungkin juga bupati atau kepala daerah lain yang tidak terekspose media.

 

Bupati yang memimpin

Dengan melihat realitas di atas, agaknya sangat berat tugas seorang bupati dan wakilnya. Sehingga diperlukan seorang bupati yang memimpin, kalau hanya menjadi seorang bupati semua orang bisa melakukannya. Karena jabatan bupati tugas, pokok dan fungsinya sudah ditentukan, tetapi bagaimana di samping ia seorang bupati juga sebagai seorang pemimpin.

 

Seorang pemimpin bekerja tidak terjebak pada rutinitas, tetapi ia akan berimprovisasi, bekerja ‘out of the box’, sebab kelihatannya problem daerah hampir sama—rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan—maka diperlukan seorang bupati yang mampu menarasikan program-program pembangunan kepada masyarakat dengan komunikasi yang efektif. Bukan asumsinya bupati datang hanya untuk bagi-bagi duit, di sini pentingnya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain.

 

Dengan mengutip pandangan Imam Ghazali, masyarakat rusak karena pemimpinnya; pemimpin rusak karena pemimpin agamanya diam. Dalam kitab Injil disebutkan, “tidak boleh orang buta menuntun orang buta”, artinya pemimpin akan menjadi contoh, uswah hasanah, prototype dalam bertindak, berpikir dan berbuat, berkorban di garda paling depan.

 

Tidak ada yang tidak mungkin, akan muncul pemimpin yang holistic, accepted, dan proven. Holistic, pemimpin yang mampu mengembangkan leadership dalam berbagai bidang; tatanan masyarakat yang harmonis, menata sistem politik yang berkeadaban, sistem pendidikan yang bermoral dan mencerahkan, dan sistem hukum yang berkeadilan. Accepted, diakui kepemimpinannya dengan merangkul semua rakyatnya—baik yang memilihnya atau tidak—membangun untuk semua rakyatnya. Proven, apa yang dilakukannya relevan dan berselancar dengan kondisi kekinian dengan berpacu menjadi daerah yang berdaya saing.

 

Pemilih Cerdas

Sehingga untuk mendapatkan pemimpin yang diidealkan bersama sesuai harapan-harapan itu. Masyarakat juga harus cerdas. Melihat visi, misi yang akan dilakukannya dalam kampanye, serta komitmennya dalam membangun daerah. Tidak terjabak pada sikap pragmatis, transaksional dengan jargon—bahasa Indramayu baka pengen dipilih, wani pira?atau NPWP (Nomer Pira Wani Pira)—tinggalkan juga  caci-maki, black campaign, serta negative campaign (kampanye negatif). Memang kampanye hitam tidak dilarang dalam pemilu, kampanye negatif lebih mengemukakan sisi kelemahan faktual tentang lawan politik dan tidak bisa dihukum. Kampanye negatif bisa dilawan dengan argumen. Tetapi black campaign bisa dipidana, karena menjurus kepada fitnah, dan kebohongan tentang lawan politik. Kampanye hitam ini jelas dilarang oleh Undang-Undang.

 

Sehingga, agar tidak kontra produktif, sebaiknya masyarakat bersikap cerdas serta bijak dan dalam materi kampanye calon lebih mengedepankan adu program ketimbang mencari kelemahan  lawan politik atau dengan menyebar kabar bohong dan janji-janji palsu.

 

Wallahu a’lam bi al-shawab


*)Penulis adalah Ketua STKIP Al-Amin Indramayu dan dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: