-->

ads

(Haruskah) Ada Rivalitas antara NU dan PKB

Minggu, 18 Agustus 2024

 

PKB dan NU

Oleh: Masduki Duryat*)

 Ketua umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi pada tulisannya Zainuddin tentang “NU, Politik dan PKB” menilai warga NU selalu bernasib apes. Ketika warga NU mendukung partai lain, ternyata tidak ada hubungan resiprokal yang didapat dari organisasi Islam terbesar ini. Sisi lain ketika warga NU memiliki partai sendiri (PKB) selalu terjadi konflik. “NU serba repot. Tidak memiliki partai sendiri seperti “nyangoni kere minggat, punya partai geger terus”, demikian lanjut Hasyim, pada Harlah NU ke-78 di Gedung Asrama Haji Lamongan pada 2002 yang lalu.

 

Konflik itu terus berlanjut, puncaknya saat Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar menjadi calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan pada Pemilu 2024.

 

Bagaimana ‘perang terbuka’ melalui statement terus berlanjut, bak gayung bersambut—yang dari sisi politik—menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno itu menggambarkan ketegangan politik antara NU dan PKB. Perseteruan yang kerap kritis ini jelas sangat merugikan PKB.

 

Sebut saja misalnya, ketegangan PKB dan Gus Menteri (Yaqut)—yang juga adik dari ketua umum PB NU, Gus Yahya merupakan titik kulminasi dari hubungan tidak harmonisnya dari kubu yang berbeda.

 

Konflik tidak berhenti sampai di sini, belakangan terjadi demo massa yang menamakan diri Aliansi Santri Gus Dur mendesak Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mundur sebagai Ketua Umum (Ketum) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tuntutan tersebut dilontarkan dalam unjuk rasa di depan kantor PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2024).

 

Koordinator aksi, Muhammad Sholihin, menilai Ketua Umum PBNU Gus Yahya harus mundur karena telah melakukan politik praktis. Keputusan-keputusan politik yang dilakukan Gus Yahya dinilai memecah belah umat. Menurutnya, hal tersebut melanggar keputusan Muktamar PBNU sebelumnya.

Ini menarik juga untuk dikaji karena koordinator aksi Muhammad Sholihin, menurut release yang disampaikan oleh ketua PC NU Indramayu tidak merefresentasi pengurus NU Indramayu, tetapi sebaliknya Sholihin merupakan pengurus DPW PKB Provinsi Jawa Barat dan mantan ketua DPC. PKB Kab. Indramayu.

 

Latar Belakang Sejarah

PKB berdiri di tengah situasi politik Indonesia yang penuh dinamika pada akhir 1990-an. Era ini ditandai dengan runtuhnya Orde Baru dan transisi menuju reformasi. Ketidakstabilan politik dan tuntutan untuk reformasi membawa sejumlah kelompok dan individu untuk membentuk partai-partai politik baru. Salah satu kelompok yang memainkan peran penting dalam pembentukan PKB adalah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam di Indonesia.


Pada 1998, dalam suasana reformasi, NU memutuskan untuk membentuk PKB sebagai wadah politik. Langkah ini merupakan hasil dari keinginan untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam sistem politik Indonesia. PKB diharapkan bisa mengakomodasi aspirasi umat Islam yang moderat, serta mendukung program-program yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh NU.


Pembentukan PKB diprakarsai oleh sejumlah tokoh NU yang berpikir bahwa partai politik merupakan sarana yang efektif untuk mencapai tujuan sosial dan politik mereka. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang merupakan Ketua Umum NU saat itu, berperan penting dalam pembentukan PKB. Di bawah kepemimpinan Gus Dur, PKB berhasil menarik dukungan dari berbagai kalangan, baik dari internal NU maupun masyarakat umum.


Dalam pemilihan umum 1999, PKB berhasil memperoleh hasil yang cukup menggembirakan, menunjukkan bahwa partai ini mampu merepresentasikan aspirasi umat Islam moderat di Indonesia. PKB juga berhasil memperoleh posisi yang signifikan dalam kabinet pemerintahan, yang membantu dalam mewujudkan sejumlah kebijakan yang diusung oleh partai ini.


Secara kultural, PKB dan NU memiliki hubungan yang sangat erat. NU tetap menjadi salah satu basis dukungan utama PKB, dan banyak anggota PKB berasal dari kalangan NU.


Konflik Fundamental NU-PKB

Belakangan hubungan harmonis ini, cukup terganggu untuk tidak menyebut menghawatirkan antara NU-PKB.

 

Perseteruan kritis antar entitas yang berbeda ini dipertontonkan di wilayah public.

Gus Yaqut (Menteri Agama) pada Pemilu 2024 yang lalu secara terang-terangan menyatakan; “jangan memilih calon pemimpin bemulut manis dan berwajah ganteng", yang ini kemudian menuai reaksi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Muhaimin Iskandar yang akan "mendisiplinkannya".

 

Yaqut juga meminta agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai kepentingan politik. Yaqut kemudian menyinggung pemilu-pemilu sebelumnya. “Kita punya sejarah tidak baik beberapa waktu yang lalu ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta kemudian dua pilpres terakhir, agama masih terlihat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan," kata Yaqut.

 

Muhaimin kemudian meresponsnya dengan mengatakan bahwa itu adalah “statement buzzer”.

 

Bahkan Gus Yahya pada saat menjelang Pilpres lalu pernah menyatakan bahwa "PKB bukan partai politik yang merepresentasikan NU". Lalu Muhaimin merespons pernyataan itu dengan mengatakan, "enggak usah dibahas, barang lawas". Gus Yahya juga secara berulang menegaskan bahwa "tidak ada calon atas nama NU".

 

"Kalau ada klaim bahwa kyai-kyai PBNU merestui, itu sama sekali tidak benar. Tidak ada sama sekali pembicaraan di PBNU tentang calon-calon presiden karena itu di luar domain kami sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan,"

 

Gus Yahya sampai pada kesimpulan bahwa hubungan NU-PKB bagai pabrik mobil yang perlu menarik produknya karena mempunyai kesalahan sistem.

Konflik ini jelas akan merugikan PKB secara politis dan hasil survey LSI Denny JA menunjukkan itu. Denny JA menyebutkan bahwa mayoritas kalangan NU pada Pemilu 2024 lebih memilih PDI-P daripada PKB. Responden warga NU memilih PDI-P sebanyak 21,9 %, Gerindra 13,6 %, Golkar 11,2 % dan PKB 11.6 %. Ternyata PKB bukan partai yang favorit di kalangan pemilih NU. Padahal PKB lahir dari rahim NU. Pada saat yang sama PKB diharapkan akan bersinergi melalui program-program yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh NU.

 

Solusi; Saran KH. Ma’ruf Amin

Adanya tanggapan dari wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin sangat solutif dan itu juga sekaligus menegaskan bahwa sejatinya perseteruan itu meniscaya.

Perseteruan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belakangan ini menjadi sorotan publik. Pasalnya, konflik tersebut semakin memanas akibat PBNU yang berniat mengembalikan PKB ke pangkuan NU dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) PKB.


Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin yang pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Dewan Syuro PKB menjelaskan bahwa sejatinya PBNU dan PKB tidak memiliki hubungan struktural. Namun, kedua organisasi ini terikat secara aspiratif, kultural, dan historis, karena PKB dibentuk untuk menyalurkan aspirasi warga NU (Nahdliyin) dalam dunia politik.


Hubungan PBNU dengan PKB itu hubungan aspiratif, hubungan kultural, dan hubungan historis. Tidak ada hubungan structural.


PBNU dan PKB memang memiliki tugas yang berbeda. Menurutnya, PBNU berfokus pada pembangunan ummat, sedangkan PKB berkonsentrasi pada bidang politik. Sehingga menurutnya akan lebih bijak organisasi tersebut dapat fokus pada tujuannya masing-masing. PBNU tetap pada pembangunan keummatan, PKB pada Pembangunan politik.


Dengan begitu, akan terjadi jalinan hubungan yang baik dan menghindari konflik yang berpotensi menyebabkan perpecahan.


Akankah ini terjadi? Semua berpulang pada political-will elit di tubuh NU-PKB dengan mengesampingkan egonya masing-masing. Sebab di akar rumput kalangan NU-PKB mendambakan harmonisasi melalui tugas dan fungsinya masing-masing. Sebagaimana saran KH. Ma’ruf Amin. NU membina keummatan, PKB focus pada pembanguna bidang politiknya. Semua saling mengisi dan saling melengkapi.


*)Penulis adalah Dosen pascasarjana UIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur

0 comments: