-->

ads

Pilkada Indramayu Head to Head; Melanggengkan Praktik Klientelisme Demi Kekuasaan

Minggu, 18 Agustus 2024

 

Gambar The Columnist

Oleh: Masduki Duryat*)

  

Konstelasi politik Indramayu menjelang pendaftaran Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati semakin menarik untuk dianalisis.

 

Prediksi awal, langkah Lucky Hakim akan ‘dijegal’ dengan pola head to head antara bupati incumbent Nina Agustina dan koalisinya, dengan Koalisi Indramayu Maju yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra dan Demokrat.

 

Tapi dinamika yang terjadi belakangan, Lucky Hakim malah diprediksi akan maju dengan koalisi besar; Golkar, Gerindra, Nasdem, PKS, dan menyusul dalam waktu dekat Demokrat dengan jumlah 27 kursi.

 

KIM Plus; Dinamika dan Dampaknya di Daerah

Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang pada pemilihan Presiden dan wakil Presiden 2024 berhasil mengusung dan memenangkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, akan melanjutkan kiprah politik mereka di Pilkada 2024. Bedanya, koalisi ini akan terus menggandeng partai politik lain. Perluasan koalisi itu disebut dengan KIM Plus.

 

KIM  Plus akan terus diupayakan kiprahnya untuk berkoalisi dengan partai lain di beberapa daerah dalam Pilkada 2024 ini.

 

Menurut Dasco, petinggi Partai Gerindra; Perluasan koalisi kubu pemerintah itu disebabkan oleh berbagai dinamika politik yang terjadi. KIM Plus, menurut dia, akan menentukan pilihan untuk melangkah bersama di sejumlah provinsi utama. "Nanti pada waktunya pasti akan diputuskan secara bersama-sama, satu suara oleh Koalisi Indonesia Maju Plus," kata Dasco. 

 

Dasco menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan ada pertemuan petinggi KIM usai Presiden terpilih Prabowo Subianto pulang dari kunjungannya ke sejumlah negara, termasuk Rusia. Tidak hanya partai anggota KIM, pertemuan itu berpotensi dihadiri partai lain. 

 

Lucky Hakim dan Dukungan KIM Plus Versus Incumbent

Dinamika belakangan terjadi cukup menarik pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Indramayu pada Pilkada 2024 ini. Pasalnya akan diprediksi head to head antara bupati incumbent Nina Agustina yang didukung oleh PDI dan koalisinya dengan Lucky Hakim yang diusung oleh KIM Plus yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKS, dan menyusul dalam waktu dekat Demokrat dengan jumlah 27 kursi.


“Saya tetap semangat dan sebulan ini saya focus berada di Jakarta untuk mendapatkan rekomendasi dan alhamdulillah sekarang sudah 25 kursi, dan dalam waktu dekat akan bertambah dari Partai Demokrat 2 kursi sehingga semuanya 27 kursi”, kata Lucky Hakim. “Ini juga akan menjadi kekuatan tersendiri, lebih solid dari sisi dukungan politis di parlemen”, lanjutnya.


Majunya Lucky Hakim pada Pilkada Indramayu 2024 ini, memang sudah diprediksi dari awal. Ketika Lucky Hakim mengundurkan diri dari kursi wakil Bupati dan ‘tidak difungsikan’ perannya.

 

Ini diprediksi sebagai langkah awal, ‘ancang-ancang’ Lucky Hakim untuk ikut berkontestasi pada Pilkada Indramayu 2024.


Adlan Da’i menulis, Lucky Hakim adalah "Man Of Contradiction", mengutip judul buku Ben Bland, seorang penulis buku tentang problem kontradiksi Jokowi.

 

Kontradiksi Lucky Hakim satu sisi ia "Political Powerless", yakni figur politik yang tidak memiliki power politik besar secara formalistik kecuali sebagai ketua partai Nasdem Indramayu, sebuah partai "medioker" dalam spektrum peta politik di Indramayu.


Di sisi lain, lanjut Adlan Da’i  "bocoran" data survey periode Oktober 2023 dan periode 4 Pebruari 2024 justru Lucky Hakim sangat kuat secara elektoral. Data survey di atas nyaris "mutlak" mengunggulkan Lucky Hakim kandidat kuat "the next" bupati Indramayu dalam kontestasi pilkada 2024.


Dalam tinjauan rezim politik elektoral Lucky Hakim memiliki faktor determinasi politik pada aspek "good looking" dan piawai memposisikan diri sebagai tokoh politik "hati yang kau sakiti" (soundtrack lagu Rossa yang diputar dalam sinetron "Azab" ala TV Indosiar dan kerap dibintangi Lucky Hakim. 


Sementara Bupati incumbent, Nina Agustina juga memiliki segalanya. Dari kekuatan birokrasi sampai dengan ruang kesiapan, popularitas selama memimpin Indramayu pada periode sebelumnya dan tentu kekuatan logistic.


Bupati Indramayu Nina Agustina merupakan kader dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Partai berlambang banteng moncong putih itu berpotensi mengusung Nina uuntuk kembali maju pada Pilbup Indramayu 2024. Dilihat dari hasil Pileg kemarin, PDIP Indramayu memperoleh suara mereka di tingkat Kabupaten Indramayu naik sepuluh persen dari 14 persen menjadi 24 persen, dan kini berada di urutan ke dua. Atas perolehan itu, Nina Agustina untuk kembali dicalonkan sebagai Bupati Indramayu. Namun bentukan koalisi dipastikan tidak sama dengan koalisi partai pada Pilpres lalu.

 

Nina Agustina merupakan bupati incumbent, ia memiliki kesiapan yang cukup dari sisi kapital, popularitas, mesin partai dan—tentu jangan dikesampingkan—peran birokrasi yang sekarang—tanpa malu-malu—memanfaatkan mesin birokrasi ini untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dari birokrasi dinas/instansi, kuwu, jaringan non-pemerintahan sampai pada Tingkat RT di tiap desa.

 

Ini ‘pertarungan’ menarik, kita akan menunggu kepastian dari masing-masing pengusungnya pada pengumuman koalisi dan pendaftaran. Menarik, karena pada akhirnya terjadi head to head antara bupati incumbent Nina Agustina dengan ‘mantan’ wakilnya, Lucky Hakim.


Praktik Klientelisme; Sebuah Kekhawatiran

Pada modul kelas Politik Cerdas Berintegritas (PCB) mendefinisikan  klientelisme sebagai salah satu bentuk korupsi politik yang berlangsung dalam hubungan relasi kekuasaan politik dengan corak patron-client.

Hubungan tersebut biasanya terjadi ketika elite politik yang memiliki otoritas kekuasaan atau posisi politik mengeksploitasi simpatisan atau warga dengan janji-janji demi “dipertukarkan” dengan dukungan dan loyalitas politik.

 

Ramadhan dan Oley menuliskan bahwa klientelisme adalah fenomena sosial politik Indonesia yang erat kaitannya dengan pemilihan umum.

 

Pasalnya, praktik pertukaran janji dan loyalitas politik tersebut, di Indonesia, misalnya, “lebih erat kaitannya dengan kompetisi kekuasaan antara dinamika demokratisasi dan distorsi oligarki,” tulis Ramadhan dan Oley.

 

Ramadhan dan Oley menyebutkan ada dua poin mengapa klientelisme bisa termasuk perilaku koruptif dalam konteks demokrasi.

 

Pertama, tidak terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan. Ketika hak rakyat tidak terealisasi sebagaimana yang dijanjikan para elit politik, ada mekanisme kontrol dan penuntutan akan kewenangan-kewenangan tersebut kepada sosok lain yang mencalonkan diri sebagai pemimpin pada periode berikutnya.

 

Alih-alih menunggu realisasi program yang dicanangkan, rakyat memilih untuk melakukan transaksi relasi kuasa dengan bentuk imbalan material secara langsung.

 

Kedua, faktor saling menguntungkan. Mengakarnya praktik klientelisme adalah hasil dari keadaan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang terlibat.

 

Dari sisi pejabat publik, transaksi relasi kuasa ini akan membantunya mencapai posisi tertentu dan mempertahankan posisi itu pada periode pemilu berikutnya.

 

Ini kekhawatiran yang bisa merusak suasana demokratis dalam Pilkada—termasuk di Indramayu—yang jujur, adil, bebas, rahasia dan tanpa ada intimidasi—bisa dikawal dengan baik.

 

Memang sebagaimana studi yang dilakukan oleh E. Aspinall dan W. Berenschot dalam “Democracy for Sale; Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia”, ada tiga pendekatan dalam konteks Pemilu yang selama ini berlangsung di Indonesia. Pertama, pendekatan kultural yang memunculkan klientelistik. Kedua, pendekatan marketis dan Ketiga, pendekatan institusional.

 

Di sini peran Lembaga Bawaslu dan Masyarakat di era civil society diperlukan aksinya dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan Pilkada yang hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara adil dan transparan.


*)Penulis adalah Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur

0 comments: